Namun, yang penting menjadi catatan, masyarakat Perancis tak terpengaruh. Kantor berita Reuters membuat laporan eksklusif tentang operasi agen-agen intelijen Rusia memata-matai pergerakan Emmanuel Macron yang saat itu masih sebagai Ketua Partai En Marche! Salah satu cara yang dipakai adalah menggunakan media sosial populer, Facebook. Para agen menjalin pertemanan dengan teman-temannya para pejabat yang dekat dengan Macron.
Pada saat bersamaan, upaya peretasan juga terjadi pada komputer kubu Macron. Ribuan dokumen dibocorkan, termasuk surat-surat elektronik, data personal, data bank, dan lainnya. Pembocoran secara masif ini dilempar ke publik hanya dua hari sebelum pemungutan suara.
Setelah ditelusuri, jejak peretas bermuara pada alamat serupa yang meretas Konvensi Nasional Demokrat dalam pemilu AS 2016, yaitu APT 28, Fancy Bear, yang memiliki kaitan dengan unit intelijen Rusia, GRU. Namun, Rusia membantah semua tuduhan ini.
Berbeda dengan publik Amerika, publik Perancis tak terpengaruh oleh dokumen-dokumen yang dibocorkan ataupun oleh berita-berita bohong yang disebarkan. Alasannya, mungkin karena pembocoran itu terlalu mepet dengan pelaksanaan pemilu sehingga penyebaran bisa dilokalisir. Atau, karena publik Perancis sudah mengantisipasi kemungkinan serangan siber sejak lama sehingga lebih waspada. Bisa juga, skandal campur tangan Rusia pada pemilu AS begitu besar pemberitaannya sehingga masuk dalam kesadaran kolektif masyarakat Eropa yang akan menghadapi pemilu.
Apa pun penyebabnya, kali ini pelaku peretasan gigit jari. Macron menang telak atas calon dukungan Rusia, Marine Le Pen. Kewaspadaan juga ditingkatkan oleh negara-negara Eropa yang menghadapi pemilu, antara lain Belanda, Inggris, dan Jerman, yang akan melaksanakan pemilu pada September.
Pemanfaatan media sosial untuk penyebaran berita-berita bohong dan menghasut juga sudah melanda Indonesia. Pemerintah antara lain menutup aplikasi yang bisa mengenkripsi pesan, Telegram, karena telah digunakan untuk penyebaran radikalisme dan terorisme.
Namun, penyadaran masyarakat untuk mampu memilah dan menyaring berita-berita bohong atau menghasut menjadi lebih penting. Apalagi, ada sekitar 79 juta pengguna media sosial di Indonesia, dan 90 persennya pengguna Facebook. Publik Perancis setidaknya telah memberi contoh bagaimana menjaga "kesehatan" berpikir. Ini menjadi tugas kita semua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar