Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Tanggung Jawab Berdemokrasi (AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN)

Tanggal 23 Maret 1933 adalah hari kelabu yang menandai sejarah hitam Jerman, diawali dengan manuver politik Partai Nazi untuk menghancurkan demokrasi.

Kala itu, di luar Rumah Opera Kroll (gedung sementara yang digunakan sebagai tempat berkumpulnya parlemen setelah insiden pembakaran gedung parlemen Jerman), segerombolan milisi Nazi—setelah mereka menang dalam putaran pemilu yang brutal dan penuh teror—berulang-ulang meneriakkan yel-yel: Pilih undang-undang atau bakar dan bantai!

Sementara di dalam gedung, suasana juga seram. Di bawah ancaman dan intimidasi, para legislator menyetujui UU untuk memberi kekuasaan tak terbatas kepada Kanselir Jerman Adolf Hitler di seluruh negeri Jerman Raya. Sejak saat itu dimulailah kuasa kelam fasisme yang meruntuhkan semua bangunan demokrasi Republik Weimar.

Peristiwa tersebut kemudian dikenang dengan rasa humor yang aneh oleh propagandis kondang Nazi, Joseph Goebbels, "Peristiwa Kroll 1933 merupakan guyonan politik terbaik ketika demokrasi memberikan ruang pada kami untuk menghancurkannya."

Berbeda dengan keyakinan umum tentang situasi sulit yang membutuhkan tindakan cepat tanpa banyak pertimbangan. Sebaliknya, justru situasi sulit membutuhkan permenungan mendalam berbasis filsafat politik yang kokoh, sebagai landasan atas sebuah kebijakan yang diambil beserta pertanggungjawaban politik atas efek sosial yang menyertainya.

Indonesia dalam situasi terakhir memang tidak segenting ketika fasisme Hitler di Jerman menggulung kehidupan demokrasi dan penghancuran kebebasan di dalamnya. Meskipun demikian, bukan berarti tatanan demokrasi kita bebas dari ancaman terhadapnya.

Inilah problem kita saat ini, ketika pada satu sisi ormas-ormas antidemokrasi dan keberagaman tumbuh menyebar yang selanjutnya direspons pemerintah dengan menerbitkan Perppu No 2/2017. Pada sisi lain, kebijakan pemerintah untuk melahirkan perppu tersebut terlihat kurang hati-hati dan berpotensi pada efek pengerdilan demokrasi. Meskipun demikian, suara-suara oposisi yang mengecam rezim saat ini sebagai rezim tiran juga tidak kalah bermasalah.

Kecenderungan utama suara penolakan tersebut mengabaikan sebuah hal yang jelas di depan mata: bahwa merebaknya fanatisisme saat ini berpotensi menghancurkan kebebasan, keberagaman, dan solidaritas yang menjadi esensi sosial hidup berdemokrasi. Yang absen dalam diskusi terkait eksistensi ormas intoleran dan sikap pemerintah dalam meresponsnya adalah bagaimana sikap politik yang tepat dalam mencegah merebaknya intoleransi dan ancaman terhadap demokrasi dalam skema otentik negara demokratik.

Pemaknaan kebebasan

Jawaban atas kehadiran kelompok antidemokrasi yang berpotensi mengancam eksistensi demokrasi dapat diawali dengan memperluas pemaknaan kita tentang kebebasan sipil (civil liberties). Kebebasan sipil yang dipertahankan dalam sistem demokrasi tidak cukup dimaknai sebagai sesuatu yang secara alamiah terberi (given)sebagai perenungan tentang kebebasan sebagai hukum alam (natural law).

Kebebasan sipil yang dimiliki oleh setiap warga negara adalah konstruksi sosial, buah dari eksisnya praktik politik dalam negara demokrasi.

Dalam ranah pemikiran filsafat politik Republikanisme, kebebasan yang dialami oleh setiap warga negara adalah hasil dari proses hidup bermasyarakat, yang berjalan seiring dengan tegaknya tatanan demokrasi.

Konsekuensi bahwa kebebasan sipil adalah produk dari kehidupan bernegara secara demokratis adalah bahwa kebebasan tersebut bukanlah sesuatu yang semata-mata melekat dalam diri tiap individu dan terpisah dari relasi sosial dengan yang lain.

Kebebasan tumbuh bersama dalam hubungan sosialnya dengan tiap-tiap orang sebagai warga negara. Dengan demikian, merawat kebebasan sipil adalah bagian dari tanggung jawab, bukan semata-mata hak dari setiap warga negara maupun institusi bernegara dalam skema tatanan politik demokrasi.

Berangkat dari pemikiran di atas, di dalam kerangka hidup negara demokratis, kita tidak dapat membiarkan penyebaran kekuatan-kekuatan antidemokrasi yang dapat meruntuhkan bangunan negara demokratis itu sendiri. Kebebasan sipil sebagai bagian inheren dari kebaikan bersama membutuhkan kesadaran politik dari segenap warga negara untuk menjaga dan menghormatinya.

Sementara itu, entitas negara tidak dapat tinggal diam terhadap eksisnya suatu kelompok yang menggunakan fasilitas kebebasan dalam ruang demokrasi untuk melakukan propaganda yang membatasi kebebasan dari setiap warga negara.

Negara sebagai unit politik yang menjadi sumber bagi eksisnya kebebasan sipil tidak dapat berpangku tangan ketika suatu kelompok politik menyebarkan agitasi untuk membatasi hak-hak sipil yang lain, mengancam eksistensi demokrasi, meskipun mereka melakukan hal tersebut melalui klaim tentang kebebasan dan hak-hak warga negara.

Inisiatif negara

Sejalan dengan pemahaman politik di atas, maka hadirnya sebuah regulasi yang mengatur agar tatanan politik negara dapat memberikan sanksi terhadap aktivitas-aktivitas antidemokrasi tidak serta-merta dapat dipandang sebagai sebuah tindakan represif antidemokrasi. Hal ini mengingat tanpa hadirnya negara untuk merawat dan menjaga tatanan demokrasi, maka tidak akan ada yang disebut sebagai kebebasan sipil, perlindungan terhadap kebinekaan, dan jaminan atas kesetaraan setiap warga negara.

Kembali pada kasus Perppu No 2/2017, persoalan utamanya bukanlah pada inisiatif pemerintah untuk memberikan sanksi terhadap organisasi yang menolak dan melanggar kebebasan sipil. Letak permasalahannya adalah bahwa peraturan tersebut memiliki potensi besar menjadi regulasi karet ketika menghilangkan institusi pengadilan sebagai pihak yang memutuskan sanksi dan absennya perlindungan terhadap kebebasan sipil dan demokrasi sebagai parameter utama dari pemberian sanksi terhadap ormas yang melanggar.

Memang, dalam suasana yang tidak ideal kita dihadapkan pada pilihan sulit. Akan tetapi, pilihan-pilihan yang sulit tersebut bukan dalih untuk menggulung komitmen atas demokrasi agar, sekali lagi, demokrasi tidak lagi dianggap sebagai guyonan hanya karena para pembelanya impoten dan tidak tahu bagaimana cara yang tepat dan tegas untuk membela keberlangsungan sistem demokrasi itu sendiri.

AIRLANGGA PRIBADI KUSMAN, PENGAJAR DEPARTEMEN POLITIK FISIP UNIVERSITAS AIRLANGGA, KOORDINATOR KOMUNITAS LITERASI THE INITIATIVE INSTITUTE

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Tanggung Jawab Berdemokrasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger