Cari Blog Ini

Bidvertiser

Senin, 09 Oktober 2017

ARTIKEL OPINI: Korupsi dan Mahar Pencalonan (DIDIK SUPRIYANTO)

Korupsi di lingkungan kepala daerah sudah akut. Bahkan, sumpah kepala daerah oleh Presiden Jokowi ditambahi kalimat, "Demi Allah saya bersumpah bahwa saya tidak menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja, dari siapa pun juga yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa dia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan dan pekerjaan saya," tidak berarti apa-apa.

Tingginya biaya pilkada yang ditanggung calon kepala daerah diyakini menjadi penyebab utama korupsi. Mereka mengumpulkan uang untuk bayar utang pilkada sebelumnya, lalu memupuk modal untuk pilkada berikutnya. Para kepala daerah menukar keputusan dan kebijakan dengan uang. Menyadari ini, DPR dan pemerintah selaku pembuat UU telah mengubah banyak ketentuan untuk menurunkan biaya yang ditanggung calon kepala daerah.

Namun, setelah keluarnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang selanjutnya ditetapkan menjadi UU No 1/2015, lalu UU ini diubah dua kali oleh UU No 8/2015 dan UU No 10/2016, korupsi kepala daerah tak berhenti.. Ketentuan-ketentuan baru itu gagal mencapai tujuannya. Pengalaman penyelenggaraan selama ini menunjukkan ada beberapa pos pengeluaran, baik legal maupun ilegal, yang ditanggung calon kepala daerah: promosi diri, mahar pencalonan, kampanye, pembelian suara, bekal saksi, dan suap petugas. Jika calon hanya mengeluarkan biaya legal, dana yang dikeluarkannya tak banyak. Apalagi UU No 8/2015 mengharuskan sebagian biaya kampanye dibebankan ke APBD. Tetapi, nyaris tak ada calon yang percaya diri hanya mendanai kegiatan legal mereka bisa memenangi pilkada.

Mahar pencalonan, pembelian suara, dan suap petugas dilarang UU. Tentang pembelian suara dan suap petugas, peraturannya jelas, pelaku bisa dikenai sanksi pidana. Kita hanya bisa berharap kepada pengawas pemilu dan polisi berhasil menangkap pelakunya, jaksa menyeret ke pengadilan, dan hakim memberikan hukuman setimpal. Yang perlu dapat perhatian adalah mahar pencalonan. UU No 8/2015 mengatur, pemberian uang dalam pencalonan dikenai sanksi pidana sekaligus sanksi administrasi, berupa pembatalan calon. Namun, praktik mahar ini tak berhenti. Jika ke parpol sendiri saja harus setor, sebagaimana diakui Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi, tentu kepada parpol lain, calon tidak bisa menolak.

Meski semua partai menyatakan menolak mahar dalam pencalonan, pernyataan resmi partai berbeda dengan perilaku pengurusnya.. Transaksi pencalonan ini berlangsung di ruang-ruang tertutup, melibatkan elite partai dengan calon. Kegiatan ilegal ini terdengar, tetapi sulit dibuktikan. Akibatnya, elite partai maupun calon tak takut dengan sanksi yang diancamkan UU.

Padahal, di antara pengeluaran ilegal lain, mahar pencalonan ini sangat membebani calon. Bahkan, beban berlanjut saat calon terpilih menjabat: memberikan layanan khusus kepada elite partai pendukung, mulai dari memenangkan tender, memberikan izin, sampai membuat kebijakan yang menguntungkan perusahaan yang dibawa elite partai.

Solusi sistemik

Pendekatan normatif, dalam arti melarang mahar pencalonan dengan memberikan sanksi pidana dan pembatalan calon kepada para pelaku, terbukti tak efektif. Harus dilakukan pendekatan sistemik: mengubah beberapa variabel teknis pemilihan agar mendorong elite partai dan calon menjauhi praktik jual beli berkas pencalonan. Pertama, membuka seluas-luasnya mekanisme pencalonan. Ketentuan calon diajukan oleh partai atau koalisi partai yang punya 20 persen kursi DPRD atau meraih 25 persen suara pada pemilu terakhir harus dihapus. Peraturannya diubah, setiap partai yang punya kursi di DPRD bisa mengajukan pasangan calon. Persyaratan dukungan buat calon independen juga diturunkan untuk memudahkan mereka yang mengajukan diri lewat jalur nonpartai.

Mekanisme pencalonan seperti itu bisa saja memperbanyak jumlah calon. Namun, kemungkinan itu sudah dicegah oleh UU No 8/2015 yang menerapkan prinsip pluralitas sederhana dalam menentukan pemenang.. Artinya tak ada pilkada putaran kedua karena peraih suara terbanyak (berapa pun persentasenya) ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih. Formula ini dapat mencegah spekulasi politik sekaligus mendorong partai berkoalisi mengusung calon yang peluang terpilihnya paling besar.

Hadirnya calon yang banyak juga bisa dicegah dengan penerapan denda bagi calon yang meraih suara tak signifikan. Setiap calon wajib memberikan uang deposit dalam jumlah tertentu kepada KPU. Apabila raihan suara calon tak mencapai angka tertentu, misal 5 persen, uang deposit masuk ke kas negara. Ketentuan ini akan menutup hadirnya petualangan politik atau orang iseng untuk jadi calon.

Kedua, penyelenggaraan pilkada harus dibarengkan dengan pemilu anggota DPRD dalam satu hari pemilihan. Pemilu serentak eksekutif dan legislatif ini, di satu pihak, mendorong partai membangun koalisi solid sekaligus untuk pencalonan gubernur dan bupati/wali kota; di lain pihak juga akan memaksa partai politik, calon kepala daerah, dan calon anggota DPRD untuk melakukan kampanye bersama sehingga bisa menekan biaya.

DIDIK SUPRIYANTO, KOLUMNIS, PENDIRI PERLUDEM

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 9 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Korupsi dan Mahar Pencalonan".


Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

1 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus

Powered By Blogger