Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 11 Agustus 2017

ARTIKEL OPINI: Tren Kependudukan Global, KB, dan SDGs (OMAS BULAN SAMOSIR)

Setiap tahun, pada 11 Juli, masyarakat dunia memperingati Hari Kependudukan Dunia yang bertujuan meningkatkan kesadaran tentang berbagai isu kependudukan global, seperti pentingnya keluarga berencana, kesetaraan jender, kemiskinan, kesehatan ibu, dan hak asasi manusia. Kesenjangan yang nyata antarwilayah dalam situasi kesejahteraan sosial ini turut berkontribusi terhadap tren kependudukan global pada masa lalu, saat ini, dan masa depan.

Jumlah penduduk dunia diperkirakan 2,5 miliar pada 1950 dan meningkat tiga kali lipat menjadi 7,5 miliar jiwa pada 2017. Pada 2030 diperkirakan jumlah penduduk dunia menjadi 8,5 miliar jiwa atau akan bertambah hampir 1 miliar jiwa. Sebagian besar penduduk dunia tinggal di negara-negara berkembang, termasuk negara-negara terbelakang, meningkat dari 67,8 persen pada 1950 menjadi 83,3 persen (6,3 miliar jiwa) pada 2017 dan 84,9 persen pada 2030.

Tingkat kelahiran tinggi

Meskipun dunia mengalami kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang pembangunan, saat ini 13,3 persen (hampir 1 miliar jiwa) dari penduduk dunia tinggal di 48 negara terbelakang, seperti Somalia, Afganistan, Myanmar, Yaman, dan Haiti. Trennya pun cenderung terus meningkat, diperkirakan 15,6 persen (1,3 miliar jiwa) pada 2030.

Jadi, sepertiga dari pertambahan penduduk dunia selama 2017-2030 disumbang penduduk negara-negara terbelakang. Tren kependudukan global yang didominasi negara berkembang yang terus bertambah jumlahnya merupakan tantangan penting untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030.

Dominasi jumlah penduduk negara-negara berkembang disebabkan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Pada periode 1950-1955 pertumbuhan penduduk dunia 1,77 persen per tahun; 1,19 persen di negara maju dan 2,03 persen di negara berkembang. Saat ini, pertumbuhan penduduk dunia 1,08 persen, hanya 0,24 persen per tahun di negara maju dan 1,25 persen per tahun di negara-negara berkembang. Selama periode 1950-2017, penduduk negara berkembang telah bertambah sekitar 10 kali lebih banyak dan bertumbuh lima kali lebih pesat daripada penduduk negara maju.

Tingkat kelahiran tinggi merupakan penyebab utama pertumbuhan penduduk tinggi di negara-negara berkembang. Pada periode 1950-1955, secara rata-rata seorang perempuan dunia akan mempunyai lima anak, 2,8 anak di negara maju dan 6,1 anak di negara berkembang.

Kasus Indonesia

Saat ini, secara rata-rata seorang perempuan dunia akan mempunyai 2,5 anak, 1,7 anak di negara maju dan 2,6 anak di negara berkembang. Kemajuan pembangunan, khususnya peningkatan partisipasi perempuan dalam pendidikan dan ekonomi serta penanganan pertumbuhan penduduk yang tinggi melalui program keluarga berencana (KB), berdampak pada penurunan tingkat kelahiran yang nyata di negara-negara berkembang.

Di Indonesia, penduduknya hanya 69,5 juta jiwa pada 1950 dan bertambah hampir empat kali lipat menjadi sekitar 263 juta jiwa pada saat ini. Jumlah ini diperkirakan akan bertambah hampir 32 juta jiwa menjadi 295 juta jiwa pada 2030. Pertambahan jumlah penduduk ini dapat dikurangi jika penurunan tingkat kelahiran dijaga. Penurunan tingkat kelahiran yang berkelanjutan merupakan suatu faktor penting untuk menjamin pencapaian SDGs di Indonesia.

Tren kependudukan global pada masa yang akan datang sangat ditentukan pencapaian penurunan tingkat kelahiran, terutama di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia. Saat ini, tingkat kelahiran masih tinggi—lebih dari lima anak per perempuan—di 14 negara terbelakang di dunia. Di Indonesia, tingkat kelahiran mandek pada 2,4 dan 2,6 anak per perempuan selama periode 2000-2012.

Menuju hidup sejahtera

Tingkat kelahiran tinggi cenderung terjadi di wilayah-wilayah dengan kebutuhan ber-KB yang tidak terpenuhi cukup tinggi. Diperkirakan sekitar 214 juta perempuan di negara-negara berkembang yang ingin mencegah kehamilan tidak menggunakan metode KB yang aman dan efektif. Hal itu, antara lain, karena kurangnya akses terhadap informasi dan layanan KB serta karena kurangnya dukungan dari pasangan atau komunitas.

Sebagian besar perempuan ini tinggal di negara-negara paling miskin. Di Indonesia, sekitar lima juta perempuan tidak terpenuhi kebutuhan ber-KB-nya.

Akses terhadap KB yang aman dan sukarela adalah suatu faktor kunci pencapaian SDGs. Investasi dalam upaya membuat KB berperan penting dalam penanggulangan kemiskinan, pencapaian ketahanan pangan, serta kehidupan sehat dan sejahtera. Juga berperan dalam upaya menciptakanpendidikan berkualitas dankesetaraan jender,menjamin akses terhadap air bersih dan sanitasi layak,energi bersih dan terjangkau, serta pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi.

Pada gilirannya, ia akan mendorong industrialisasi, inovasi dan infrastruktur yang kuat, mengurangi kesenjangan, pembangunan kota dan komunitas berkelanjutan, serta memastikan pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan. Lebih dari itu, dalam hal penanganan perubahan iklim, perlindungan dan penggunaan samudra, laut, sumber daya kelautan, dan hutan secara berkelanjutan; mendorong masyarakat adil, damai, dan inklusif; serta menghidupkan kembali kemitraan global.

Selamat Hari Kependudukan Dunia 2017 menuju Indonesia jaya!

OMAS BULAN SAMOSIR, PENGAJAR FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Tren Kependudukan Global, KB, dan SDGs".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger