Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Agustus 2017

Memaknai Data dan Kemiskinan (JOUSAIRI HASBULLAH)

Komitmen dan upaya pemerintah mengurangi jumlah penduduk miskin cukup kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya program pembangunan untuk mengangkat mereka yang miskin menjadi tidak miskin. Namun, ironisnya, penurunan angka kemiskinan cukup lamban. Pertanyaannya, apa yang perlu diperkaya?

Upaya mengurangi jumlah dan persentase penduduk miskin memerlukan kesamaan pemahaman tentang makna dari angka kemiskinan yang dihasilkan. Jika masih ada jurang antara kebijakan dan pemaknaan yang benar terkait kemiskinan makro dan dimensi-dimensinya, sangat memungkinkan bahwa hasil dari pembangunan yang cukup agresif saat ini akan berbeda dengan yang diharapkan. Untuk memahami siapa orang miskin itu, akan sangat terkait dengan bagaimana kemiskinan itu diukur berikut karakteristiknya.

Mengukur kemiskinan

Badan Pusat Statistik (BPS) mengukur kemiskinan makro bukan dengan formula yang dibangun sendiri. Metode pengukuran jumlah dan persentase penduduk miskin yang dilakukan di Indonesia mengaplikasikan konsep dan metode standar dan berlaku di banyak negara di dunia.

Konsep yang digunakan mengacu pada konsep moneter bahwa kemiskinan sebagai kekurangan penghasilan dalam bentuk uang yang didekati melalui pendekatan pengeluaran rumah tangga. Mengapa ukurannya uang? Sebab, lebih jelas dan mudah diukur. Dari berbagai kajian, pengeluaran rumah tangga yang berupa uang tersebut berkorelasi positif kuat dengan variabel kemiskinan lain yang sulit diukur, seperti status sosial, deprivasi sosial dengan beragam variannya, dan akses terhadap beragam bentuk kesempatan.

Dari 84 negara berkembang, menurut inventarisasi dari United Nations Statistics Division, 50 persen lebih menggunakan pendekatan pengeluaran untuk konsumsi, 30 persen pendekatan pendapatan, dan sisanya kombinasi keduanya.

Menetapkan seseorang itu miskin atau tidak digunakan nilai uang dari harga kalori 2.100 kilokalori per orang per hari ditambah dengan kebutuhan paling dasar non-makanan yang disebut sebagai batasan garis kemiskinan. Di atas nilai itu tidak miskin, di bawahnya disebut sebagai penduduk miskin.

Penggunaan pendekatan pengeluaran dengan kebutuhan dasar kalori dan kebutuhan dasar non-makanan sudah lama diadopsi banyak negara. Rekomendasi penggunaan pendekatan pengeluaran rumah tangga ini pertama kali dilakukan di New York, AS, tahun 1936, setelah Seebohn Rowtree melakukan studi mendalam terkait pola konsumsi masyarakat New York saat itu.

Pengukuhan yang lebih kuat penggunaan metode ini didasarkan atas rekomendasi PBB setelah pertemuan yang diprakarsai oleh FAO dan WHO dalam Human Energy Requirement: Expert Consultation, yang dilaksanakan di Roma, Italia, tahun 2001 dan 2005. Sebelumnya, banyak negara berkembang telah mengadopsi konsep dan batasan operasional tersebut. Saat ini, metode pengukuran penduduk miskin di banyak negara menggunakan cara yang sama, tak terkecuali di Indonesia (walaupun ada sedikit variasi dalam jumlah kalori yang menjadi batasan).

Dengan metodologi tersebut dan dengan menggunakan data konsumsi rumah tangga dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang telah dilakukan sejak tahun 1963 dihasilkan besaran garis kemiskinan (GK) pada Maret 2017 sebesar Rp 374.500 per kapita per bulan. Jika suatu rumah tangga memiliki tiga anak ditambah mertua, jumlah anggota rumah tangganya tujuh orang, artinya garis batas rumah tangga tersebut dikatakan miskin jika pengeluaran per bulan kurang dari Rp 2,6 juta. Angka ini bervariasi, bergantung pada jumlah anggota rumah tangga sebagai penimbangnya.

Batasan GK tersebutlah yang telah menghasilkan angka kemiskinan pada Maret 2017 sebesar 10,64 persen yang hanya mengalami sedikit penurunan dibandingkan dengan angka kemiskinan pada September 2016 sebesar 10,70 persen. Selama tiga tahun terakhir, angka kemiskinan hanya berkurang 0,61 poin persen.

Dengan pendekatan kebutuhan paling dasar 2.100 kilokalori dan pengeluaran paling dasar non-makanan, mereka yang berada di bawah GK adalah orang yang hanya mampu mengonsumsi nasi dengan lauk-pauk sederhana dan terdeprivasi dalam banyak dimensi kehidupan sosial dan ekonomi.

Siapa orang miskin itu?

Beberapa kajian ilmiah terkait kemiskinan menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin, dengan menggunakan ukuran ini, digolongkan sebagai the last, the least, the lowest, and the loss (4L). Mereka senantiasa paling akhir dalam memperoleh beragam kesempatan, paling sedikit menerima tetesan berkah pembangunan, paling rendah derajat kehidupan sosialnya, dan senantiasa kehilangan arah dalam menentukan pilihan-pilihan kesempatan.

Jangan berharap bahwa stimulus lapangan kerja yang terbuka karena ada proyek-proyek padat karya, pemberian modal usaha, fasilitas kredit, pemberian subsidi input pertanian, dan sejenisnya akan secara otomatis menyentuh dan dimanfaatkan kelompok 4L tersebut.

Kelompok 4L yang miskin ini pada Maret 2017 berjumlah 27,8 juta orang. Sekitar 49,9 persen dari mereka atau sekitar 14 juta orang bekerja di pertanian sebagai buruh tani, pekerja serabutan, dan petani gurem. Sebanyak 7,12 persen atau sekitar 2 juta orang bekerja di kegiatan industri rumah tangga sebagai buruh dengan upah yang sangat rendah, sebanyak 4 juta orang dalam keadaan tidak memiliki pekerjaan, dan sisanya sekitar 8 juta adalah buruh bangunan di perkotaan, pedagang asongan, atau pekerja serabutan perkotaan lainnya. Mereka rata-rata memiliki anggota rumah tangga lima orang, dipimpin kepala rumah tangga yang hanya rata-rata berbekal pendidikan SD ke bawah.

Penduduk miskin yang bekerja di kegiatan memburuh atau pekerja serabutan lainnya di sektor pertanian menerima upah nominal rata-rata Rp 49.500 per hari pada Maret 2017 dan hanya mengalami kenaikan 2,57 persen dibandingkan dengan upah pada September 2016. Jika diperhitungkan dengan besaran angka inflasi pada kurun waktu September 2016 ke Maret 2017 yang sebesar 2,24 persen, upah riil buruh tani kita-bervariasi antardaerah-hanya mengalami kenaikan 0,16 persen.

Upah nominal buruh bangunan di perkotaan mengalami kenaikan 1,51 persen, yaitu dari rata-rata Rp 82.500 per hari pada September 2016 menjadi Rp 83.700 per hari pada Maret 2017. Setelah memperhitungkan angka inflasi, upah riilnya justru mengalami penurunan 0,72 persen. Sederet fakta ini menggambarkan inilah sosok orang miskin Indonesia saat ini dan mengkluster di beberapa jenis kegiatan ekonomi.

Pijakan kebijakan

Membaca data statistik bukan sekadar melihat besaran angka lalu memperdebatkannya. Konsep, definisi, metode pengukuran, dan karakteristik yang melingkupinya akan banyak berbicara tentang pemaknaan dari setiap angka yang dihasilkan.

Ketika konsentrasi penduduk miskin ada di aktivitas pekerja serabutan di pertanian, buruh tani, dan petani gurem, pertanyaannya: apakah beragam program penanggulangan kemiskinan di perdesaan yang ada saat ini telah berpijak pada realitas tersebut? Apakah proyek infrastruktur skala besar, menengah, bahkan infrastruktur yang dibangun dengan dana desa telah memberi peluang bekerja bagi kelompok penduduk tersebut atau justru peluang itu lebih banyak dinikmati mereka yang berada di lapisan di atas garis kemiskinan? Begitu juga dengan buruh kasar bangunan, buruh industri rumah tangga, buruh angkut, buruh yang bekerja di rumah makan skala kecil, apakah telah terakomodasi dengan beragam paket kebijakan penanggulangan kemiskinan yang ada?

Upaya menurunkan angka kemiskinan akan lebih efektif dan akan lebih cepat jika program-program yang dirancang, di luar program perlindungan sosial, bersentuhan langsung dengan kelompok mereka yang digambarkan oleh angka statistik kemiskinan yang ada. Bagaimana memaknai data dengan benar tampaknya menjadi tantangan yang menarik.

JOUSAIRI HASBULLAH

DEPUTI BIDANG STATISTIK SOSIAL BPS

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 6 dengan judul "Memaknai Data dan Kemiskinan".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger