Dalam diskusi terbatas itu, ekonom dunia Nouriel Roubini, dengan nada cemas, bicara tentang produktivitas yang masih rendah dan kekhawatirannya pada arus balik globalisasi. Secara khusus ia menyebut: globalisasi hanya bisa berjalan jika ia memberikan tempat kepada semua kelompok, termasuk mereka yang kalah akibat globalisasi. Ia menganjurkan upaya perbaikan dalam pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial. Tujuannya, mereka yang terpinggirkan dapat merasakan manfaat globalisasi.
Saya kira Roubini benar. Tak hanya itu, ekonom senior Jonathan Ostry dari Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, liberalisasi keuangan dapat mendorong ketimpangan ekonomi. Itu sebabnya, pertumbuhan inklusif dibutuhkan. Dalam konteks inilah saya diminta bicara dalam diskusi terbatas itu soal pertumbuhan ekonomi inklusif dari perspektif Asia.
Ancaman pertumbuhan rendah
Diskusi di Cusco memang agak muram. Jose Ocampo, mantan Menteri Keuangan Kolombia dan guru besar di Columbia University, mengingatkan terbatasnya instrumen fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan di negara-negara yang perekonomiannya tengah bertumbuh (emerging markets/EM). Tak semua negara memiliki ruang untuk ekspansi fiskal, sementara di sisi lain ekspansi moneter juga amat terbatas karena Bank Sentral AS (The Fed) akan mempercepat normalisasi kebijakan moneternya.
Perdagangan global? Tak kurang mendungnya. Ia melambat dan diperburuk oleh proteksionisme Presiden AS Donald Trump. Pilihan yang tersisa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi tinggal reformasi struktural. Namun, seperti saya sampaikan di Cusco, reformasi struktural tak mudah secara politik. Manfaat dari reformasi ini kerap baru terasa dalam jangka panjang, sementara masyarakat harus berkorban seketika. Ini sulit secara politik. Reformasi ekonomi harus memperhitungkan siklus politik agar ia mendapat dukungan. Implikasinya, ruang bagi reformasi struktural lebih mudah diucapkan ketimbang dijalankan.
Karena itu, ada risiko negara-negara EM memasuki era pertumbuhan rendah. Sebuah pesan yang sedih. Padahal, Indonesia tengah bersemangat dengan ekonominya. Dalam konteks ini, kinerja ekonomi Indonesia sebenarnya cukup baik.
Felipe Larrain, mantan Menteri Keuangan Cile, menyampaikan pujiannya karena Indonesia masih bisa tumbuh 5 persen, lebih baik ketimbang banyak negara penghasil sumber daya alam (SDA) lainnya. Saya mengiyakan. Namun, kita harus jujur: pertumbuhan ekonomi 5 persen jauh dari cukup. Kita butuh pertumbuhan ekonomi lebih cepat. Bonus demografi akan berakhir pada 2050. Tanpa pertumbuhan tinggi, ada risiko kita menjadi tua sebelum kaya.
Pemerintah memang berusaha keras untuk itu. Kita mencatat langkah positif dari paket ekonomi pemerintah dan tentunya pembangunan infrastruktur. Untuk itu, defisit anggaran ditingkatkan. Kita semua sepakat mengenai pentingnya pembangunan infrastruktur, akses pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi penduduk miskin. Tanpa itu, penduduk miskin akan terpinggirkan dalam globalisasi. Inilah bagian dari pertumbuhan inklusif. Kebijakan fiskal harus dirancang untuk menjawab isu ini.
Arah kebijakan pemerintah sebenarnya sudah benar. Ia akan membuat Indonesia yang lebih baik pada masa depan. Sayangnya, dalam jangka pendek, pertumbuhan seperti mandek. Data Badan Pusat Statistik bahkan menunjukkan penurunan jumlah orang miskin sangat terbatas dalam beberapa tahun terakhir ini. Lalu, mengapa ekspansi fiskal, dengan penambahan utang, tak mendorong pertumbuhan atau pengurangan kemiskinan secara tajam?
Pertama, tentu kita tak bisa melepaskan ekonomi Indonesia dari kondisi global. Perlambatan perdagangan dunia dan jatuhnya harga komoditas serta energi telah memukul ekonomi kita. Namun, kita tak bisa selamanya bersikapapologetic. Lihatlah, ekspor Vietnam atau Banglades tumbuh pesat. Bahkan, Banglades, negeri dengan persoalan infrastruktur amat parah, ekspor tumbuh tinggi. Artinya, kendala infrastruktur bukan satu-satunya penjelas mengapa ekonomi hanya tumbuh 5 persen. Ke depan, transformasi harus dilakukan untuk mengubah struktur ekonomi dari SDA menuju manufaktur yang didukung kualitas SDM. Sayangnya, ini butuh waktu panjang.
Kedua, strategi pembangunan infrastruktur dan kebutuhan dasar membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan. Strategi jangka panjang jelas perlu, tetapi seperti kata ekonom terbesar abad ke-20, Keynes, tak ada gunanya kebijakan ekonomi jangka panjang jika tak mampu menjawab masalah jangka pendek. Karena itu, langkah pemerintah dalam pembangunan infrastruktur harus dikombinasikan dengan upaya jangka pendek untuk mendorong kesejahteraan masyarakat. Dengan ini, permintaan akan meningkat. Masalahnya anggaran terbatas.
Ketiga, tengok fakta ini: rasio dari tabungan domestik terhadap produk domestik bruto di Indonesia terus naik, tetapi anehnya pertumbuhan dana pihak ketiga (tabungan) di perbankan cenderung melambat, terutama setelah 2014. Ke mana larinya tabungan? Data menunjukkan, pertumbuhan obligasi pemerintah terus mengalami peningkatan sejalan dengan utang pemerintah yang meningkat.
Apa artinya? Kita melihat gejala pembiayaan defisit anggaran melalui utang (obligasi) domestik ternyata telah memindahkan tabungan di perbankan ke obligasi pemerintah. Implikasinya, sumber untuk ekspansi kredit di perbankan (supply of loanable fund) menjadi terbatas sehingga investasi swasta yang bisa dibiayai perbankan pun terbatas. Karena itu, investasi swasta mandek atau melambat. Inilah yang disebut crowding out effect.
Studi awal yang saya lakukan mendukung hipotesis ini. Tentu dibutuhkan studi yang lebih dalam untuk melihatnya secara rinci, tetapi temuan awalnya terlihat cukup mendukung. Yang menarik, hubungan antara defisit anggaran dan likuiditas perbankan tak linier.
Sampai tingkat tertentu, pembiayaan defisit melalui obligasi domestik berpengaruh positif pada pertumbuhan dana pihak ketiga di perbankan. Alasannya, obligasi pemerintah memungkinkan orang memiliki pilihan investasi sehingga terjadi mobilisasi tabungan masyarakat. Ini terjadi tanpa banyak mengganggu ekspansi kredit perbankan. Akibatnya, investasi swasta tetap bisa meningkat—tentunya jika ada permintaan dari masyarakat.
Di sini defisit anggaran berperan sebagai stimulus untuk meningkatkan konsumsi masyarakat dan sekaligus investasi swasta (crowding in). Namun, setelah melewati tingkat tertentu, defisit anggaran yang dibiayai utang domestik ternyata menyerap dana pihak ketiga di perbankan. Karena jumlah likuiditas terbatas, defisit anggaran yang besar hanya memindahkan tabungan diperbankan ke obligasi pemerintah. Akibatnya, investasi swasta mandek (crowding out). Ujungnya, pertumbuhan ekonomi juga mandek.
Mudahnya, defisit anggaran memang dibutuhkan untuk mendorong permintaan domestik, tetapi harus dijaga pada tingkat yang optimal. Ia tak bisa dinaikkan terus-menerus. Jika defisit terlalu besar, investasi swasta justru akan terhambat. Kalau begitu, mengapa tak mengambil sumber pembiayaan dari luar negeri saja? Di sini kita harus hati-hati. Jika pasar obligasi pemerintah didominasi investor asing, ekonomi Indonesia akan rentan pada gejolak arus modal karena mereka bisa pergi setiap saat. Yang harus didorong adalah potensi tabungan masyarakat. Tanpa itu, risikocrowding out terjadi.
Perlunya prioritas
Lalu, apa yang harus dilakukan? Larry Summers, guru besar di Harvard Kennedy School, mengingatkan, kebijakan fiskal harus memenuhi TTT (temporary, targeted, timely). Artinya: prioritas amat penting. Pembangunan infrastruktur pun perlu prioritas, mana yang utama. Selain itu, stimulus fiskal harus diarahkan untuk masyarakat yang memiliki kecenderungan mengonsumsi (marginal propensity to consume) yang tinggi dan segera. Itu artinya, peningkatan pendapatan bagi kelompok menengah bawah. Jika mereka memperoleh penghasilan, konsumsi dalam negeri dapat didorong. Inilah yang akan mendorong ekonomi dalam jangka pendek.
Kebijakan apa? Saya pernah menulis tahun lalu di harian ini: perluas programConditional Cash Transfer, seperti Program Keluarga Sejahtera (PKH) dari 10 juta menjadi 15 juta atau 20 juta rumah tangga. Lakukan program cash for workatau padat karya. Karena sumber pembiayaan APBN terbatas, prioritas belanja amat penting. Alokasi belanja yang tak efisien, misalnya subsidi energi yang mulai membengkak lagi, harus dikurangi dan dialokasikan untuk sektor produktif. Tentunya dengan memberikan kompensasi kepada penduduk miskin. Sayang sekali jika kebijakan pemerintah yang sangat baik untuk mengurangi subsidi energi tak berlanjut. Selain itu, kita harus mencari sumber pertumbuhan baru, dan itu adalah investasi asing langsung (PMA), bukan portofolio.
Kita memang hidup dalam dunia yang terbatas. Dalam situasi seperti ini, prioritas adalah kata kunci. Di Cusco, di negeri atas langit itu, banyak hal masih samar. Namun, satu hal amat jelas: pentingnya prioritas.
MUHAMAD CHATIB BASRI
Chairman Advisory Board Mandiri Institute
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Pembiayaan Pembangunan".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar