Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 19 Agustus 2017

Nasionalisme Kaum Pinggiran (AHMAD SAHIDE)

Tahun ini, 17 Agustus, kita kembali merayakan Hari Ulang Tahun Ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Penyambutannya pun cukup meriah: pesta rakyat di mana-mana, bendera Merah Putih berkibar menghiasi jalan-jalan di seantero Nusantara.

Tujuannya adalah bagaimana kita mengenang jasa para pahlawan kemerdekaan yang rela hidup dari satu tempat ke tempat yang lain, dari pelarian ke pelarian, dari pengasingan ke pengasingan. Tidak sedikit dari mereka gugur di medan perang. Jangankan menikmati fasilitas negara, melihat bendera Merah Putih pun tidak.

Mengapa para pejuang melakukan itu semua? Jawabannya adalah mereka mencintai republik ini: itulah nasionalisme! Nasionalisme yang tidak diucapkan dengan kata-kata, tetapi dengan semangat perjuangan untuk masa depan bangsa. Oleh karena itulah, merayakan hari kemerdekaan setiap tahun adalah dalam rangka menumbuhkan dan menjaga spirit nasionalisme putra-putri bangsa, mulai dari masyarakat pinggiran sampai pada tingkatan elite yang mondar-mandir masuk Istana.

Pertanyaan yang muncul adalah seberapa kokoh spirit nasionalisme itu terbangun setelah 72 tahun merayakan hari kemerdekaan? Apakah kawula elite yang setiap tahunnya merayakan hari kemerdekaan di Istana semakin nasionalis?

Belum tentu juga. Jika kita mengikuti perkembangan dan dinamika kebangsaan hari ini, kita akan tahu bahwa uang negara banyak dicuri oleh elite-elite yang keluar-masuk Istana: bupati, gubernur, anggota Dewan, menteri, dan seterusnya.  

Banyak dari mereka yang memaknai bahwa jabatan publik adalah cara untuk menikmati fasilitas negara. Mendengarkan lagu kebangsaan pada saat pengibaran Sang Saka Merah Putih adalah formalitas dan seremoni yang mesti dilakoni oleh pejabat publik, bukan untuk mengenang para pahlawan yang gugur di medan perang tanpa pernah melihat Merah Putih berkibar, diiringi lagu kebangsaan "Indonesia Raya". Bukan untuk mengenang bahwa mereka banyak berkorban, bahkan nyawa sekalipun, untuk negeri ini, tetapi tidak pernah duduk manis di kursi yang harganya puluhan juta rupiah.

Sebaliknya, kita kadang tidak berbuat apa-apa untuk negeri ini, tapi sangat sibuk mempermasalahkan tempat duduk yang mesti harganya puluhan juta rupiah. Lalu, apa makna dari perayaan hari kemerdekaan itu setiap tahunnya?

Belajar nasionalisme pada kaum pinggiran

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), nasionalisme dimaknai sebagai paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri, bisa juga dimaknai sebagai politik untuk membela pemerintahan sendiri. Anthony D Smith mengatakan bahwa "Nationalism is an ideology that places the nation at the centre of its concerns and seeks to promote its well-being.." Intinya adalah bahwa nasionalisme merupakan perasaan cinta terhadap bangsa dan Tanah Air yang tidak terikat dengan ruang dan waktu.

Jika demikian definisi nasionalisme, maka untuk menumbuhkan nasionalisme tidak harus berlomba menginjakkan kaki ke Istana, kemudian berswafoto dan disebar di media sosial. Kita dapat belajar nasionalisme dari orang-orang pinggiran. Bagaimana mencintai negeri ini tanpa pernah merasakan nikmatnya menginjakkan kaki ke Istana.

 Nasionalisme kaum pinggiran dapat kita simak dari film Tanah Surga. Katanya. Sebuah film yang mengangkat cerita di daerah perbatasan di Pulau Kalimantan. Dari film ini, kita dapat mengetahui bahwa banyak warga negara Indonesia di daerah perbatasan tidak mengenal rupiah (mata uang Indonesia), mereka hanya tahu ringgit (mata uang Malaysia). Dan, ringgit pulalah yang menjadi alat transaksi sehari-hari bagi masyarakat perbatasan. Tidak sedikit yang telah memutuskan pindah kewarganegaraan (ke Malaysia) karena persoalan kesejahteraan hidup lantaran negara tidak hadir untuk mereka.

 Akan tetapi, tetap saja ada anak bangsa seperti Salman yang tidak rela melihat bendera Merah Putih jadi kain pembungkus oleh warga masyarakat jiran. Salman rela menukarkan sarungnya dengan bendera Merah Putih dan membawanya kembali ke Indonesia meskipun negara tidak hadir dalam kehidupan mereka. Begitu pula dengan Pak Hasim (kakek Salman), yang dalam film itu memilih tetap menjadi warga negara Indonesia meskipun hidupnya jauh dari cukup.

Dalam salah satu dialog, Pak Hasim mengatakan, "Aku mengabdi bukan untuk pemerintah, tapi untuk negeri ini. Bangsaku sendiri." Itulah ekspresi nasionalisme Salman dan Pak Hasim yang hidup di daerah perbatasan dan pelosok.

 Contoh lain adalah dari sosok Butet Manurung yang rela mendatangi salah satu kelompok masyarakat terpinggirkan di Jambi, yaitu suku Anak Dalam, pada tahun 1999. Butet Manurung yang lahir dan besar di Jakarta rela meninggalkan kemewahan Ibu Kota demi mendidik anak-anak suku Anak Dalam untuk membaca dan menulis. Butet tahu bahwa ada kelompok masyarakat yang tidak mendapatkan pendidikan formal dan sering kali ditipu karena ketidaktahuannya itu.

Itulah yang menggerakkan Butet untuk datang dan hidup bersama mereka demi tujuan yang mulia: mendidik anak-anak bangsa agar bisa membaca dan menulis. Hal ini dapat kita lihat sebagai salah satu cara bagi Butet dalam mencintai bangsa dan negaranya (nasionalisme).

 Butet kemudian memperkenalkan "Sokola Rimba", sekolah alternatif yang khusus mendatangi daerah-daerah pelosok, dan film Sokola Rimba juga sudah bisa ditonton secara luas, yang memotret pengabdian Butet di daerah pedalaman di Jambi. Semua itu dilakukan Butet tanpa mempertanyakan gaji dan sertifikasinya. Akan tetapi, buah dari apa yang telah dilakukan oleh Butet adalah penghargaan dari dunia internasional. Sejumlah penghargaan bergengsi telah ia raih, salah satunya adalah Magsaysay Award.

 Inilah wujud atau ekspresi nasionalisme yang tidak banyak diorasikan di panggung-panggung politik, sebagaimana para politisi yang berlomba mendapatkan jabatan publik. Sangat boleh jadi setiap muncul di depan publik mereka selalu mengucapkan kata "nasionalisme", tetapi ketika menjabat lupa pada rakyat yang kelaparan, rakyat yang hidup di desa-desa dan tidak mendapatkan akses pendidikan yang semestinya.

"Nasionalisme" mereka (mungkin) adalah kemampuan mengalkulasi aset-aset negara untuk dijual ke pihak asing. Semoga saja tidak!

 Memperingati 72 tahun kemerdekaan, mari kita belajar nasionalisme dari kaum pinggiran. Tidak ada salahnya, bukan?

 AHMAD SAHIDE

DOSEN MAGISTER ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL  UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA DAN PENGGIAT KOMUNITAS BELAJAR MENULIS (KBM) YOGYAKARTA

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Agustus 2017, di halaman 7 dengan judul "Nasionalisme Kaum Pinggiran".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger