Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 11 Juli 2017

ARTIKEL OPINI: Menyiasati Subkultur Gerombolan Bermotor (RAHMA SUGIHARTATI)

Keterlibatan anak muda dalam geng motor tampaknya bukan sekadar penyaluran hobi atau keinginan untuk bersosialisasi dengan sesama peer-group, melainkan telah bergeser menjadi ajang mengekspresikan sikap antisosial dan subkultur menyimpang yang cenderung masuk ke wilayah kriminal.

Di Depok, misalnya, dua remaja dilaporkan menjadi korban keganasan geng motor (8/6/2017). Tanpa ada alasan dan faktor pemicu, dua remaja yang sedang berkendara sepeda motor di jalan raya tiba-tiba diadang segerombolan anggota geng motor dan, tanpa ba-bi-bu, langsung disabet senjata tajam hingga mengalami luka serius di kepalanya.

Di daerah lain, ulah geng motor tak kalah mencemaskan. Di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (7/6/2017), misalnya, puluhan anggota gengmotor dilaporkan menyerang warga yang tinggal di sebuah kompleks perumahan hanya gara-gara tersinggung karena merasa ditertawakan ketika terjatuh saat melakukan atraksi atau freestyle. Sekitar 30-an anggota geng motor yang marah kemudian langsung menyerang warga menggunakan busur panah serta senjata tajam lainnya.

Di Jakarta, ulah geng motor sering kali tidak hanya menampilkan perilaku kenakalan remaja yang lazim, seperti merokok atau berkelahi. Seperti di daerah lain, geng motor ada indikasi makin sering terlibat dalam tindak kekerasan dan melakukan aksi kejahatan, seperti mencuri, membegal orang, bahkan membunuh. Polda Metro Jaya setidaknya telah menangkap 28 remaja anggota geng motor dan menyita berbagai jenis senjata tajam yang digunakan.

Subkultur

Mencari faktor dan akar penyebab mengapa anak-anak muda geng motor mudah terjerumus melakukan aksi brutal, bahkan termasuk tindak kriminal, harus diakui bukan hal yang mudah. Hal itu karena di sana bertali-temali dengan berbagai faktor yang kompleks.

Pertama, ulah menyimpang dan kecenderungan anggota geng motor terlibat dalam aksi kriminal, dari perspektif psikologi selain dipengaruhi perilaku menyimpang teman-temannya dan gaya hidup yang salah, sering kali juga dipicu oleh penyalahgunaan minuman keras dan obat-obatan terlarang. Selain itu, kontrol orangtua dan sekolah yang longgar juga menjadi faktor yang dituding sebagai penyebab geng motor bertindak tak terkontrol, bahkan tak segan melukai orang lain hingga tewas.

Lebih dari sekadar kenakalan remaja, ulah yang didemonstrasikan anggota geng motor di berbagai tempat sesungguhnya mengindikasikan ada yang salah dalam proses tumbuh kembang anak. Masa remaja adalah masa pencarian identitas diri dan, karena pengaruh negatif dari lingkungan sosial yang keliru, jangan kaget jika anak-anak muda tiba-tiba tumbuh tak ubahnya seperti preman yang sama sekali tidak ingin dikekang norma sosial masyarakat.

Kedua, ada kaitannya dengan pertumbuhan subkultur anak muda yang merupakan bagian dari kelompok sosial yang mengidentifikasi dirinya sebagai the others (liyan). Penelitian yang dilakukan para ahli dari Mazhab Chicago mengenai asal-usul kenakalan remaja dan perilaku penyimpang yang mereka kembangkan menyimpulkan bahwa sebagian besar pola perilaku kriminal yang dilakukan anak muda bukan karena sebab-sebab biologis ataupun psikologis.

Seseorang melakukan perilaku menyimpang atau tindakan jahat diyakini bukan karena secara psikologis mereka agresif dan jahat, melainkan lebih karena nilai dan norma serta pengaruh peer-group mereka ketika remaja.

Dua studi awal mengenai subkultur yang dilakukan Frederic Thrasher dan Paul Cresseymenemukan bahwa ulah geng bukan disebabkan karena kelainan psikologis, melainkan muncul dari keakraban, rasa berbagi petualangan dan kegembiraan yang terjalin satu dengan yang lain (Williams, 2011: 22; Cressey, 2008).

Kedua ahli ini menyimpulkan, ketika lembaga-lembaga utama masyarakat—seperti keluarga, sekolah, gereja, dan tempat rekreasi—mengalami perpecahan, kehadiran lembaga sosial baru yang menyimpang, seperti geng (motor), akan muncul sebagai semacam organisasi pengganti.

Sementara tokoh Mazhab Chicago lain, Albert Cohen (1955), dalam bukunya yang monumental, Delinquent Boys, menyatakan bahwa perilaku menyimpang yang dikembangkan anggota geng sebenarnya adalah implikasi sikap dari kelompok yang memiliki keterbatasan akses terhadap sumber daya budaya dominan, yang kemudian berusaha memecahkan masalah mereka secara bersama-sama dengan metode alternatif, yakni mengembangkan subkultur yang patologis dan cenderung menentangstatus quo.

Dalam pandangan Cohen, ulah geng motor yang menabrak seluruh tatanan sosial sebetulnya adalah konsekuensi dari ketidakmampuan seseorang dalam memecahkan masalah mereka. Studi yang dilakukan Cohen menggambarkan bagaimana perilaku menyimpang di kalangan anak muda dari kelas bawah terus dikembangkan, terutama dalam menghadapi berbagai ketegangan yang terjadi.

Artinya, frustrasi yang dialami karena status sosial mereka yang rendah menyebabkan "reaksi formasi" sehingga mereka akan berusaha membalik nilai-nilai budaya dan norma-norma yang dominan untuk melegitimasi tindakan tertentu. Daripada bekerja keras untuk mendapatkan rasa hormat dari masyarakat umum, anggota geng justru membalik tujuan itu dengan secara sengaja tak mencapai tujuan tersebut, misalnya melakukan tindakan vandalisme untuk mendapatkan rasa hormat dari orang-orang yang sama-sama terpinggirkan yang ada di sekitar mereka.

Berempati

Aparat kepolisian yang gerah dengan ulah geng motor yang makin mencemaskan kini tidak lagi sekadar menangkap pelaku pembuat onar. Namun, jika perlu, akan juga diberlakukan kebijakan tembak di tempat kepada pelaku yang sudah melewati batas toleransi. Tindakan tegas ini sengaja diambil untuk memberikan efek jera kepada para anggota geng motor yang brutal dan sudah banyak memakan korban.

Apakah tindakan tegas aparat kepolisian benar-benar manjur meredam ulah brutal geng motor, tentu masih akan diuji oleh waktu. Akan tetapi, kalau melihat bahwa yang dihadapi adalah subkultur anak muda yang cenderung resisten dan melawan status quo, tindakan represif yang meregulasi ruang gerak mereka kemungkinan akan terus dicoba disiasati, bahkan dilawan.

Lebih dari sekadar tindakan represif, untuk meredam ulah geng motor sesungguhnya juga dibutuhkan pemahaman terhadap subkultur anggotanya dan bagaimana kita mampu menelurkan narasi-narasi kultural tandingan yang berempati kepada kecenderungan kultural geng motor itu. Subkultur geng motor yang resisten dan selalu melawan kemapanan niscaya akan dapat dieliminasi jika mereka memperoleh penyaluran aksi yang dinilai sama menggoda daripada sama sekali berusaha mematikan ruang gerak mereka.

RAHMA SUGIHARTATI

Dosen Prodi IIP FISIP Universitas Airlangga. Menulis Disertasi tentang Subkultur Anak Muda

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyiasati Subkultur Gerombolan Bermotor".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger