Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 27 Juni 2017

Rekonsiliasi di Akar Rumput (IRWANTO)

Pilkada DKI Jakarta memang telah lama selesai. Seusai hasil diumumkan waktu itu, media sosial ataupun percakapan sehari-hari menganalisis menang-kalahnya calon dan mencoba mencari tahu alasannya. Teori konspirasi, berbagai reaksi emosional, rasionalisasi bagi yang kalah, dan harapan-harapan pada masa depan dengan gubernur baru mendominasi wacana minggu pertama dan kedua pasca-pilkada.

Satu hal yang luput dari analisis mendalam adalah dampak sosial-psikologis pilkada di tataran akar rumput yang berpotensi menjadi api dalam sekam.

Tidak ada yang menyangkal bahwa dinamika Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, merupakan peristiwa yang patut dicermati dan dipelajari-bukan hanya paling panas, melainkan juga mungkin paling masif dan kotor. Seperti layaknya pemilihan gubernur lainnya, semua isu yang memungkinkan untuk diwacanakan demi pencitraan terbaik dan memenangi hati pemilih akan dilakukan.

Di DKI juga seperti itu. Kelayakan calon gubernur seperti pengalaman, hasil yang ada secara publik, integritas calon, disukai tidaknya calon-baik secara fisik maupun pribadi dan lain-lain-diadu dan dibandingkan.

Sebagai bagian utama dari isu-isu tersebut, muncul masalah primordial, seperti etnisitas dan agama. Ini pun wajar dan akan terjadi di sejumlah tempat di Indonesia. Yang menarik di DKI Jakarta adalah munculnya momentum "penistaan agama" oleh salah satu calon. Isu ini dijadikan bahan wacana politik utama selama lebih kurang empat bulan dengan melibatkan unsur akar rumput secara nasional yang di dalamnya termasuk anak-anak.

Pada saat momentum itu ditemukan dan digunakan melalui instrumen-instrumen institusional kemasyarakatan-dari tempat ibadah, tempat kerja, sampai sekolah anak-anak, maka kita semua mempunyai masalah besar.

Saat momen itu terjadi suasana batin secara nasional dan khususnya di DKI Jakarta menjadi keruh. Seperti kopi tubruk yang diaduk-aduk terus-menerus.  Ketika semua pihak sudah menikmati hasilnya, terutama yang menang, ampas kopi mengendap ke bawah. Bagian ini biasanya tidak diperhatikan dan akan dibuang begitu saja.

Jika "ampas" ini adalah ampas kopi, tentu tidak bermasalah. Ketika ampas itu adalah kepahitan, kegetiran, kebencian antarkelompok, dan penolakan terhadap NKRI, kita semua harus sangat waspada.

Eksploitasi terhadap tombol panik

Di negara-negara yang memiliki sejarah berdarah karena konflik sipil antarsaudara setanah air-seperti Afrika Selatan, Rwanda, Kamboja, bahkan Timor Leste-para negarawan di negeri itu menyadari bahwa jika akibat-akibat pascakonflik itu tidak diolah dengan baik, akan menjadi api dalam sekam.

Api dalam sekam ini bisa menjadi pemicu peristiwa serupa atau lebih buruk pada masa yang akan datang. Di dalam kajian psikologi massa, persoalan ini dikenal sebagai transmisi trauma lintas generasi (intergenerational transmission of trauma).  Ketika akar-akar dari konflik tersebut tidak diperhatikan dalam pembangunan dan komunikasi politik, ketika masyarakat yang berkonflik tidak tahu apa penyebab dan tidak mempunyai kesempatan untuk mendengar penjelasan dan memberikan pengampunan  (pemaafan) bagi pelaku, rasa benci, ketakutan, dan berbagai stereotip terhadap lawan dipelihara dalam memori kolektif.

Sengaja ataupun tidak, memori kolektif ini akan disalurkan kepada anak-cucu mereka dengan segala cara. Anak-anak dan cucu-cicit yang tidak tahu sejarah menjadi terbelenggu dalam pengalaman traumatik generasi sebelumnya dan jika ada pemicunya akan mudah sekali tersulut dan meledak. Lebih buruk lagi ketika banyak anak-anak yang telah dijadikan calon-calon kombatan ideologis yang tidak menghormati NKRI dan konstitusinya. Merekalah yang akan dipanen di garda depan ketika momennya datang.

Di DKI Jakarta dan di beberapa tempat lainnya di Indonesia, kata-kata kunci yang dapat memicu pengalaman traumatik di masa-masa konflik yang bersumber pada paham politik, seperti komunisme, etnisitas tertentu, agama tertentu bukannya diwacanakan dengan konstruktif untuk memperoleh pencerahan yang menyejukkan dan pemulihan atas trauma, tetapi justru dieksploitasi secara sangat tidak bertanggung jawab.

Tombol-tombol kognitif-emosional yang menimbulkan rasa takut, panik, rasa benci, rasa curiga, dan keinginan untuk menghabisi atau menghancurkan pihak yang dijadikan obyek tombol tersebut justru dipakai sebagai strategi memenangi hati masyarakat. Tombol-tombol itu dimainkan bukan hanya oleh para politisi, melainkan juga oleh orang-orang yang seharusnya saleh dalam agama, bahkan cerdik pandai yang mendidik mahasiswa dan anak-anak yang notabene panutan masyarakat.

Belum terlambat

Ketika di kampus dan di jalanan kita mendengar celotehan anak-anak yang menyamakan salah satu figur yang berkontestasi dalam pemilihan gubernur dengan binatang ("anjing" dan "babi"), kita semua tahu pekerjaan rumah kita maha besar. Yang memenangi pesta demokrasi (katanya) berpesta pora, tetapi masyarakat sangat menderita.

Pikiran mereka tercabik-cabik, hati terluka. Bagi banyak orang, menjadi Indonesia seolah mimpi di siang hari bolong. Menggugah kesadaran bahwa dalam kancah politik seperti ini, rakyat hanya dijadikan instrumen kekuasaan dan ketamakan-tak mudah dilakukan. Kamuflase terhadap niat yang sebenarnya dalam perebutan politik selalu tak pernah transparan.

Mengubah persepsi antarindividu, kelompok, dan komunitas yang salah dan mengarusutamakan lagi penghormatan dan apresiasi terhadap nilai-nilai keragaman juga tidak mudah.

Terutama ketika mekanisme belajar bermasyarakat dari tokoh agama dan tokoh masyarakat sampai proses belajar di sekolah sudah terimbas eksploitasi yang tidak bertanggung jawab itu. Mungkinkah pihak-pihak yang berkontestasi dan para konsultannya mempunyai jalan keluar? Sangat diragukan karena finish line mereka adalah statistik hasil pilkada.

Pendekatan formal dan non-formal

Dari sisi instrumen formal, persoalan kebencian, fitnah, wacana berbau suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) jelas sudah ada penangkalnya. Tidak perlu disebut satu-satu. Pasalnya, Konstitusi 1945 hasil amendemen memuat semua itu dengan jelas. Oleh karena itu, persoalannya bukan pada substansi formal hukum, melainkan lebih menjadi persoalan budaya hukum. Pilkada DKI Jakarta memberikan contoh negara hukum yang tidak menerapkan hukum.

Toleransi terhadap pelanggaran hukum sangat besar bahkan cenderung menjadi heroik. Kalau pada masa depan kita tidak dapat mengoreksi ini dan menegakkan hukum dengan sungguh-sungguh, kita akan menuai akibat-akibat yang telah diuraikan banyak orang.

Secara nonformal, segmen di masyarakat yang masih "waras" menjaga integritas dalam kesatuan berbangsa dan bernegara, harus mulai memberanikan diri muncul dan mengambil peran, baik secara individu ataupun kelembagaan. Jangan menjadi silent majority terus. Jangan takut untuk membicarakan isu-isu dalam tombol panik secara terbuka, konstruktif, kritis, dan akomodatif terhadap perbedaan. Untuk menyelamatkan kapal sebesar Nusantara ini, kita memerlukan kontribusi semua pihak.

IRWANTO

Direktur S-2 Science dan S-3 Fakultas Psikolog, Unika Atma Jaya Jakarta; Ko-direktur Pusat Kajian Perlindungan Anak, FISIP, UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Rekonsiliasi di Akar Rumput".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger