Strategis karena, sebagai cita, dasar, dan penuntun dalam kehidupan bernegara serta berbangsa, akhir-akhir ini Pancasila bagai ada dan tiada. Riuh dalam wacana, tetapi dinilai jauh dari begitu banyak harapan. Sejak masa Reformasi, para penyelenggara negara seolah berpuasa mengucapkannya, apalagi berupaya mewujudkannya dalam kehidupan bernegara, berbangsa, berpemerintahan, bahkan dalam kehidupan manusia Indonesia. Catatan kecil tentang aspek lingkup kegiatan dan kelembagaan di bawah ini dikemukakan sebagai sedikit sumbangan bagi kesempurnaan dan keberhasilan langkah yang penting itu, mumpung segala sesuatunya belum terlalu jauh berjalan.
Lingkup jangkauan
Pertama, yang menyangkut lingkup jangkauan daripada niat dan tujuan yang bagus tersebut. Bab Menimbang huruf a peraturan presiden tersebut memberi kesan yang bisa-bisa berpengaruh kurang menguntungkan bagi keberhasilannya. Rumusan "bahwa dalam rangka aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara perlu dilakukan pembinaan ideologi Pancasila terhadap seluruh penyelenggara negara" mengundang pertanyaan, mengapa terbatas hanya pada penyelenggara negara saja?
Bukankah kebutuhan pembinaan ideologi itu antara lain, dan utamanya, justru untuk mentransformasikan nilai-nilai luhur ideologi Pancasila agar merasuk dalam sikap, perilaku, dan tindakan dalam kehidupan seluruh bangsa, rakyat, dan manusia Indonesia? Membenahi dan akan memulainya dari penyelenggara negara bukanlah hal yang keliru. Namun, apabila hanya membatasinya pada penyelenggara negara, mungkin akan membuat dahi mengernyit. Mengapa tidak lebih dikaitkan dengan kebutuhan membangun dan mewujudkan mentalitas baru bagi bangsa, rakyat, dan seluruh manusia Indonesia yang menjadi "pemilik" negara ini?
Lebih dari sekadar sanggahan-"oh, itu nanti akan begitu" atau "hal itu akan berjalan dengan sendirinya"; bagaimana pun, rumusan kata-kata, apalagi dalam jabaran pikiran yang melatarbelakangi sebuah langkah dan tujuan yang strategis sifatnya-sebaiknya soal lingkup jangkauan pembinaan tersebut dipertimbangkan.
Faktor waktu
Kedua, ibarat membangun karakter manusia sebagaimana juga dirangkum dalam tekad untuk membangun ("merevolusi") mental(-itas) bangsa, rasanya tidak akan ada yang mendebat jika langkah tersebut akan merupakan kegiatan pembinaan yang berkelanjutan. Tidak mungkin urusan seperti itu akan selesai dalam setahun, dua, atau lima tahun. Pembinaan ideologi Pancasila, dalam rangka pembentukan karakter, membangun mentalitas, pastilah akan merupakan upaya yang berkelanjutan dan terus-menerus, di tengah generasi manusia Indonesia yang silih berganti.
Di antara banyak cara dan bentuk yang ditimbang, sekiranya bidang pendidikan akan digunakan sebagai tumpuan utama bagi upaya pembentukan karakter, tampaknya hal ini akan menyangkut konsep pembenahan fungsi tiap jenjang pendidikan dan pengajaran dalam sistem pendidikan nasional kita. Lebih dari sekadar kurikulum, arah dan desain pembinaan ideologi (sudah barang tentu bukan soal kurikulumnya) pastilah secara terus-menerus akan menjadi domain tugas UKP. Bagaimana dan di mana pentingnya catatan dalam aspek ini perlu dikemukakan?
Sesuai namanya, Unit Kerja Presiden pastilah akan mengikuti batas waktu jabatan Presiden. Apabila masa kepresidenan berakhir, akan berakhir pula keberadaan Unit Kerja Presiden tersebut. Kali ini, ketentuan Pasal 27 bahwa "masa tugas Pengarah dan Kepala mengikuti masa bakti Presiden", kata orang asing, jelaslah "it goes without saying". Pemikiran soal ini, sudah tepatkah penyelenggaraan upaya strategis tersebut kalau dikaitkan dengan keberadaan kelembagaan yang tidak mencerminkan jaminan kelangsungan kegiatan pembinaan itu sendiri?
Masa kerja kepresidenan saat ini kira-kira akan berlangsung 28 bulan lagi. Untuk langkah besar yang sangat strategis ini, rasanya tidak akan banyak pilihan untuk diambil. Meletakkan dasar dan arah strategi pembinaan yang "maton", yang sekali lagi mesti berkelanjutan dan berjangka panjang, serta dapat dijadikan dasar operasionalisasi/pelaksanaan pembinaan di masa depan yang panjang, baik di kalangan penyelenggara negara maupun-apalagi-di kalangan rakyat/manusia Indonesia, tampaknya akan menjadi kebutuhan.
Oleh karena itu, dalam sisa masa kerja Presiden yang sesungguhnya tidak lama lagi, hal itu penting dipertimbangkan. Bukan saja kerja jangka panjang ini pasti memerlukan komprehesivitas program dan kerja yang akan dilakukan, melainkan untuk mewadahinya juga akan memerlukan lembaga yang lebih tetap, baik dalam desain maupun statusnya.
Oleh karena itu, tidaklah perlu upaya ini dihambat dengan ungkapan-ungkapan seperti "tidak akan sama dengan BP7 dan kegiatan P4 seperti di masa lampau" dan lain-lain yang sejenis itu. Ungkapan pembinaan ideologi Pancasila bukan seperti itu dan tidak seperti ini, tidak saja mempersulit diri, tetapi juga tak ada manfaatnya. Bagaimana pun, pengalaman dalam penyelenggaraan pembinaan ideologi Pancasila sebenarnya sudah pernah ada.
Bahkan, di antara yang mengeluarkan ungkapan tersebut bukan tidak mungkin juga produk kegiatan serupa di masa lalu. Apabila ada yang kurang, lebih baik disempurnakan dan dijadikan bahan bagi penyusunan rencana dan langkah baru yang akan dilakukan di kemudian hari.
Posisi pengarah
Sebagai UKP, sudah wajar pula apabila kepala UKP yang memimpin UKP berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Meski begitu, mungkin akan lebih baik lagi sekiranya dipikirkan posisi pengarah dalam UKP ini.
Dengan memperhatikan komposisi dan kualifikasi keanggotaannya, tampaknya lebih pantas jika pengarah diperankan sebagai tim yang secara khusus memberi saran kepada Presiden dalam pembinaan ideologi Pancasila. Selaku pemilik UKP, adalah wajar bilamana Presidenlah yang langsung memberi arahan kepada UKP. Penataan seperti itu lebih menyederhanakan pertanggungjawaban kepala UKP.
Dengan tatanan tadi, posisi pengarah seyogianya dilepas dari struktur/susunan organisasi UKP (Pasal 5) dan sebaiknya dibuat dalam peraturan presiden tersendiri. Namun, kalaupun masih tetap akan dilakukan seperti pengaturan dalam Peraturan Presiden Nomor 54, pengaturan posisi pengarah sebaiknya diwujudkan dalam bab tersendiri dan dilepaskan dari susunan organisasi UKP, seperti diatur dalam pasal tersebut.
Ketentuan Pasal 1 Ayat (2) yang menahbiskan kepala UKP sebagai pemimpin UKP dan bertanggung jawab kepada Presiden memberi kesan bahwa pengarah pun (seperti disebut dalam Pasal 5 sebagai unsur dalam susunan organisasi UKP), secara hukum dan organisatoris, berada di bawah kepala UKP.
Di samping konstruksi yang terasa mengganjal, ada pula aspek psikologis yang rasanya baik untuk ditimbang ulang. Pemberian hak keuangan dan fasilitas, bagi para beliau mungkin menjadi nomor kesekian. Namun, pengaturan perlakuan kepada para pengarah yang terdiri dari mantan presiden, mantan wakil presiden, mantan ketua Mahkamah Konstitusi, dan para tokoh sepuh lainnya, yang disetarakan dengan pejabat eselon Ia (Pasal 33) baik untuk direnungkan.
Mudah-mudahan catatan singkat ini memberi manfaat.
BAMBANG KESOWO
Pemerhati Kebijakan Publik

Tidak ada komentar:
Posting Komentar