Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 11 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: ”Demokrasi Ada Batasnya” (DESPAN HERYANSYAH)

Demokrasi memang paradoks. Setidaknya ini dapat kita saksikan dari kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat di negara kita akhir-akhir ini.

Setiap orang bersuara atas demokrasi, melakukan aksi protes terhadap apa saja juga atas nama demokrasi, mendirikan organisasi atas nama demokrasi, termasuk membubarkan organisasi atas nama demokrasi. Bahkan, demokrasi jadi alasan bagi seseorang atau sekelompok orang untuk menolak demokrasi itu sendiri. Pertanyaannya, benarkah atas nama demokrasi sekelompok orang boleh melawan pemerintah yang sah? Benarkah atas nama demokrasi rakyat daerah dapat menyuarakan kepentingan daerahnya sendiri, termasuk untuk membebaskan diri?

Pertanyaan tersebut memang sederhana, tetapi tidak mudah menjawabnya. Kita dihadapkan pada dua kondisi yang satu sama lain berpegang pada kepentingan yang berbeda. Pada satu sisi, ada rakyat yang menggantungkan harapan besar agar pemerintah dapat menjamin kebebasannya untuk (setidaknya) bersuara, berkumpul, dan berpendapat. Di sisi lain, kita dihadapkan pada negara yang memiliki tanggung jawab mempertahankan keutuhan wilayah dan ideologi. Rakyat menginginkan kebebasan, sedangkan negara mengupayakan persatuan. Keduanya sulit dipertemukan dalam sebuah negara yang plural layaknya Indonesia. Hal ini diakui Francis Fukuyama, seorang ahli demokrasi berdarah Jepang, tetapi berkebangsaan AS.

Pada 1994, Fukuyama mengklaim bahwa demokrasi hasil peradaban umat manusia memang tidak lepas dari cacat. Namun, dibandingkan sistem lain, demokrasi adalah yang paling representatif. Akan tetapi, pada 2004, Fukuyama merombak kembali hipotesis awalnya itu, dan secara radikal menyatakan bahwa negara harus diperkuat.

Memperkuat negara di era modern ini merupakan suatu respons atas menguatnya kembali gerakan-gerakan radikal yang memosisikan diri sebagai kontra negara. Berdiam diri atas gerakan itu sama artinya dengan menunggu kehancuran negara. Pada titik lain, dapat dikatakan, berkembangnya berbagai varian gerakan radikal itu adalah karena lemahnya peran negara.

Batas demokrasi?

Tulisan Bung Hatta dalam bukuDemokrasi Kita barangkali layak dijadikan sebagai rujukan. Tanpa menafikan peran pendiri bangsa yang lain, Bung Hatta adalah peletak dasar demokrasi asli Indonesia yang tetap konsisten hingga akhir hayatnya.

Demokrasi atau kedaulatan rakyat yang kita impikan sejak masa penjajahan, Orde Lama, hingga Orde Baru, sekarang dihadapkan dalam realitas soal bagaimana mempraktikkan demokrasi itu dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Saat ini, kita tengah diuji dari apa yang kita cita-citakan dahulu: benarkah demokrasi adalah pilihan terbaik di negeri ini? Kita juga dihadapkan pada orang-orang yang dengan mudah sekali mengukur kebenaran suatu cita-cita dengan hasilnya dalam praktik.

Harus dipahami bahwa gambaran dari suatu cita-cita dan mempraktikkanya dalam dunia nyata terletak pada suatu medan perjuangan yang disebut realitas daripada cita-cita itu sendiri. Dalam alam ide bisa digambarkan suatu bangunan negara yang ideal atas nama demokrasi. Namun, dalam dunia nyata ia dihadapkan pada berbagai rintangan sehingga tak jarang demokrasi dalam praktik berlainan sekali bentuknya dengan patokan idealnya.

Di dalam praktik, kita berhadapan dengan sifat manusia yang lamban, yang tidak begitu mudah menerima yang baru, dan ingin berpegang pada kebiasaan. Selanjutnya, pemahaman yang keliru dan salah tentang demokrasi menimbulkan berbagai respons yang juga keliru. Reaksi terhadap penindasan di masa lampau menimbulkan sikap yang menantang kepada segala ikatan persekutuan. Kebebasan yang baru diperoleh sering kali menghilangkan pertimbangan, bahwa demokrasi ada batasnya (Moh Hatta: 2009, 12).

Demokrasi sering dipahami bahwa tiap golongan boleh bertindak sekehendaknya. Bukankah kedaulatan rakyat berarti bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, rakyat punya kekuasaan yang tertinggi? Rakyat adalah raja dan sumber datangnya hukum, karena itu rakyat boleh melakukan apa saja sesuai perasaan kebenaran dan keadilan yang hidup dalam golongannya. Juga atas nama demokrasi beberapa penganjur dapat mengajak sekelompok rakyat di tempatnya untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Karena kadaulatan ada di tangan rakyat, sekelompok masyarakat lalu "menyodorkan" keinginannya dan meminta negara agar memenuhi keinginan-keinginan itu. Jika pemerintah menolak tuntutan itu, dikatakan bahwa pemerintah menentang demokrasi.

Apa jadinya dengan suatu negara jika tiap-tiap golongan boleh mengambil keputusan sesuai kehendaknya sendiri atas nama demokrasi, apalagi jika keputusan itu bertentangan satu sama lain. Demokrasi Indonesia telah ditetapkan dengan resmi di dalam konstitusi. Dan, konstitusi telah mengatur bagaimana demokrasi tersebar dalam berbagai lembaga negara. Lembaga-lembaga negara inilah yang menjadi wakil dari rakyat dalam berdemokrasi. Dengan kata lain, pemerintah atas nama demokrasi menanggung beban besar dalam mewujudkan kedaulatan rakyat itu.

Syarat yang paling mutlak dari semua itu adalah kita harus yakin akan kebenaran dan kebaikan demokrasi bagi susunan negara kita. Bahwa, ia adalah dasar yang sebaik-baiknya untuk mencapai Indonesia sejahtera, dengan tetap mengadakan koreksi atas segala hal yang menjadi rintangan.

DESPAN HERYANSYAH, PENELITI PADA PUSAT STUDI HUKUM KONSTITUSI (PSHK) FAKULTAS HUKUM UII

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul ""Demokrasi Ada Batasnya"".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger