Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 02 Agustus 2017

Korupsi Korporasi dan Korupsi Partai Politik (ALI MUTASOWIFIN)

Komisi Pemberantasan Korupsi mengawali sejarah baru dengan menetapkan PT Nusa Konstruksi Enjiniring Tbk, sebelumnya bernama PT Duta Graha Indah, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pendidikan Khusus Penyakit Infeksi dan Pariwisata Universitas Udayana, tahun 2009-2011.

Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini dilakukan menyusul diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Tindak Pidana oleh Korporasi pada akhir 2016, yang mengidentifikasi kesalahan korporasi, baik yang disengaja maupun karena kelalaian.

Pertama, jika terjadinya kejahatan itu memberikan manfaat atau keuntungan maupun untuk kepentingan korporasi. Kedua, apabila korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana. Ketiga, jika korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan guna mencegah terjadinya tindak pidana, termasuk mencegah dampak lebih besar setelah tindak pidana terjadi.

Nasib PT Nusa Konstruksi Enjiniring tampaknya tidak akan sendirian. Sebab, KPK tengah menimbang kemungkinan korporasi yang terlibat dalam dugaan korupsi proyek KTP elektronik untuk ditetapkan menjadi tersangka. Apalagi putusan majelis hakim terhadap dua eks pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, jelas menyebutkan sejumlah korporasi diuntungkan karena tindak pidana korupsi yang terjadi.

Penjeratan korporasi mengirimkan pesan jelas agar korporasi menciptakan lingkungan pengendalian internal yang baik sehingga korporasi tidak begitu saja menyetujui tindak pidana korupsi. Jika iklim pengendalian internal korporasi telah terbentuk, diharapkan akan berimbas pada lingkungan bisnis yang lebih sehat dan pembangunan ekonomi yang lebih baik.

Politisi dan partai politik

Penersangkaan korporasi adalah langkah lanjut setelah selama ini KPK hanya menjerat individu dalam kasus-kasus korupsi. Selama ini, setiap kasus korupsi hampir selalu melibatkan tiga pihak, yakni pengusaha, birokrat, dan politisi.

Dalam kasus korupsi KTP elektronik, misalnya, dua pejabat Kementerian Dalam Negeri, Irman dan Sugiharto, telah dijatuhi hukuman. Sementara tiga orang lagi, yakni Andi Narogong (pengusaha), Setya Novanto (politisi Golkar) dan Markus Nari (politisi Golkar), telah dinyatakan sebagai tersangka. Daftar nama ini diyakini akan terus bertambah karena dalam putusan hakim terhadap Irman dan Sugiharto juga disebutkan banyak nama lain yang berperan dan menerima aliran dana kasus KTP elektronik.

Apabila jerat pidana kepada korporasi dilandasi pertimbangan bahwa korporasi diuntungkan dari tindak pidana yang terjadi, bagaimana dengan partai politik? Selama ini, walaupun diyakini bahwa partai politik menadah hasil korupsi—bahkan mungkin menginisiasi tindak pidana korupsi—setiap kali ada kadernya tertangkap tangan, dengan enteng partai politik selalu berkilah: "Itu urusan pribadi yang bersangkutan. Tidak ada sangkut pautnya dengan partai!"

Menariknya, upaya memutuskan hubungan yang dilakukan oleh partai politik terhadap para kadernya yang tersangkut korupsi itu tampaknya tak sia-sia. Lihatlah, walaupun para politisi seolah-olah tidak pernah absen jadi aktor utama dalam setiap kasus korupsi di negeri kita, partai-partai politik itu tetap saja mampu meraih simpati dan mendulang banyak suara konstituen dalam setiap kali kontestasi pemilihan umum.

Seolah-olah, di mata rakyat, citra partai tidak pernah terpengaruh oleh beragam tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh para kader partai politik bersangkutan.

Oleh karena itu, perlu langkah berbeda untuk memperbaiki kondisi ini. Dengan mengikuti alur pikir pada pidana korporasi, partai politik seharusnya juga dapat dijerat pidana korupsi apabila pengurus atau kader partai politik melakukan korupsi atas perintah atau sepengetahuan partai politik dan hasil korupsi itu dimanfaatkan untuk kepentingan partai politik.

Partai politik yang terbukti bersalah dapat dihukum bertingkat sesuai kadar kesalahannya. Misalnya, dicabut hak untuk memperoleh dana bantuan pemerintah, tidak berhak menggantikan anggotanya di parlemen yang diberhentikan karena korupsi, tidak boleh mengajukan calon dalam pemilihan umum, tidak boleh mengikuti pemilihan umum, atau bisa sampai pada pembubaran partai politik.

Upaya membersihkan partai politik ini penting diterapkan, apalagi jika mengingat hasil survei Antikorupsi 2017 belum lama ini. Survei yang dilakukan Polling Center dan Indonesia Corruption Watch itu menempatkan partai politik, perusahaan swasta, dan DPR sebagai tiga lembaga yang paling tidak dipercaya rakyat Indonesia, dengan tingkat kepercayaan berturut-turut hanya 35 persen, 49 persen, dan 51 persen dari suara responden.

Penerapan sanksi tegas terhadap partai politik itu diharapkan mampu mendorong terciptanya partai politik yang bersih dan berintegritas. Sebab, seperti pernah dinyatakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur): Indonesia tidak akan hancur karena bencana karena Indonesia tempatnya bencana. Indonesia pun tidak akan hancur karena keberagaman karena Indonesia beragam sejak dulu. Namun, Indonesia bisa hancur karena kebejatan moral kaum elite dan keputusasaan kaum alit.

ALI MUTASOWIFIN,

Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 2 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Korupsi Korporasi dan Korupsi Partai Politik".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger