Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Beban Penataan Daerah Pemilihan (SIDIK PRAMONO)

Setelah berkali-lali mundur dari rencana awal, DPR dan pemerintah telah menegaskan target pembahasan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu akan tuntas Juli ini. Sampai dengan sebelum masa reses pada akhir Juni lalu, pembahasan antara Panitia Khusus DPR dan pemerintah setidaknya masih menyisakan lima isu krusial.

Nyaris seperti kaset yang diputar ulang, syarat pengajuan pasangan calon presiden-wakil presiden (yang di Indonesia dinyatakan sebagaipresidential threshold) sejauh ini begitu menyita perhatian dan menjadi pengganjal utama terjadinya kesepakatan di antara 10 fraksi di DPR ataupun dengan pihak pemerintah.

Imbas dari perdebatan alot tersebut, bahkan pihak pemerintah sempat memunculkan wacana menarik diri dari pembahasan RUU jika klausul yang diusulkan tidak diterima oleh DPR. Akan tetapi, di luar isu syarat pengajuan calon presiden tersebut, perihal alokasi kursi DPR dan juga besaran daerah pemilihan (district magnitude) juga menyimpan beban yang tidak bisa diabaikan begitu saja.

Terkait jumlah kursi anggota DPR, kesepahaman telah mengerucut pada jumlah 575 kursi, naik 15 kursi ketimbang saat Pemilu 2014. Daerah yang bakal dapat penambahan juga sudah semakin jelas, untuk Provinsi Sumatera Utara (1 kursi), Riau (2 kursi), Kepulauan Riau (1), Lampung (2), Nusa Tenggara Barat (1), Kalimantan Barat (2), Kalimantan Utara (3), Sulawesi Tenggara (1), Sulawesi Barat (1), dan Sulawesi Tengah (1). Penambahan kursi ini sebenarnya masih menyimpan biang persoalan, yakni terkesampingkannya prinsip representasi dan proporsionalitas.

Proporsionalitas

Jika acuannya adalah rekapitulasi data kependudukan semester II-2016 yang dilansir oleh Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, daerah seperti Sulawesi Tengah ataupun Sulawesi Barat semestinya bukan provinsi prioritas untuk beroleh tambahan kursi DPR.

Tambahan kursi untuk Sulawesi Barat menjadikannya bergabung dengan Sulawesi Selatan yang merupakan wilayah dengan ekstra-representasi. Justru di sisi lain, tambahan untuk Sumatera Utara ataupun Kepulauan Riau belum memadai untuk menambal status sebagai daerah yang under-represented.

Di luar persoalan tersebut, rentetan masalah berikutnya yang harus diantisipasi oleh seluruh pemangku kepentingan pemilu adalah soal penataan daerah pemilihan. DPR ataupun pemerintah sejauh ini masih mempersoalkan besaran daerah pemilihan pemilu anggota DPR, yakni apakah tetap 3-10 kursi seperti Pemilu 2014 ataukah diperkecil menjadi 3-8 kursi per daerah pemilihan. Jika daerah pemilihan jadi diperkecil, sejumlah provinsi harus mengalami penataan daerah pemilihan, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Mengutip Brunell (2008: 50-51), prinsip dasar pembentukan besaran daerah pemilihan adalah kesatuan utuh (contiguous district), kesetaraan populasi (equal population), menjaga kesamaan kepentingan (preserving communities of interest), keutuhan wilayah politik (preserving political subdivision), dan kekompakan (compactness).

Merujuk draf RUU per 17 Juni 2017, dinyatakan bahwa penentuan daerah pemilihan anggota DPR dilakukan dengan mengubah ketentuan daerah pemilihan pada pemilu terakhir berdasarkan perubahan jumlah alokasi kursi, penataan daerah pemilihan, dan perkembangan data daerah pemilihan. Dengan adanya perubahan jumlah kursi dan juga perkembangan jumlah penduduk, penyesuaian daerah pemilihan mutlak harus dilakukan.

Tidak bisa diabaikan Pemilu 2014 menyisakan persoalan terkait pemetaan daerah pemilihan anggota DPR. Contoh paling nyata, terdapat daerah pemilihan yang bukan merupakan sebuah kesatuan utuh, yakni Jawa Barat III yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur.

Kesempatan

Kesempatan untuk menata kembali daerah pemilihan seharusnya dimanfaatkan dengan baik. Akan jadi persoalan besar ketika pemerintah dan DPR menutup kesempatan pemetaan ulang daerah pemilihan dan mengikat daerah pemilihan anggota DPR tidak boleh berubah dari pemilu sebelumnya. Banten bisa dijadikan contoh di mana 22 kursi DPR dialokasikan untuk tiga daerah pemilihan.

Jika tidak dilakukan realokasi kursi DPR di provinsi tersebut, ketimpangan (perkembangan) jumlah penduduk menjadikan kursi di Banten III (Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) menjadi kian mahal dibandingkan dengan dua daerah pemilihan anggota DPR lainnya di Provinsi Banten.

Hal serupa amat mungkin terjadi di Jawa Barat. Jika tidak dilakukan realokasi kursi, daerah pemilihan Jawa Barat VI yang terdiri dari Kota Depok dan Kota Bekasi akan menghasilkan kursi "super-mahal" (kuota kursi bisa mencapai 700.000 jiwa)dibandingkan daerah pemilihan lainnya—yang paling mencolok dengan Jawa Barat III yang terdiri dari Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur (kuota kursi hanya sekitar 350.000 penduduk).

DPR dan pemerintah naga-naganya akan mengambil beban penataan daerah pemilihan anggota DPR (dan juga daerah pemilihan anggota DPRD provinsi), alih-alih menugaskan kepada lembaga "independen" seperti Komisi Pemilihan Umum. Hal tersebut berbeda halnya dengan Jerman yang memiliki Komisi Daerah Pemilihan khusus yang independen, pun Inggris yang punya Boundary Commission. Sejauh ini, isu teknis ini belum banyak dimunculkan secara terbuka sehingga tipis pula kesempatan bagi publik (pemangku kepentingan pemilu) untuk mengkajinya secara kritis.

Kondisi yang kontraproduktif manakala target pembahasan RUU tinggal dalam hitungan hari—terlebih jika dibandingkan dengan realitas bahwa dengan merujuk data Pemilu 2014, terdapat setidaknya 77 daerah pemilihan anggota DPR, 259 daerah pemilihan anggota DPRD provinsi, dan 2.102 daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota yang berpotensi disisir ulang.

DPR dan pemerintah telah menyepakati bahwa RUU Pemilu yang disiapkan ini adalah sebuah revisi menyeluruh, revisi yang dimaknai sebagai perbaikan atas ketentuan terdahulu. Sungguh ironis jika kemudian niat itu justru terdegradasi hanya perubahan-perubahan yang lebih mengedepankan kepentingan kelompok atau bahkan individu demi mempertahankan kursinya. Alhasil, bukankah ini bakal menjadi tambahan amunisi bagi pihak yang akan meluruskannya lewat permohonan pengujian ke Mahkamah Konstitusi?

SIDIK PRAMONOPENGAJAR DI FISIP UNIVERSITAS BUDI LUHUR, AKTIF DI ELECTION AND GOVERNANCE PROJECT

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Beban Penataan Daerah Pemilihan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger