Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 10 Oktober 2017

ARTIKEL OPINI: Tantangan Tekfin (ARIF BUDIMANTA)

Teknologi digital kini memengaruhi denyut perekonomian dunia. Kita menyebutnya ekonomi digital.

Presiden Jokowi, dalam peresmian Indonesia Business & Development Expo, 20 September, menyatakan, ada pergeseran perniagaan dari dunia luar jaringan (offline) menuju dunia dalam jaringan (online). Laporan Forum Ekonomi Dunia (2015) memprediksi, Indonesia menjadi pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara pada 2020. Ekonomi digital adalah sistem yang menghubungkan sisi penawaran dan permintaan dengan menggunakan bauran antara basis teknologi informasi (internet) dan teknologi finansial (tekfin) sebagai tulang punggung aktivitas.

Atas dasar itu, perkembangan tekfin untuk mendukung ekonomi digital juga kian marak. Data Statista Market Forecastmenyatakan, transaksi tekfin di Indonesia pada 2017 mencapai 18,64 miliar dollar AS atau sekitar Rp 247,65 triliun.

Kita berharap Indonesia bisa mengambil manfaat besar dari ramainya tekfin. Masalahnya, kebanyakan transaksi tekfin di sini didominasi kegiatan pembayaran (payment). Angkanya 18,61 miliar dollar AS (99 persen nilai transaksi). Tekfin kita didominasi kegiatan jual beli. Sementara produk yang diperjualbelikan lebih banyak produk impor. Angka pastinya belum ada. Namun, itulah yang terungkap dari Kenduri Nasional e-UKM di Bandung pada akhir Agustus 2017. Jadi, lebih banyak nilai transaksi tekfin yang terbang ke luar negeri.

Apalagi, sudah ada Peraturan Menteri Keuangan mengenai Ketentuan Impor Barang Kiriman yang menaikkan batas pembebasan barang impor dari sebelumnya 50 dollar AS menjadi 100 dollar AS. Kian leluasalah produk impor masuk melalui koridor e-dagang dan semakin besar devisa terbang dengan jalur tekfin. Padahal, Statista menduga, transaksi tekfin di Indonesia pada 2021 akan mencapai 37,15 miliar dollar AS (sekitar Rp 494 triliun). Sayang jika uang sebesar itu lebih banyak lari ke negeri orang.

Apalagi, industri payment di dalam negeri juga sudah lama dimasuki multinasional. Mereka pemain kelas dunia. Mereka sudah menyiapkan ekosistem dengan menguasai portal e-dagang dan menggenggam jaringan vendor. Pendapatan dari feepenyelenggaraan pembayaran digital bakal banyak lari ke luar. Data transaksi dan perilaku konsumen lokal pun mereka pegang.

Potensi terkurasnya devisa juga datang dari belanja impor produk teknologi informasi dan komunikasi sebagai infrastruktur tekfin. Setiap tahun, kalangan operator mengimpor sekitar 2,5 miliar dollar AS. Tak bisa tidak, kita tak boleh terlena dengan euforia tekfin tanpa membenahi diri. Presiden Jokowi dalam pidato di Indonesia Business & Development Expo mengingatkan, tekfin akan berdampak sangat dahsyat pada sisi produksi.

Risiko dan peluang tekfin

Presiden meminta semua pihak berhati-hati. Arahan Presiden sangat jelas: kinerja sektor riil harus terus ditingkatkan agar bisa bersaing dalam e-dagang. Industri manufaktur dalam negeri harus digenjot. Produk UMKM perlu didukung.

Sistem lalu lintas devisa di Indonesia juga perlu disempurnakan agar pemerintah atau Bank Indonesia punya peluang bertindak jika terjadi gejolak di pasar yang mungkin disebabkan transaksi tekfin.

Financial Stability Board (FSB), lembaga bentukan G-20 yang memonitor dan membuat rekomendasi tentang sistem finansial global, menyatakan, ada beberapa risiko makro dari tekfin. Pertama, contagion risk. Yang (2004) menjelaskan, efek contagion merupakan suatu fenomena ketika krisis keuangan di suatu negara akan memicu krisis keuangan di negara lain. Risiko lainnya, dampak volatilitas (excess volatility) yang dapat memengaruhi stabilitas pasar ataupun stabilitas sistem keuangan.

Untuk itu, penyempurnaan sistem lalu lintas devisa, berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, dibutuhkan untuk mengelola risiko contagion dan excess volatility tadi. Di China, Thailand, atau Malaysia, pemerintah dan bank sentralnya tak menerapkan lalu lintas devisa dengan teramat bebas seperti di kita. China, misalnya, membatasi dana asing dengan holding period selama tiga bulan.

Upaya lain yang diperlukan, memastikan bekerjanya Gerbang Pembayaran Nasional (National Payment Gateway/NPG) secara efektif untuk mencatat aliran dana ke dan dari luar negeri terutama dari transaksi tekfin. NPG juga bisa memastikan potensi penerimaan pajak dari transaksi e-dagang yang mungkin akan cukup besar. Jika perlu, NPG dilanjutkan dengan pembentukan tim perpajakan untuk menggali penerimaan dari e-dagang seperti di Jepang.

Di Jepang, jasa digital payment menjadi perhatian lebih. Sampai saat ini, tekfin pembiayaan belum terlalu populer di sana karena perbankan sudah memberikan layanan itu secara optimal. Apalagi, suku bunganya sangat rendah. Tetapi, e-dagang sangatlah ramai. Maka, Jepang merancang agar pemain dalam negeri dapat mengambil manfaat. Otoritas Jepang kini mengatur agar perbankan setempat boleh membeli 100 persen saham perusahaan nonkeuangan—sehingga perbankan mampu menciptakan ekosistem e-dagang yang memberikan manfaat optimal bagi perekonomian domestik.

Jerman lain lagi. Otoritas Jasa Keuangan Federal Jerman (Bafin) mewajibkan perusahaan tekfin tunduk pada peraturan yang ketat. Mereka harus memperoleh izin mendapatkan modal dari Bafin atau European Central Bank (ECB). Perusahaan tekfin harus menyiapkan model bisnis, punya modal awal besar, menyiapkan manajemen risiko, menunjukkan kompetensi profesional, dan memasang sistem keselamatan TI.

Kita juga perlu merumuskan aturan jelas soal tekfin. Namun, kita juga harus lebih memberikan dukungan pada tekfin jenis pembiayaan usaha atau business finance (lending). Pada 2017, Statista menduga, nilai transaksi tekfin jenis ini baru senilai 14 juta dollar AS. Masih amat kecil. Padahal, tekfin jenis ini yang diharapkan bisa memperkuat perekonomian rakyat. Tekfin jenis ini dapat masuk ke sektor UMKM yang dianggap unbankable.

Saat ini ada 11 juta UMKM yang terjangkau bank. Sisanya, sekitar 49 juta unit, belum tersentuh perbankan. Peningkatan kinerja tekfin jenis lendingbisa memberikan peluang bagi UMKM untuk berkembang sehingga bisa mewujudkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Di situlah wujud negara hadir, ketika Eka, perajin tas dari Cipanas, ataupun Anwar, pembuat mebel dari Jepara, dapat mengakses modal lebih mudah dan murah sekaligus memasarkan produknya ke mancanegara dalam era ekonomi digital.

ARIF BUDIMANTA, WAKIL KETUA KOMITE EKONOMI DAN INDUSTRI NASIONAL

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 10 Oktober 2017, di halaman 6 dengan judul "Tantangan Tekfin".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger