Bom di Manchester, Inggris, ledakan bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, dan krisis Mindanao, Filipina selatan, menandakan ancaman aksi teroris itu ada di depan mata. Perang kota antara militer Filipina dan kelompok militan Maute di kota Marawi berpotensi berimbas ke Indonesia. Indonesia akan menjadi pintu masuk yang paling dekat sebagai imbas dari konflik antara militer dan kelompok Maute di Filipina selatan. Bahkan, seperti dikutip harian ini, ada sebelas warga negara Indonesia berada di Filipina selatan.
Ancaman teroris yang nyata itu seharusnya membangkitkan kesadaran kita semua bahwa para pengikut dan simpatisan NIIS sudah berada di Indonesia dan menjalankan aksinya di Indonesia. Apakah situasi ini akan terus dibiarkan, sementara tertib sosial kita terus dirusak? Pelaku teror di Kampung Melayu yang telah diklaim dilakukan oleh NIIS menyasar anggota polisi. Polisi punya tugas untuk menjaga keamanan dan ketertiban sosial.
Dalam latar belakang itulah, kehadiran UU Antiterorisme baru sebagai pengganti UU No 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme perlu dipercepat pembahasannya. Semangat UU No 15/2003 adalah bagaimana mengkriminalkan pelaku Bom Bali tahun 2002.
Kini, situasi ancaman terorisme sudah berubah. Polri membutuhkan landasan hukum untuk bisa mencegah aksi terorisme di Tanah Air. Pemerintah mengajukan draf revisi UU No 15/2003 menyusul ledakan Bom Thamrin, Januari 2016. Dari ledakan Bom Thamrin, Januari 2016, sudah terjadi enam aksi teror, termasuk peledakan bom Kampung Melayu, sementara pembahasan RUU Terorisme belum bergerak signifikan.
Memang beberapa pasal dalam UU Terorisme bisa dianggap melanggar hak asasi manusia, seperti soal masa penahanan, keterlibatan TNI dalam operasi antiterorisme, serta polarisasi antara keamanan nasional dan kebebasan sipil. Namun, kita memandang masalah itu bisa dibicarakan dan dicarikan titik kompromi agar aparat penegak hukum bisa mencegah aksi terorisme di bumi Indonesia. Kepemimpinan Pansus RUU Antiterorisme di DPR memegang peranan.
Banyak perubahan kondisi sosial yang belum tercakup dalam UU, seperti program deradikalisasi atau warga negara Indonesia yang bergabung dalam kelompok terorisme di luar negeri. Masalah itu harus bisa diselesaikan. Jangan sampai satu saat terjadi aksi teror lagi—yang tidak kita harapkan—sementara politisi Senayan masih asyik memperdebatkan draf revisi UU Antiterorisme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar