Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 01 Juli 2017

Menimbang Puasa Kita (SALAHUDDIN WAHID)

Kita menyaksikan di media bahwa pada bulan Ramadan 1438 terjadi beberapa peristiwa operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di sejumlah tempat.

Di Jawa Timur, ketua komisi di DPRD provinsi dan beberapa orang lain ditangkap, di Mojokerto, anggota DPRD ditangkap, di Bengkulu pejabat kejaksaan ditangkap dan yang terakhir ialah istri Gubernur Bengkulu dan Bendahara Partai Golkar Bengkulu serta seorang pengusaha ditangkap. Kemudian Gubernur Bengkulu juga ditetapkan sebagai tersangka.

Di WhatsApp (WA) muncul video berisi adegan Gubernur Bengkulu sedang berpidato menganjurkan pegawai pemerintah daerah Bengkulu untuk tidak melakukan korupsi. Jangan hanya berbicara saja, tetapi harus dilakukan. Dia juga mengemukakan bahwa KPK menilai Bengkulu mengalami kemajuan dalam melawan korupsi. Bahkan, ada berita bahwa Gubernur Ridwan Mukti mendapat penghargaan dari MUI Bengkulu sebagai tokoh berakhlak mulia.

Saya menduga, praktik busuk yang mirip dengan apa yang dilakukan anggota DPRD di atas, dilakukan oleh banyak sekali anggota DPRD dan DPR, mungkin lebih banyak yang melakukannya daripada yang tidak.

Juga banyak sekali kepala daerah yang melakukan praktik hitam yang dilakukan oleh istri dan Gubernur Bengkulu itu. Pejabat di tingkat lebih tinggi daripada gubernur pun banyak yang melakukan praktik hitam seperti di atas. Bahkan, penilaian oleh badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap instansi pemerintah pun kini menjadi obyek penyalahgunaan wewenang.

Saya langsung teringat, pada 2006, saya membuat tulisan yang dimuat di Kompasdengan judul "Adakah yang Salah dengan Puasa Kita?" Dalam tulisan itu, saya kemukakan bahwa mutu puasa kita belum seperti yang kita harapkan. Tandanya, antara lain, ialah bahwa korupsi masih marak, jual-beli perkara masih banyak, kemiskinan masih menjamur.

Tulisan itu mendapat sejumlah tanggapan, di surat pembaca Kompasdan juga di televisi. Salah satunya berkomentar, puasa tak akan bisa memerangi korupsi. Menurut dia, memberantas korupsi adalah tugas penegak hukum, bukan tugas ulama dan bukan tugas puasa. Jadi salah alamat kalau kita mengharap agama bisa memberantas korupsi.

Saya setuju bahwa bukan tugas ulama dan bukan tugas agama untuk memberantas korupsi. Itu tugas lembaga dan aparat penegak hukum. Akan tetapi, agama berperan dalam membuat aparat penegak hukum, pejabat negara, anggota DPR dan lembaga negara lain supaya bisa menjadi jujur dan amanah. Salah satu caranya ialah dengan melakukan puasa Ramadhan.

Kualitas puasa

Fakta sejumlah operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK di atas yang dilakukan dalam bulan Ramadhan membuat kita harus mempertanyakan dan menimbang mutu puasa kita. Saya menduga para pejabat Muslim yang terkena OTT KPK itu sedang berpuasa. Berarti puasa mereka hanya puasa makan dan minum saja. Saya juga menduga bahwa sebagian besar yang terkena OTT KPK itu melakukan shalat atau ikut kebaktian di gereja. Berarti mereka itu melakukan shalat, bukan mendirikan shalat. Melakukan shalat berarti melakukan gerakan shalat, tetapi batinnya tidak ikut shalat.

Penyalahgunaan wewenang tidak hanya bisa dilakukan oleh para pejabat negara. Itu bisa dilakukan oleh akuntan, pengacara, wasit sepak bola, dokter, insinyur yang kongkalikong dengan kontraktor, bahkan oleh ulama (berbagai agama) yang memanfaatkan kedudukan dalam ormas agama. Penyalahgunaan wewenang seperti itu mungkin tidak terjangkau oleh hukum, tetapi itu melanggar etika dan berdosa.

Dosa dan kejahatan itu harus kita bedakan. Dosa sosial, seperti korupsi, tidak dianggap sebagai kriminal kalau tidak ketahuan atau tidak tertangkap tangan. Namun, walaupun tidak terkena OTT oleh KPK, tindakan itu tetap tercatat sebagai dosa dan pasti diketahui oleh Allah SWT. Tindakan mengubah penilaian BPK dari Wajar dengan Pengecualian (WDP) menjadi Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), menjadi kejahatan kalau ketahuan, tetapi tetap merupakan dosa walaupun tidak ketahuan.

Tujuan puasa ialah supaya kita bertakwa. Takwa ialah kedudukan paling mulia dalam Islam, Inna akromakum indAlloohi atqookum. Keutamaan orang bertakwa dijelaskan dalam ayat: wa mayyattaqillaha yaj'allahu makhroja, wa yarzuqhu min khaitsu laa yakhtasib, wa mayyatawakkal alalloohi fahuwa hasbuh. Artinya: Sesiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan memberinya jalan keluar (dari segala masalah), dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka, sesiapa yang berserah diri (secara total) kepada Allah, maka cukuplah baginya Allah (untuk menolongnya).

Secara sederhana, takwa adalah menjalankan semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi semua yang dilarang Allah. Ketakwaan bukan hanya menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga dengan manusia lain, alam, dan makhluk lain.

SALAHUDDIN WAHID

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Juli 2017, di halaman 6 dengan judul "Menimbang Puasa Kita".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger