Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Juni 2017

Rancangan Kebijakan Baru Pertanahan (JP TAMTOMO)

Ada beberapa catatan perlu disampaikan menanggapi opini Saudara Bambang Kesowo, "Kebijakan Baru Pertanahan" yang dipublikasikan harian ini, 29 Maret 2017.

Ada tiga alasan. Pertama, beberapa materi sudah tak dimutakhirkan lagi. Kedua, beberapa isu yang dilontarkan dapat menggiring ke arah opini publik yang misleading. Ketiga, topik yang ditulis merupakan materi RUU tentang Pertanahan yang sedang dibahas bersama oleh DPR dan pemerintah. RUU adalah sebuah rancangan kebijakan dan pastinya belum menjadi kebijakan, sebelum disahkan menjadi UU.

Beberapa isu yang tidak diperbarui dalam ulasan itu di antaranya, pertama, konsep "penyederhanaan" jenis hak-hak atas tanah selama ini baru merupakan wacana informal. Keberadaan HM, HGU, HGB, HP, dan Hak Pengelolaan atas tanah selama ini telah diterima masyarakat dan hukum Indonesia dengan baik. Penyederhanaan HGU dan HGB menjadi HP ditimbang-timbang lebih banyak mudarat daripada manfaatnya.

Kedua, terkait pengakuan tanah ulayat masyarakat hukum adat. Pasal 18B UUD Tahun 1945 mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya. Demikian pula Pasal 3 UUPA dan Putusan Mahkamah Konstitusi No 35/PUU-X/2012 mengonfirmasikan pengakuan atas hak ulayat masyarakat hukum adat dan hutan adat.  Pada tataran operasional telah diterbitkan Permendagri No 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, serta Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No 11/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu.

Ketiga, soal tanah telantar dan reforma agraria. Penertiban dan pendayagunaan tanah telantar diatur dalam Peraturan Pemerintah No 11/2010. Pelaksanaan reforma agraria akan diatur dalam peraturan presiden, yang saat ini rancangannya dalam tahapan finalisasi untuk dapat pengesahan presiden.

Sangat tak adil, ketika masyarakat (petani) lapar tanah, di sisi lain pemilik tanah-tanah berskala besar tak memanfaatkan tanahnya bahkan menelantarkannya. Berdasarkan data Kementerian ATR/BPN tahun 2016, jumlah luas tanah yang telah ditetapkan sebagai tanah telantar meliputi 75.480 hektar, dan potensi tanah terindikasi telantar seluas 1 juta hektar.

Pemanfaatan dan pendayagunaan tanah negara bekas tanah telantar tak terbatas kepada redistribusi tanah, tetapi juga dialokasikan untuk program strategis negara dan cadangan negara lainnya. Tentu ini berbeda dengan pernyataan dalam opini dimaksud di atas. Penetapan tanah negara bekas tanah telantar dilakukan dengan tidak "membunuh angsa bertelur emas". Tidak menimbulkan distorsi ekonomi, keresahan sosial, dan mengakibatkan hilangnya kepercayaan para investor dan pengusaha.

Pelaksanaan reforma agraria diarahkan untuk mewujudkan tujuh tujuan: mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah, menciptakan sumber-sumber kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, mengurangi kemiskinan dan menciptakan lapangan kerja, memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi, memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan pangan, dan menyelesaikan konflik agraria.

Indeks gini penguasaan dan pemanfaatan tanah telah mencapai angka 0,46. Suatu gambaran ketimpangan yang mengkhawatirkan. Mingguan Tempo (20-26/3/2017) melaporkan, 23,7 juta petani hanya memiliki rata-rata 0,9 hektar tanah. Sebaliknya, 2.000-an perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektar, dan 304 perusahaan menguasai 26 juta hektar (tanah) hutan konsesi. Ironinya, 15,57 juta petani tak punya tanah sama sekali atau berprofesi sebagai buruh tani.

Khusus tanah pertanian, Kementerian ATR/BPN punya hitungan sendiri. Rasio indeks gini tanah pertanian 0,59 lebih parah dari pada indeks gini penguasaan tanah pada umumnya. Sebanyak 56 persen rumah tangga petani hanya menguasai rata-rata 0,5 hektar tanah pertanian.

Selanjutnya, inisiatif baru kebijakan perlu diusulkan, baik untuk menjawab kekinian, maupun dalam rangka mengisi kekosongan hukum yang belum diatur dalam UU Pokok Agraria (UUPA). Inisiatif baru dimaksud: pembentukan bank tanah, sinergi antara penataan ruang dan pertanahan, hak pengelolaan sebagai hak atas tanah, wajib daftar bagi semua izin dan konsesi kawasan yang de factomelahirkan perolehan, penguasaan dan penggunaan tanah, pengaturan ulang jangka waktu berlakunya hak atas tanah, perpanjangan dan pembaruan hak, pengakhiran konversi bekas hak-hak barat atas tanah dan bekas tanah swapraja, serta penerapan e-governmentdan e-services dalam rangka menuju kantor kadaster modern berbasis elektronik.

Ironi ruang hidup

Keprihatinan utama dalam penataan ruang dan pengelolaan pertanahan adalah masalah "ruang hidup" bagi manusia, khususnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Jumlah penduduk Indonesia 256 juta jiwa (300 juta jiwa pada 2050) hidup di dalam ruang (baca: kawasan nonhutan atau area penggunaan lain/APL) yang luasnya hanya 30,1 persen dari total luas wilayah daratan atau 54 juta hektar. Di Kalimantan Tengah bahkan ruang hidup manusia hanya sekitar 17 persen dari total luas wilayah.

Jika ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah terus berlanjut dan meningkat (tak dilaksanakan program reforma agraria), penataan dan pemanfaatan ruang tak dilakukan secara efisien, pemanfaatan tanah tak optimal (best use), dikhawatirkan generasi milenia kita ke depan bahkan tidak memperoleh kesempatan untuk memiliki tanah, kendatipun hanya untuk rumah tinggal atau hunian.

Berbagai ironi ruang hidup saat ini masih berlangsung. Di samping sempitnya ruang hidup yang boleh dimiliki, jutaan orang telah beranak-pinak hidup di "kawasan" hutan seluas 5,79 juta hektar dan tak punya hak kepemilikan atas tanah, sementara di lain pihak beberapa pengusaha besar menguasai 26 juta hektar kawasan hutan. Pertanyaannya, apa iya kita harus punya kawasan hutan seluas 70 persen dari luas wilayah? Di negara lain seperti Eropa cukup 30 persen kawasan hutan. Paling penting kawasan ini benar-benar berfungsi sebagai hutan dan bukan pendekatan penetapan kawasan, tetapi fungsi dan de facto penggunaan tanahnya "bukan" hutan.

Sebagai inisiatif baru, wajib daftar bagi semua izin dan konsesi kawasan yang de facto melahirkan "perolehan", penguasaan, dan penggunaan tanah perlu diatur pula. Dengan demikian, tertib penataan ruang dan tertib pengadministrasian serta pengelolaan pertanahan dapat diwujudkan. Konflik dapat dicegah dan/atau diselesaikan dan penataan penguasaan dan pemilikan tanah (redistribusi tanah) dapat diselenggarakan. Pajak tanah maupun pajak-pajak lain yang lahir dari penguasaan dan penggunaan tanah dapat dioptimalkan.

Pembentukan bank tanah diperlukan guna mewujudkan ketersediaan tanah untuk pembangunan, menjamin best use of land, mengendalikan penguasaan tanah berlebihan, mengendalikan atau mengontrol akselarasi nilai tanah, dan mengalokasikan cadangan strategis negara.

Akhirnya, RUU perlu memerintahkan agar pemerintah menyelenggarakan pendaftaran tanah lengkap di seluruh wilayah RI yang diselesaikan pada 2025. Pemerintah telah menetapkan kebijakan pelaksanaan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dan memberikan sertifikat hak atas tanah atas setiap bidang tanah. Tahun ini akan diterbitkan 5 juta sertifikat tanah, kemudian 7 juta sertifikat pada 2018 dan 9 juta sertifikat pada 2019, dan seterusnya hingga lengkap pada 2025. 

Mengatasi kebutuhan surveyor (juru ukur tanah), telah dikembangkan pembentukan juru ukur swasta dalam bentuk Kantor Jasa Surveyor Kadaster Berlisensi (KJSKB). Percepatan pendaftaran dilaksanakan desa demi desa, kecamatan demi kecamatan, dan seterusnya kota/kabupaten demi kota/kabupaten. Sejalan dengan program ini, telah dan sedang terus dikembangan penerapan dan pemanfaatan data elektronik melalui e-government dan e-services.

Presiden Jokowi menyatakan pemberian sertifikat kepada yang berhak merupakan bukti kepemilikan rakyat atas NKRI. Makna "ikut memiliki" ini sangat mendalam. Rakyat merupakan bagian nyata dan menjadi subyek dari NKRI. Kepemilikan sertifikat hak atas tanah merupakan bukti kepemilikan aset dan jati diri. Bagi yang belum memiliki akan diberikan melalui program reforma agraria. PTSL secara langsung mewujudkan ketertiban penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, mencegah dan mengurangi sengketa pertanahan dan konflik agraria, serta mampu menggerakkan perekonomian negara.

JP TAMTOMO

Tenaga Ahli Menteri Bidang Kajian Kebijakan    Kementerian Agraria dan Tata Ruang/  Badan Pertanahan Nasional

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Rancangan Kebijakan Baru Pertanahan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger