Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Juni 2017

Menakar Model Pertanian Korporasi (ACHMAD RACHMAN)

Rapat Koordinasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan Bank Indonesia pada 31 Maret 2017 di Semarang, Jawa Tengah, telah mengeluarkan sejumlah rekomendasi kebijakan pangan untuk mengoptimalkan pengelolaan pangan yang terintegrasi, konsisten, dan berkelanjutan. 

Salah satu rekomendasi tersebut adalah mendorong peningkatan produksi dan pasokan pangan melalui penerapan korporasi atau pertanian korporasi (cooperative farming) dan pembentukan badan usaha milik petani (BUMP).

Penerapan pertanian korporasi yang nantinya dikelola oleh BUMP diyakini dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas usaha tani.   Lahan-lahan sempit (0,25 hektar) yang dimiliki petani akan disatukan jadi hamparan lahan pertanian yang lebih luas (di atas 50 ha) melalui suatu perjanjian kerja sama yang pengelolaannya  kemudian diserahkan ke BUMP.  Dengan hamparan usaha tani yang relatif luas diyakini akan memudahkan penerapan sistem pertanian modern dan penggunaan mesin-mesin pertanian: mulai dari pengolahan tanah, tanam hingga panen.  Selain itu, BUMP dapat dengan mudah mendapatkan akses pendanaan dari bank-bank komersial.

 Konsep yang ditawarkan pemerintah tersebut terlihat sangat menjanjikan dan dapat mengangkat daya saing produk-produk pertanian Indonesia, khususnya beras, jagung, dan kedelai. Produktivitas usaha tani akan meningkat signifikan dan pada gilirannya akan mengurangi besaran subsidi input usaha tani yang harus disediakan oleh pemerintah.  

Meski demikian, konsep tersebut akan menjadi bumerang jika tak dilaksanakan secara tepat dan benar.  Tujuan mulia untuk meningkatkan kesejahteraan petani justru dapat berbalik lebih menyengsarakan petani kecil, dan yang mengambil keuntungan besar adalah pemilik modal.

Pengalaman Brasil

 Model pertanian korporasi berhasil dikembangkan Pemerintah Brasil sejak pertengahan 1960-an.  Program modernisasi pertanian skala luas yang berpusat di kawasan Cerrado, Brasil, telah berhasil mengubah hutan sabana menjadi ladang pertanian modern penghasil utama jagung, kedelai, dan tebu. 

Pada akhir 1960-an, Brasil belum ada dalam peta sebagai eksportir kedelai dan jagung dunia. Akan tetapi, sejak 2007 telah menjadi negara pengekspor utama dunia untuk kedelai dan jagung.  Bahkan pada 2015, Brasil berhasil melampaui nilai ekspor kedelai Amerika Serikat, dengan nilai ekspor  21 miliar dollar AS, yang berarti menguasai 41 persen pangsa pasar kedelai dunia. 

Pada 2017, Brasil menargetkan peningkatan produksi kedelai menjadi 102 juta ton dari lahan pertanaman kedelai seluas 33,3 juta ha.  Sementara nilai ekspor jagung Brasil pada 2015 sebesar 5 miliar dollar AS, merupakan kedua terbesar setelah AS sebesar 8,7 miliar dolar AS.

 Pengembangan kawasan pertanian di Cerrado diawali dengan mengundang investor dari luar negeri untuk menanamkan modal di kawasan tersebut.  Respons investor sangat besar karena didukung perubahan  regulasi yang memudahkan investor luar negeri, baik badan usaha maupun individu,  mengakuisisi lahan tanpa batasan luas. 

Pada 1992, sekitar 2,6 juta ha lahan telah dikuasai oleh investor luar negeri yang umumnya datang dari Portugal, Jepang, Italia, Lebanon, Spanyol, Jerman, dan Belanda.  Lima belas tahun kemudian meningkat menjadi 5,6 juta ha.   Pada saat ini, sekitar 44 persen dari 200 juta ha total luas kawasan Cerrado telah disulap menjadi kawasan pertanian modern.   Wilayah pengembangan pertanian berpusat di Provinsi Mato Grosso, Goias, Sao Paulo, Minas Gerais, Mato Grosso do Sul, dan Bahia. 

 Pada kenyataannya, pengembangan lahan pertanian skala luas di Cerrado oleh investor bermodal kuat tidak secara langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat yang umumnya petani.  Penguasaan lahan besar-besaran oleh pengusaha besar melalui sistem akuisisi lahan telah meminggirkan masyarakat setempat dari lahan yang sebelumnya mereka garap. 

Ketersediaan lapangan kerja pun tak berbanding lurus dengan berkembangnya areal pertanian.  Modernisasi pertanian dengan menerapkan sistem pertanian monokultur kedelai dan jagung hanya menyediakan 0,5 lapangan kerja per ha,  jauh lebih kecil dibandingkan dengan 35 lapangan kerja per ha pada sistem pertanian konvensional atau keluarga.  

 Keterlibatan petani lokal sangat terbatas dan penggunaan tenaga kerja manusia sangat minim karena hampir semua tahapan usaha tani menggunakan alat dan mesin pertanian. Model ini cenderung menggunakan pola usaha tani monokultur dibandingkan dengan mengusahakan dua atau lebih komoditas. Akibatnya, banyak warga Cerrado yang tak memiliki keahlian tersingkir dan terpaksa pindah ke perkotaan, bekerja apa adanya, dengan risiko meningkatnya angka kriminalitas di kota-kota besar Brasil.

Alternatif model

Belajar dari pengalaman Brasil dalam pengembangan lahan pertanian modern di Cerrado melalui penguasaan lahan oleh pengusaha besar, tampaknya perlu dipertimbangkan implementasinya di Indonesia.  Penerapan model Cerrado ini akan berhadapan dengan isu akuisisi lahan oleh investor yang mengalihkan kepemilikan lahan komunal menjadi lahan milik investor.

Bagi masyarakat, lahan merupakan tempat interaksi sosial, mencari nafkah dan memenuhi kehidupan sehari-hari, dan juga tempat keramat keluarga. Hilangnya hak atas tanah diartikan sebagai hilangnya identitas keluarga dan identitas suku.

Model pertanian kooperatif dapat menjadi pilihan yang lebih baik.  Dalam model ini dibentuk kelembagaan kerja sama ekonomi sekelompok petani dengan orientasi agribisnis melalui konsolidasi lahan menjadi satu hamparan, tetapi dengan tetap menjamin kepemilikan lahan masing-masing petani.   Model ini dapat dicapai efisiensi usaha, standardisasi mutu, dan efektivitas serta efisiensi manajemen pemanfaatan sumber daya secara maksimal.

Penyatuan lahan petani yang sempit dalam satu manajemen yang mencapai skala ekonomi (50-100 ha) memberikan peluang pengelolaannya dapat menggunakan mesin pertanian. Pemangku kepentingan yang terlibat adalah petani sebagai pemegang saham sekaligus pekerja yang digaji, pengusaha yang menyediakan modal usaha, dan pemerintah sebagai penyedia infrastruktur pendukung. Model ini telah diuji coba Departemen Pertanian pada tahun 2000 di Jawa Barat, Jawa Tengah,  Jawa Timur, dan sejumlah lokasi lainnya di luar Jawa pada tanaman padi sawah dengan hasil yang cukup baik.

 Model lainnya adalah usaha tani kolektif yang lebih menekankan pada pembentukan manajemen bersama tanpa adanya konsolidasi fisik lahan.  Dalam model ini, petani membentuk badan usaha bersama, di mana petani bertindak sebagai pemilik sekaligus pekerja pada lahannya masing-masing.  Badan usaha bertindak mewakili anggotanya dalam menjalin kerja sama dengan pihak lain dalam hal penyediaan modal usaha, sarana dan prasarana produksi, pasca- panen, dan pemasaran.  

Pada akhirnya, model mana pun yang dipilih dalam mengimplementasikan rekomendasi kebijakan pangan, targetnya adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, pemerataan pembangunan, dan mencegah makin lebarnya ketimpangan struktur penguasaan lahan.  Keberpihakan tetap pada pemberdayaan petani kecil untuk meningkatkan posisi tawar dalam era persaingan pasar bebas.

 ACHMAD RACHMAN

Peneliti di Badan Litbang Pertanian

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2017, di halaman 7 dengan judul "Menakar Model Pertanian Korporasi"

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger