Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 22 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Tafsir Nilai Tukar Petani (PANTJAR SIMATUPANG)

Indonesia mungkin satu-satunya negara di mana kini masih banyak khalayak, lembaga, dan akademisi yang menganggap bahwa nilai tukar petani adalah penanda kesejahteraan petani.

Untuk kesepahaman bersama, diskusi dimulai dengan tinjauan konsep dasar nilai tukar dengan contoh sederhana. Misalnya, petani hanya menjual 1 ton gabah untuk membeli kain. Harga gabah Rp 400.000/kuintal, sedangkan harga kain Rp 100.000/meter. Nilai tukar barter (barter terms of trade/BTT) gabah terhadap kain adalah 4 meter kain per kuintal gabah. Nilai tukar barter beras adalah kuantitas kain (4 meter) yang dapat dibeli dengan menjual 1 kuintal gabah.

Nilai tukar barter biasanya dihitung dalam bilangan indeks dengan tahun dasar tertentu. Misalnya pada tahun dasar 2012, harga gabah Rp 440.000/kuintal dan harga kain Rp 100.000/meter. Pada 2017, harga gabah Rp 410.000/kuintal, sedangkan harga kain Rp 110.000/meter. Jika indeks harga pada tahun dasar 2012 ditetapkan 100, maka pada 2017 indeks harga gabah adalah (410.000/440.000) x 100 = 93,18, sedangkan indeks harga kain adalah (110.000/100.000) x 100 = 110. Indeks nilai tukar barter (BTT) pada tahun dasar 2012 = 100, sedangkan pada 2017 adalah (93,18/110) x 100 = 84,71. Artinya, nilai tukar atau harga riil gabah pada 2017 adalah 15,29 persen lebih rendah daripada 2017.

Jika pendapatan rumah tangga petani hanya berasal dari penjualan gabah, dan kesejahteraan keluarga dapat diukur dari daya beli pendapatan terhadap kain, maka dapat dikatakan kesejahteraan petani pada 2017 lebih rendah 15,29 persen dibandingkan pada 2012, jika volume penjualan gabah tidak berubah. Namun, jika volume penjualan berubah, BTT tidak memiliki hubungan tegas dengan daya beli hasil penjualan gabah atau kesejahteraan petani. Dalam hal ini, alat ukur yang lebih sesuai ialah daya beli nilai penjualan.

Daya beli penjualan diukur dengan nilai tukar pendapatan kotor (gross income terms of trade), yaitu rasio nilai barang yang dijual dengan harga barang yang dibeli. Indeks nilai tukar pendapatan (ITT) dapat dihitung sebagai hasil kali rasio volume penjualan dengan BTT. Dari contoh perhitungan BTT di atas, jika volume penjualan gabah 50 kuintal pada 2015 dan 60 kuintal pada 2017, maka ITT adalah (60/50) x 84,71 = 101,65. Artinya, walaupun nilai tukar barter (harga riil) turun 15,29 persen, nilai tukar penjualan gabah pada 2017 adalah 1,65 persen lebih tinggi dibandingkan pada tahun dasar 2012.

Nilai tukar pendapatan kotor juga mengandung kelemahan karena tak memperhitungkan ongkos produksi sehingga diperkenalkanlah konsep nilai tukar faktorial (factorial terms of trade/FTT) yang dihitung sebagai nilai tukar barter dikali produktivitas total faktor produksi (total factor productivity/TFP) dibagi harga total faktor produksi. Selain lebih valid, konsep FTT juga lebih jelas dalam menguraikan sumber-sumber perubahan nilai kesejahteraan petani yang mencakup perubahan nilai tukar barter konsumsi (harga riil hasil usaha tani), nilai tukar barter masukan (insentif harga usaha tani), dan inovasi teknologi sehingga lebih bermanfaat dalam perumusan respons kebijakan.

Melanjutkan contoh BTT di atas, jika dengan tahun dasar 2012 diketahui indeks TFP pada 2017 adalah 125 dan indeks harga masukan 105, maka indeks FTT adalah (93,18/110)(125/105) = 100,85. Artinya, dalam periode 2012-2017, daya beli pendapatan bersih usaha pertanian, yang berarti juga kesejahteraan rumah tangga usaha pertanian, meningkat 0,85 persen. Sumbangan langsung variabel penentunya adalah kontraksi penurunan harga hasil usaha tani 6,82 persen, kontraksi inflasi barang konsumsi 10 persen, kontraksi peningkatan harga masukan usaha tani 5 persen, dan dorongan inovasi 25 persen.

Dari contoh ini dapat dilihat bahwa kesejahteraan petani dapat ditingkatkan tidak hanya melalui dukungan hargaouput dan subsidi harga input (insentif harga), tetapi juga melalui inovasi teknologi (perubahan TFP) dan pengendalian inflasi perdesaan. Informasi dan pemahaman ini tidak dapat diperoleh dari konsep NTP versi BPS. NTP versi BPS adalah varian dari nilai tukar barter, seperti contoh BTT di atas, dengan modifikasi bahwa harga yang dibayar petani mencakup barang konsumsi dan masukan usaha tani. NTP dihitung sebagai hasil bagi indeks harga barang yang dijual (indeks harga yang diterima) dengan indeks harga barang yang dibeli petani (indeks harga yang dibayar). Modifikasi yang dilakukan malah membuat hasil penghitungan NTP semakin sulit dimaknai sehingga kurang bermanfaat dalam perumusan respons kebijakan.

Pemikiran utama yang hendak disampaikan ialah bahwa perhitungan NTP versi BPS mengandung kelemahan konseptual sehingga tidak dapat dijadikan sebagai penanda nilai kesejahteraan laba bersih usaha tani, yang berarti pula tidak dapat dijadikan sebagai penanda kesejahteraan petani.

NTP dan kesejahteraan petani

Konsep ekonomi menyatakan bahwa kesejahteraan berbanding lurus dengan jumlah dan mutu barang yang dikonsumsi. Pada sistem perekonomian pasar, kesejahteraan rumah tangga dapat diukur sebagai daya beli pendapatan rumah tangga terhadap barang konsumsi. Jika diukur dalam bilangan indeks, indeks kesejahteraan ekonomi rumah tangga adalah indeks pendapatan bersih dibagi indeks harga barang konsumsi. NTP versi BPS adalah ukuran harga barter hasil usaha pertanian terhadap semua barang yang dibeli rumah tangga usaha pertanian (RTUP), bukan daya beli pendapatan atas barang konsumsi RTUP. Apakah konsep perhitungan NTP sesuai dengan konsep pengukuran kesejahteraan ekonomi?

Pertama, dari sisi pembilang dalam perhitungan NTP, indeks harga yang diterima bukan penanda yang baik untuk pendapatan RTUP. Pendapatan RUTP terdiri dari laba bersih usaha tani plus pendapatan non-usaha tani, keduanya tak berhubungan jelas dengan harga yang diterima petani. Pendapatan non-usaha pertanian tidak berhubungan langsung dengan harga hasil usaha tani. Sensus Pertanian 2013 menunjukkan bahwa pendapatan RTUP dari usaha pertanian hanya sekitar 47 persen dari total pendapatan.

Kedua, dari sisi penyebut dalam perhitungan NTP, indeks harga yang dibayar petani merupakan agregasi indeks dari barang konsumsi RTUP dan indeks harga barang masukan usaha tani. Barang masukan usaha tani bukan barang konsumsi langsung sehingga tidak termasuk penentu kesejahteraan RTUP. Oleh karena harga barang konsumsi termasuk di dalamnya, maka indeks harga yang dibayar petani juga tidak berhubungan langsung dengan laba usaha tani. Dengan demikian, NTP versi BPS tidak memiliki hubungan langsung dengan kesejahteraan petani, bahkan dapat dikatakan bahwa NTP tidak mengandung makna yang jelas.

Ketiga, NTP versi BPS termasuk nilai tukar barter yang tidak memperhitungkan pengaruh perubahan teknologi terhadap laba usaha tani, yang lazim diukur dengan produktivitas total faktor produksi (TFP). Perubahan TFP mencerminkan kemajuan teknologi, yang dapat dipakai untuk menghitung pengaruh inovasi terhadap produksi dan laba usaha pertanian.

BPS sangat memahami kelemahan dalam perhitungan NTP itu. Untuk meningkatkan nilai guna data NTP, BPS menambahkan indikator nilai tukar usaha pertanian (NTUP) sejak Desember 2013. NTUP dihitung sebagai rasio indeks harga yang diterima petani dengan indeks harga masukan usaha tani. NTUP dapat dimaknai sebagai indikator insentif harga berusaha tani. Akan tetapi, NTUP tetap mengandung kelemahan karena tidak memperhitungkan perubahan teknologi. Kementerian Pertanian Amerika Serikat (2017) menunjukkan bahwa pertumbuhan TFP pertanian Indonesia pada sepuluh tahun terakhir sekitar 2 persen per tahun, angka yang cukup besar dalam memengaruhi baik peningkatan produksi maupun laba usaha pertanian.

Indikator yang lebih baik untuk melihat perubahan nilai kesejahteraan dari pendapatan usaha tani ialah nilai tukar faktorial usaha pertanian (NTFUP), dihitung sebagai NTUP dikali TFP. Selain untuk memperbaiki NTUP, data TFP juga dapat dipergunakan untuk menyesuaikan perhitungan NTP yang dapat disebut nilai tukar faktorial petani (NTFP) sebagaimana diuraikan pada awal diskusi ini.

Fenomena penurunan NTP

Data BPS menunjukkan bahwa NTP pertanian menurun dari 102,12 pada Juli 2014 menjadi 100,65 pada Juli 2017. Data BPS juga menunjukkan jumlah penduduk miskin di perdesaan menurun dari 17,77 juta orang atau 14,17 persen dari total penduduk desa pada Maret 2014 menjadi 17,10 juta orang atau 13,93 persen dari total penduduk desa pada Maret 2017. Jika dapat dikatakan bahwa penduduk desa dapat merefleksikan keberadaan petani, maka bertolak belakang dengan apa yang mungkin diindikasikan oleh penurunan NTP, data kemiskinan perdesaan menunjukkan bahwa sebagian besar petani mengalami peningkatan kesejahteraan.

Berbeda dengan NTP yang menurun, data BPS menunjukkan NTUP meningkat dari 106,18 pada Juli 2014 menjadi 109,75 pada Juli 2017. NTUP menunjukkan peningkatan insentif harga bagi usaha pertanian tiga tahun terakhir. NTUP meningkat karena indeks harga yang diterima meningkat lebih besar daripada peningkatan harga masukan usaha tani. Periode Juli 2014-Juli 2017, indeks harga yang diterima petani naik 13,19 persen, sedangkan indeks harga masukan usaha tani naik 9,44 persen. Persepsi atau sinyalemen sebagian pihak bahwa insentif harga usaha tani menurun tiga tahun terakhir tidak konsisten dengan data peningkatan NTUP.

Lalu, kenapa NTP menurun? Jawabnya karena relatif tingginya inflasi di perdesaan, tecermin dari peningkatan indeks harga konsumen sebesar 17,37 persen pada periode Juli 2014-Juli 2017, lebih tinggi daripada peningkatan harga yang diterima petani (13,19 persen) dan daripada peningkatan indeks harga masukan usaha tani (9,44 persen).

Barang konsumsi RTUP mencakup hasil usaha pertanian dan non-pertanian. Dari fakta bahwa laju peningkatan harga hasil usaha pertanian lebih rendah daripada laju peningkatan harga barang konsumsi, dapat pula disimpulkan BTT sektor pertanian dengan sektor non-pertanian cenderung menurun. Secara teoretis, fenomena penurunan BTT sektor pertanian dengan sektor non-pertanian adalah normal atau alami. Fenomena itu terjadi terutama karena seiring peningkatan pendapatan konsumen, elastisitas permintaan terhadap produk pertanian cenderung menurun, sementara elastisitas permintaan produk non-pertanian cenderung naik. Akibatnya, permintaan terhadap produk pertanian meningkat lebih kecil dibandingkan produk non-pertanian sehingga harga produk pertanian relatif semakin lebih murah daripada produk non-pertanian.

Data BPS juga menunjukkan pada periode Juli 2014-Juli 2017, inflasi di perkotaan mencapai 11,50 persen, lebih rendah daripada inflasi di perdesaan sebesar 17,37 persen. Perbedaan tingkat inflasi desa-kota dapat merefleksikan ketimpangan prasarana dan struktur pasar antara di desa dan di kota. Dengan pemikiran bahwa produk non-pertanian yang dikonsumsi penduduk perdesaan dihasilkan atau didistribusikan dari perkotaan, maka dapat disimpulkan bahwa tingginya inflasi di perdesaan merupakan refleksi inefisiensi distribusi barang antara desa dan kota.

Salah satu upaya kunci menopang NTP ialah memperbaiki sistem distribusi barang atau integrasi perekonomian desa-kota. Program integrasi ekonomi desa-kota tak hanya penting untuk mendukung peningkatan NTP, tetapi juga mendorong pertumbuhan perekonomian desa maupun kota secara umum, serta mengurangi kesenjangan pembangunan wilayah perdesaan dan perkotaan, dan antara sektor pertanian dan non-pertanian.

Catatan singkat ini kiranya dapat memperjelas tafsir NTP dan faktor-faktor yang memengaruhi sehingga diskursus kebijakan terkait dapat lebih produktif dan mencerahkan. Penulis juga berharap BPS bersedia mengkaji ulang cara penghitungan dan penyajian NTP, terutama untuk memperhitungkan perubahan teknologi (TFP). Perbaikan yang disarankan mestinya tak terlalu membebani karena TFP dapat dihitung berdasar data struktur ongkos usaha tani yang sudah rutin dikumpulkan BPS.

PANTJAR SIMATUPANG, PENELITI PADA PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Tafsir Nilai Tukar Petani".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger