Periode siklus keuangan ini lebih panjang daripada siklus ekonomi (bisnis), yaitu naik-turunnya pertumbuhan ekonomi. Dewasa ini kita menghadapi siklus menurun (through) yang dicirikan oleh pertumbuhan kredit yang rendah dan stagnannya penjualan dan harga properti.
Ciri lain, bank menghadapi permasalahan kredit macet (NPL) yang, sekalipun menurut ukuran masih aman di angka 3 persen, proses restrukturisasinya tidaklah mudah. Siklus keuangan yang menurun ini berlangsung bersamaan dengan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Kecenderungan pertumbuhan ekonomi belakangan ini pada tingkatan sekitar 5 persen, sebelumnya sekitar 6 persen.
Pertanyaannya, apakah siklus keuangan yang pada proses penurunan (down turn) akan masih terus berlanjut atau telah mencapai dasarnya dan sedang dalam proses peningkatan kembali (upturn). Dalam siklus ekonomi apakah pertumbuhan akan berputar-putar (muddling through) di angka sekitar 5 persen ataukah dalam proses menuju pertumbuhan yang lebih tinggi.
Jika melihat perkembangan tiga tahun terakhir, tampaknya keadaan terendah dari siklus keuangan (through) akan berjalan sekitar dua tahun lagi sebelum siklus keuangan akan mengalami pergerakan peningkatan (upswing). Perbankan membutuhkan waktu untuk merestrukturisasi kredit bermasalah, apalagi cukup banyak nasabah yang tidak kooperatif. Tambahan lagi sektor yang menjadi andalan (leading sector) juga belum tampak terlihat, sedangkan pemerintah lebih menekankan mengejar penerimaan pajak daripada melakukan stimulasi secara berarti.
Sekalipun suku bunga kebijakan (sebelumnya BI Rate dan sekarang 7 harireverse repo) telah beberapa kali diturunkan, dan loan to value ratio (LTV) yang berkaitan dengan uang muka kredit perumahan dan kendaraan bermotor telah dilonggarkan, pertumbuhan kredit masih relatif rendah di sekitar 9 persen (yoy).
Sebenarnya dengan likuiditas yang ada, perbankan masih dapat meningkatkan pertumbuhan kreditnya menjadi dua digit. Namun, dengan masih berkutatnya perbankan dalam mengatasi NPL dan restrukturisasi kredit, serta belum jelasnya sektor yang memimpin (leading sector), membuat bank bersikap konservatif mengalokasikan kreditnya.
Kredit dan pertumbuhan
Pertumbuhan ekonomi masih sangat bergantung pada tingginya pertumbuhan kredit. Korelasi terlihat kuat antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan kredit. Sumber pembiayaan perusahaan terutama adalah dari kredit perbankan. Dengan pertumbuhan mencapai 10 persen pun pertumbuhan ekonomi masih akan berkisar pada angka 5 persen. Adapun sumber pendanaan dari pasar modal dan obligasi bagi perusahaan masih terbatas.
Pemerintah berusaha keras dan agresif meningkatkan penerimaan pajak antara lain dengan program pengampunan pajak yang baru saja selesai. Dengan rasio pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya sekitar 12 persen, tentu saja rendah sehingga pemerintah kekurangan dana untuk mendukung pembangunan infrastruktur dan program sosial.
Namun, pada saat perekonomian melambat, agresivitas penarikan pajak berdampak pada keengganan dunia usaha untuk berinvestasi dan rumah tangga untuk berbelanja.
Dengan kata lain, dalam jangka pendek, agresivitas dalam meningkatkan penerimaan pajak menghambat pertumbuhan kredit dan selanjutnya berimplikasi pada pertumbuhan ekonomi, walaupun dalam jangka menengah dan panjang, perbaikan dalam penerimaan pajak sangat menentukan keberlanjutan perkembangan ekonomi.
Stimulus ekonomi
Pemerintah sebenarnya dapat memfasilitasi atau bahkan mendorong pergerakan siklus keuangan untuk menanjak lagi dengan lebih cepat. Stimulasi ekonomi sangat dibutuhkan. Benar pemerintah membutuhkan penerimaan dari pajak yang lebih besar, tetapi pada saat ekonomi melambat, bukan saatnya untuk agresif dalam menarik pajak, tetapi lebih pada memberikan stimulasi.
Ekonomi Indonesia masih didominasi konsumsi, karena itu kepercayaan konsumen untuk berbelanja sangat penting bagi pergerakan ekonomi. Kredit konsumsi merupakan bagian penting dari kredit perbankan. Oleh karena itu, pertumbuhan konsumsi yang sehat berarti juga pertumbuhan kredit yang baik. Kepercayaan konsumen harus tetap dijaga pada tingkatan yang tinggi.
Begitu pula pentingnya modal kerja bagi perkembangan perusahaan dan ekonomi. Ekonomi yang berkembang dengan baik, pertumbuhan kredit modal kerja adalah pada tingkatan yang tinggi. Sekarang ini pertumbuhan kredit modal kerja melambat, yang menandakan perlambatan ekonomi.
Mendorong perkembangan sektor unggulan yang menggerakkan ekonomi sangatlah penting untuk memberikan arah perkembangan ekonomi. Pembangunan infrastruktur yang merupakan inisiatif pemerintah yang semula diharapkan menjadi pendorong utama perkembangan ekonomi dalam pelaksanaannya terkendala oleh tidak memadainya dana pemerintah dan minimnya keterlibatan swasta. Perkembangan yang berjalan tidak memberikan pengaruh yang meluas (multiplier effect) kepada kegiatan perekonomian karena kurangnya keterlibatan swasta.
Pembangunan infrastruktur masih dapat menjadi pendorong jika melibatkan peran swasta dalam dan luar negeri yang lebih besar. Mendorong perkembangan sektor manufaktur dalam pola rantai pasokan global (global value chain) tidak saja memperkuat struktur ekonomi, tetapi juga menciptakan kesempatan kerja.
Ditambah lagi dengan perkembangan investasi swasta dalam dan luar negeri yang diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Sekalipun pertumbuhan kredit masih rendah, rasio kredit perbankan terhadap deposito (LDR) sudah berada di sekitar 90 persen, jadi kemampuannya terbatas untuk memfasilitasi investasi yang tinggi.
Karena itu, memberikan keterbukaan kepada investasi asing pada sektor tertentu yang menjadi unggulan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lebih baik daripada menerapkan daftar negatif investasi yang implementasinya bersifat proteksionis.
UMAR JUORO
Ekonom Senior Center for Information and Development Studies (Cides) dan The Habibie Center
Tidak ada komentar:
Posting Komentar