Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 22 Agustus 2017

ANALISIS POLITIK AZYUMARDI AZRA: Asa di Hari Kemerdekaan (Kompas)

"Kami menggoyangkan langit, menggempakan darat, dan menggelorakan samudera agar tidak menjadi bangsa yang hidup hanya dari 2 ½ sen sehari. Bangsa yang kerja keras... bukan bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi pembelian cita."

(Presiden Pertama RI Soekarno)

Peringatan 72 tahun kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus pekan lalu tampak lebih daripada sekadar kemeriahan rutin upacara dan acara perayaan Agustusan di tahun-tahun silam. Keluar dari kerutinan, Presiden Joko Widodo menampilkan perayaan 17 Agustus 2017 yang semestinya dapat memperkuat kembali semangat kebangsaan dan kesatuan yang belakangan mencemaskan.

Dalam seputar peringatan 17 Agustus tahun ini, Presiden Jokowi juga menciptakan peristiwa penting dan bersejarah lewat pertemuan elite politik yang sedang dan pernah memimpin negara Indonesia. Pertemuan ini juga memberikan isyarat rekonsiliatif yang menumbuhkan asa dan harapan bagi masa depan Indonesia lebih maju.

Tanpa semangat kebangsaan yang kuat, kesatuan yang padu, dan asa yang menggelora, negara-bangsa Indonesia boleh jadi tidak bisa melangkah lebih baik. Sebaliknya, bakal membuat kian meruyaknya pesimisme, baik di dalam maupun luar negeri.

Dalam konteks itu, pemaknaan beberapa peristiwa penting seputar peringatan Hari Kemerdekaan 72 tahun secara kenegaraan perlu dilakukan. Dengan begitu, warga Indonesia dapat melihat makna dan hikmah yang tersurat dan tersirat dalam peringatan 17 Agustus kali ini.

Pertama, pakaian adat yang dipakai Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sampai menteri dan pejabat tinggi serta tetamu kehormatan dari berbagai suku dan daerah. Jokowi mengenakan pakaian adat Kalimantan Selatan, sedangkan Kalla mengenakan pakaian adat Sulawesi Selatan.

Pemakaian pakaian adat ini keluar dari pakem sebelumnya, yaitu pakaian sipil lengkap (PSL). Biasanya pada peringatan 17-an, hanya anak-anak sekolah yang memakai pakaian adat atau seragam tertentu. Eksotisme lebih menonjol dari dunia kanak-kanak dan remaja yang mengenakan bermacam pakaian adat dari beragam suku dan daerah.

Namun, tampaknya pesan yang ingin disampaikan Presiden Jokowi jauh lebih besar dari eksotisme atau keingintahuan (curiosity) tentang keragaman pakaian adat Nusantara. Pesan itu adalah Indonesia sangat bineka—kaya keragaman dan kemajemukan. Kebinekaan itu—tersirat dalam pesan Presiden Jokowi—bukan sekadar slogan atau retorik, tetapi dicontohkan dan dipraktikkan sampai ke tingkat tertinggi di negara ini.

Tak kurang pentingnya adalah perlunya pertukaran budaya di antara tradisi suku-suku berbeda. Pertukaran budaya jelas memperkuat saling pengertian dan respek satu sama lain. Pada saat yang sama mengurangi prasangka dan persepsi stereo-tipikal timbal balik yang masih bertahan di tengah menguatnya proses "menjadi Indonesia".

Indonesia sangat beruntung dengan berkah keragaman. Tidak ada negara lain di jagat raya ini yang memiliki kebinekaan seperti Indonesia—dari Merauke sampai Sabang. Kebinekaan Indonesia jelas bukan hanya dalam hal pakaian adat dari bermacam suku bangsa, melainkan juga dalam hal agama, sosial, tradisi, bahasa, dan seterusnya.

Kini lewat peringatan Hari Kemerdekaan, kebinekaan ditegaskan kembali lewat politik pengakuan (politics of recognition) yang merupakan prinsip dasar multikulturalisme. Politik pengakuan tidak memadai hanya tertulis dalam prinsip "Bhinneka Tunggal Ika". Sebaliknya juga perlu menjadikan kebinekaan sebagai bagian integral upacara dan acara resmi—terikat dalam keikaan atau kesatuan kerangka negara-bangsa Indonesia.

Adanya sikap saling mengakui dan menghormati keragaman juga terlihat di antara beberapa tokoh yang berbeda kubu, pandangan, dan sikap politik. Datang memenuhi undangan Presiden Jokowi untuk Peringatan 17 Agustus, tiga figur yang pernah menduduki jabatan presiden. Mereka adalah presiden ketiga, BJ Habibie; presiden kelima, Megawati Soekarnoputri; dan presiden keenam, Susilo Bambang Yudhoyono.

Kecuali Habibie yang berhubungan baik dengan Presiden Jokowi dan kedua mantan presiden lain, bukan rahasia lagi hubungan di antara Presiden Jokowi dan SBY kadang-kadang terlihat "panas-dingin". Hubungan yang lebih dari sekadar "panas-dingin" cukup lama terjadi antara Megawati Soekarnoputri dan SBY. Keduanya saling menghindar dalam berbagai kesempatan.

Kini Presiden Jokowi berhasil menghadirkan semuanya. Mereka tidak hanya sekadar ikut upacara, tetapi juga beramah tamah dan bersalaman satu sama lain. Publik merasa surprisesekaligus mengapresiasi ketika SBY bersalaman dengan Megawati. Mereka tidak hanya sekadar bersalaman. Mereka juga berfoto bersama Presiden Jokowi dan Iriana Jokowi serta Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Mufidah Kalla.

Peristiwa ini disebut media massa sebagai "peristiwa langka". Lebih dari itu, peristiwa ini dapat menjadi awal dari "rekonsiliasi" atau "islah" di antara para pemimpin puncak negara ini. Jelas sangat menguntungkan bagi negara-bangsa Indonesia jika elite puncak senantiasa dapat berhubungan baik—melintasi berbagai perbedaan di antara mereka.

Jika para elite politik bangsa ini dapat saling menghormati dan selalu berhubungan baik, sedikit memodifikasi pernyataan Bung Karno yang dikutip di atas, Indonesia akan menggoyangkan langit, menggemparkan darat, dan menggelorakan samudra.

Dengan semangat seperti itu disertai kerja keras, warga Indonesia dapat tidak terjerumus menjadi bangsa kuli. Bangsa yang rela menderita demi mencapai cita-cita kemerdekaan menjadi negara-bangsa yang maju, memiliki marwah dan martabat tinggi, baik di dalam negeri maupun di mancanegara.

AZYUMARDI AZRA, GURU BESAR FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA; ANGGOTA KOMISI KEBUDAYAAN AKADEMI ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (AIPI)

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 22 Agustus 2017, di halaman 15 dengan judul "Asa di Hari Kemerdekaan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger