Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 12 Juni 2017

TAJUK RENCANA: Media Sosial dalam Konflik Marawi (Kompas)

Konflik bersenjata di Marawi, Pulau Mindanao, Filipina selatan, yang tampak belum segera mereda, memakai media sosial sebagai alat propaganda.

Penggunaan media sosial sebagai alat propaganda terorisme bukan hal baru. Media sosial menjadi alat penyebar teror, penyesatan informasi, dan menarik pendukung.

Penggunaan media sosial sangat intensif dalam propaganda Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Kelompok Maute yang berkonflik di Marawi, dan oleh Pemerintah Filipina disebut berafiliasi dengan NIIS, juga menggunakan media sosial, antara lain Facebook, untuk propaganda.

Juru bicara militer Filipina, Letnan Kolonel Jo-ar Herrera, menyebut, sedikitnya ada 63 akun Facebook yang diduga digunakan sebagai alat propaganda kelompok Maute. Militer Filipina meminta Facebook menutup ke-63 akun tersebut karena menyebarkan informasi jahat dan bohong untuk memengaruhi pemikiran warga Filipina.

Media sosial sebagai alat propaganda sejak lama digunakan kelompok ekstrem atau teroris. Beberapa di antaranya Hamas, Hezbollah, Macan Tamil, Tentara Republik Irlandia (IRA), dan Al Qaeda.

Pesan tersebut umumnya tertutup, hanya untuk merekrut anggota baru, atau perlu waktu panjang untuk sampai ke masyarakat luas. Al Qaeda, misalnya, hanya melepas sedikit informasi ke masyarakat, kecuali setelah teror penabrakan pesawat terbang terhadap menara World Trade Center di New York, 9 September 2001.

Situasi tersebut berubah ketika NIIS mulai memunculkan identitasnya. Menurut Jessica Stern dan JM Berger (2016) dalam buku mereka tentang NIIS, kelompok ini membedakan diri dari organisasi teror sebelumnya dengan menggunakan kekerasan yang divideokan dan disiarkan, dimulai sejak tahun 2004.

Dalam perjalanan waktu, penggunaan media sosial semakin intensif dalam menarik anggota baru untuk bergabung atau menjadi pendukung, baik melalui video berisi kekerasan maupun janji tentang negara NIIS lengkap dengan pemerintahan dan warganya.

Ada banyak bukti cukup meyakinkan bahwa media sosial cenderung membuat masyarakat umumnya menjauhi ekstremisme. Namun, bagi mereka yang rentan terhadap radikalisasi, menurut Stern dan Berger, media sosial menciptakan keterhubungan sosial yang digunakan para perekrut teroris dan pendukungnya.

Kita tentu prihatin terhadap warga Marawi yang menjadi korban konflik bersenjata dan terpaksa mengungsi dalam ketidakpastian masa depan.

Pada sisi lain, konflik bersenjata di Marawi mengingatkan kita semua, pemerintah termasuk aparat keamanan dan masyarakat, segera membangun ketahanan menghadapi pertempuran lain, yaitu media sosial, yang telah sangat efektif digunakan NIIS di Irak dan Suriah.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 12 Juni 2017, di halaman 6 dengan judul "Media Sosial dalam Konflik Marawi".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger