Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Agustus 2017

TAJUK RENCANA: Pakistan dan Masa Depan Demokrasi (Kompas)

Demokrasi Pakistan, negeri yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-70, pada bulan depan, kembali mendapat ujian berat menyusul keputusan MA.

Mahkamah Agung (MA), Jumat pekan lalu, memutuskan untuk mendiskualifikasi Perdana Menteri Nawaz Sharif sebagai pejabat publik. Konsekuensinya adalah Nawaz Sharif harus meletakkan jabatan sebagai perdana menteri, setahun sebelum berakhirnya masa jabatannya. Ia menjadi perdana menteri sejak 2013 melalui transisi kekuasaan secara damai. Menurut ketentuan, Nawaz Sharif berkuasa selama lima tahun.

Akan tetapi, sebelum menyelesaikan masa jabatannya, keputusan MA mengharuskan Nawaz Sharif turun. Menurut lima hakim di MA, Nawaz Sharif tidak pantas menjadi perdana menteri, karena sebagai pejabat publik tidak memenuhi ketentuan konstitusi. Konstitusi menyatakan pejabat publik harus orang yang sadiq (jujur, selalu mengatakan hal yang sebenarnya) danameen (dapat dipercaya) meskipun tidak terbukti bahwa Nawaz Sharif menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi.

Keputusan MA tersebut diambil dalam sidang perkara Panama Papers yang melibatkan ketiga anak Nawaz Sharif. Ketiga anak Nawaz Sharif memiliki perusahaan gelap yang sengaja didirikan di sejumlah negara yang terkenal sebagai surga bebas pajak di luar negara para pihak yang disebut pencucian uang.

Sepintas keputusan MA tersebut—mendiskualifikasi Nawaz Sharif dan keluarganya dari jabatan publik—merupakan langkah untuk menegakkan hukum, rule of law. Akan tetapi, kalau dicermati, yang terjadi adalah pantulan dari pertarungan politik yang sudah lama berlangsung antara lembaga eksekutif dan yudikatif, dan di belakangnya ada peran militer yang belum sepenuhnya bisa melihat serta menerima kekuasaan sipil.

Jatuhnya Nawaz Sharif menegaskan kisah betapa berat dan sulit menegakkan demokrasi di Pakistan. Pakistan, hingga saat ini akan memasuki usianya yang ke-70, boleh dikatakan tidak pernah ada perdana menteri yang berakhir kekuasaannya karena kalah dalam pemilu. Mereka tersingkir karena keputusan hakim, para jenderal, kaum birokrat, dan bahkan pembunuhan.

Keluarnya Nawaz Sharif dari lingkaran kekuasaan—ini yang ketiga kalinya sejak 1990—merupakan kemunduran dalam menegakkan supremasi sipil atas militer dan demokrasi. Memang, militer tidak terlihat terlibat langsung dalam pelengseran Nawaz Sharif, tetapi sejarah negeri itu secara gamblang mengisahkan peran militer dalam panggung politik Pakistan dari waktu ke waktu.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Pakistan dan Masa Depan Demokrasi".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger