Cari Blog Ini

Bidvertiser

Rabu, 06 September 2017

TAJUK RENCANA: Menyoal Kesejahteraan Petani (Kompas)

Dari waktu ke waktu Indonesia tidak pernah melepas keinginan swasembada pangan. Hal itu hanya akan tercapai dengan memperhatikan nasib petani.

Harian ini, sejak Senin lalu, menurunkan laporan mengenai nilai tukar petani (NTP) tanaman pangan yang tidak banyak beranjak. Temuan di lapangan memperlihatkan budidaya tanaman pangan tidak menyejahterakan petani.

Keadaan tersebut berbeda dibandingkan dengan situasi 30-40 tahun lalu. Pada masa itu, petani masih dapat menyekolahkan anaknya hingga perguruan tinggi dari hasil gabahnya. Semakin ke sini nilai tukar komoditas primer tanaman pangan terhadap hasil industri semakin merosot. Harga 1 kilogram gabah kini jauh lebih rendah daripada harga sepasang seragam sekolah dasar.

Pada sisi lain, pemerintah mengklaim nilai tukar petani membaik, begitu juga nilai tukar usaha rumah tangga pertanian. Dengan menyatakan angka nilai tukar naik, seolah kesejahteraan petani sudah membaik.

Kita masih mengandalkan petani sebagai tulang punggung mencapai swasembada pangan. Dalam kenyataan, data statistik memperlihatkan semakin sedikit anak petani tertarik bertani karena pendapatan pertanian pangan kalah dibandingkan dengan menjadi buruh pabrik.

Pemerintah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan produksi pangan. Mulai dari menggelontorkan subsidi pupuk dan benih hingga sangat membatasi impor demi menjaga harga di tingkat petani.

Kita mendapat laporan upaya itu meningkatkan produksi pangan. Namun, keberhasilan tersebut membawa konsekuensi tak diharapkan pada NTP karena pemerintah bekerja memakai paradigma lama.

Nilai tukar petani masalah fundamental. Bukan sekadar angkanya naik atau turun, melainkan bagaimana petani mendapat keuntungan dari sistem dan proses agribisnis. NTP rendah karena petani hanya berkutat di sektor budidaya (on farm), sementara nilai tambah yang tinggi ada di agribisnis hulu hingga hilir. Dengan kata lain, petani tidak ikut menikmati manfaat produksi pertanian yang berlimpah karena berada pada rantai komoditas yang nilai tambahnya sangat rendah.

Pemerintah perlu segera mengubah paradigma dalam menangani pertanian dan kesejahteraan petani. Petani harus diintegrasikan ke dalam sistem dan proses agribisnis agar terjadi transfer keuntungan dari rantai nilai tambah.

Tidak ada alasan ukuran usaha tani terlalu kecil. Petani dapat didorong membentuk koperasi, perusahaan desa, atau usaha bersama. Melalui koperasi, petani dapat memiliki mulai dari penggilingan beras, pengolahan tepung beras, industri benih modern, pabrik pupuk dan traktor, hingga bank pertanian.

Hanya melalui pengintegrasian petani ke dalam sistem dan proses agribisnis pendapatan dan kesejahteraan petani akan meningkat nyata tanpa perlu subsidi sangat besar, seperti dilakukan negara-negara kaya bagi petaninya.

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 6 dengan judul "Menyoal Kesejahteraan Petani".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger