Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 29 Juli 2017

Demokrasi Pancasila dan Islam (ZULY QODIR)

Keputusan pemerintah mengeluarkan Perppu No 2/2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan mendapatkan respons pro dan kontra dari masyarakat Indonesia.

Yang kontra menyatakan bahwa perppu tersebut "memberangus kebebasan berpolitik dan berorganisasi" masyarakat Indonesia. Sementara yang pro mengatakan bahwa negara sudah benar karena perlu pengaturan yang jelas dan tegas atas organisasi sipil yang ada di Indonesia. Demokrasi tidak sama dengan bebas tanpa aturan.

Setelah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dibubarkan, beberapa organisasi masyarakat sipil memprotes keputusan negara dengan pelbagai argumen yang disampaikan. Benarkah ini melanggar demokrasi Pancasila karena negara kita memang berdasarkan Pancasila?

Prinsip demokrasi itu adalah adanya partisipasi warga negara. Adanya keterlibatan warga negara dalam berbangsa dan bernegara. Warga negara tidak hanya jadi "patung, pion, dan legitimasi politik" kekuasaan penguasa. Oleh sebab itu, partisipasi, keterlibatan, dan penghargaan hak-hak serta pemenuhan hak warga negara harus dilakukan oleh penyelenggara negara.  Jika negara tidak memenuhi hak-hak warga negara, negara dianggap abai dengan demokrasi.

Namun, di pihak lain, warga negara juga harus memiliki ketaatan kepada negara. Warga negara tidak hanya meminta dipenuhi haknya, sementara tidak bersedia menaati peraturan dan perintah negara. Membayar pajak, menaati rambu lalu lintas, pembuatan kartu identitas penduduk, dan taat UU adalah kewajiban warga negara. Tak bisa hanya dengan alasan negara demokrasi lalu bertindak semena-mena, bahkan menghukum negara dengan argumen ini negara demokrasi.

Ketaatan hukum, keadilan, kebersamaan, saling menghargai, berdialog, dan tidak ingin menang sendiri adalah prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang tertuang dalam sila-sila Pancasila. Penerapan keadilan hukum keadilan sosial, memanusiakan manusia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bermusyawarah merupakan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila yang sudah harus menjadi "jiwa bangsa".

Jika ada warga negara yang senantiasa berargumen ini adalah negara demokrasi, tetapi tak bersedia menjalankan peraturan atau tidak bersedia menaati peraturan yang ditetapkan oleh negara, sebenarnya mereka adalah pelanggar demokrasi tetapi atas nama demokrasi. Inilah yang kita sebut demokrasi liberal, bukan demokrasi Pancasila.

Benar bahwa Pancasila pernah dijadikan alat kekuasaan pada era Orde Lama dan Orde Baru, khususnya Orde Baru era Soeharto. Namun, saat ini kita tidak bisa menjadikan Pancasila sebagai slogan politik yang tanpa isi-tanpa makna. Pancasila sekarang harus jadi bagian dari "laku hidup", "urat nadi", dan benar-benar jiwa bangsa ini.

Nilai Islam dalam negara Pancasila

Sila Ketuhanan Yang Maha Esa oleh sebagian besar sarjana kontemporer dikatakan sebagai bagian dari bentuk nyata adanya keharusan warga Indonesia ber-Tuhan, apa pun agamanya. Oleh sebab itu, tidak benar jika dikatakan bahwa Indonesia menoleransi agar warga masyarakat itu tidak perlu ber-Tuhan alias ateis ataupun agnostik.

Pertanyaannya, apa yang salah dengan sila pertama Pancasila?  Bukankah ini merupakan pengamalan agar masyarakat Indonesia ber-Tuhan, tidak seperti dituduhkan beberapa pihak bahwa Indonesia mengesahkan warganya untuk tidak ber-Tuhan.

Bahwa Indonesia bukan negara agama, apalagi negara Islam, dalam arti formal memang benar adanya. Hal ini karena memang para pendiri bangsa tidak berkehendak Indonesia menjadi negara agama atau negara Islam sebagai hasil konsensus bersama para pendiri bangsa. Oleh sebab itu, jika ada kelompok agama atau masyarakat memaksakan agar Indonesia menjadi negara agama, sebenarnya itu telah bertentangan dengan konsensus para pendiri bangsa.

Negara ini tentu sangat berterima kasih kepada umat Islam sebagai mayoritas yang tidak memaksakan kehendaknya untuk mendirikan negara Islam Indonesia sekalipun jika para pendiri bangsa memaksakan secara politik itu bisa saja terwujud. Namun, demi keutuhan negara dan kemajuan bersama bangsa ini, para pendiri bangsa memilih untuk mementingkan bangsa dan negara ketimbang egoisme umat Islam, apalagi egoisme para politisi Muslim yang jumlahnya lebih banyak daripada politisi non-Muslim. Inilah jiwa kenegarawanan yang seharusnya kita contoh dari para pendiri bangsa, bukan mengutamakan egoisme kelompok dan pribadi di atas kepentingan negara-bangsanya.

Sila pertama memang sila yang paling diperdebatkan oleh sebagian politisi dan masyarakat Islam Indonesia. Namun, jika kita konsisten dengan para pendiri bangsa, sudah seharusnya kita tinggal mengisi negara ini dengan pelbagai macam amal saleh, amal kebajikan, sehingga negara dan bangsa ini mampu menjadi negara yang benar-benarbaldatun thayibatun wa rabun ghofur(negara yang sejahtera, melimpah, aman, dan dikarunia berkah Tuhan), bukan negara yang penuh angkara murka, dendam kesumat, dan pembunuhan.

Tentu ada persoalan serius yang harus jadi pekerjaan kita bersama, yakni soal keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia.  Keadilan ini harus menjadi urat nadi bangsa ini sehingga tidak boleh ada kelompok tertentu yang menguasai hajat hidup orang banyak dengan kekayaan yang melimpah ruah, sementara sebagian lainnya hidup dalam kubangan kemiskinan. Keadilan sosial sebenarnya akan terjadi ketika para orang kaya dan super kaya ini memiliki perilaku dermawan yang unggul.

Jika para orang kaya dan super kaya bersedia dengan penuh kesadaran diri bahwa mereka yang miskin (si miskin) adalah tanggung jawabnya, mereka tidak akan rakus. Mereka tidak akan menumpuk kekayaan untuk keluarganya, kelompoknya, partainya, dan saudaranya secara berlebihan karena di sana ada hak para si miskin papa.

Ijtihad politik

Inilah persoalan yang jauh lebih penting dipikirkan ketimbang sibuk mengurus perubahan bentuk negara dan mengubah dasar negara. Hal ini sebenarnya hanya kehendak segelintir orang yang tak puas dengan aktualisasi atau pengamalan Pancasila dalam negara RI, tapi tergesa-gesa menginginkan perubahan dasar dan bentuk negara.

Apa yang ditegaskan oleh Muhammadiyah bahwa negara Pancasila adalah darul Akhdi wa syahadah adalah bentuk ijtihad politik yang paling mutakhir dan perlu diimplementasikan di Indonesia. Bagaimana umat Islam yang jumlahnya mayoritas berkewajiban mengisi kegiatan di negara ini dengan amal kebajikan, berlomba-lomba dalam membangun peradaban bangsa, membangun kemanusiaan, dan membangun kebangsaan.

Inilah ijtihad Muhammadiyah yang sangat tepat dan sesuai nilai-nilai Islam. Inilah sebenarnya yang kita namakan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, yakni jika Indonesia itu menjadi negara yang adil dan makmur bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk segelintir politisi dan pemilik modal besar.

Dengan demikian, demokrasi Pancasila itu jika diringkas dapat ditegaskan tidak ada yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Pancasila itu hasil ijtihad dan ijmapara ulama Indonesia.

ZULY QODIR

Sosiolog; Dosen Fisipol Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 29 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul "Demokrasi Pancasila dan Islam".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger