Sayangnya, hingga sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) belum tampil ke depan menyempurnakan ide dan praktik pelaksanaan reforma agraria yang diperintahkan Presiden sesuai Perpres No 75/2017 tentang Kementerian ATR/BPN RI. Bahkan, usulan draf peraturan pelaksana reforma agraria tak juga masuk ke meja Presiden.
Tampaknya Kementerian ATR/BPN masih berkutat dengan pekerjaan pokok sebelumnya, yakni menerbitkan sertifikat tanah. Sejatinya, pekerjaan ini adalah pelayanan kepada rakyat yang bertanah, tetapi belum memiliki alas hak. Padahal, makna reforma agraria adalah melayani rakyat golongan ekonomi lemah tak bertanah atau bertanah sempit sehingga mereka terjerembab kemiskinan.
Belum berubahnya paradigma tersebut telah membuat kementerian ini hanya menargetkan redistribusi tanah seluas 18.000 hektar pada 2017. Padahal, wilayah kerja kementerian ini sedikitnya 77 juta hektar, terasa sekali bahwa target kerja kementerian ini terlalu kecil.
Capaian reforma agraria
Kementerian yang juga bertugas melaksanakan reforma agraria adalah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH). Reforma agraria pada Kementerian LHK menggunakan UU Kehutanan. Jalur yang tersedia oleh UU ini adalah pelepasan kawasan hutan. Sebelumnya, dari 7,5 juta hektar hutan yang dilepaskan, 90 persen diperuntukkan bagi perusahaan perkebunan.
Sekarang, Kementerian LHK ditarget melepaskan tanah seluas 4,5 juta hektar untuk rakyat dan baru terealisasi 770.000 hektar. Selain skema reforma agraria, pemerintah juga mendorong perhutanan sosial bagi rakyat seluas 12,7 juta hektar. Sampai hari ini, perhutanan sosial telah mencapai angka 833.000 hektar.
Kementerian lain yang terkait reforma agraria dan belum sepenuhnya bersinergi adalah Kementerian Pertanian serta Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pasifnya dua kementerian ini karena pelaksanaan reforma agraria yang digagas telah memosisikan Kementan dan Kemendesa PDTT cukup memainkan peran pemberdayaan masyarakat penerima tanah.
Padahal, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani mengamanatkan agar petani memiliki tanah pertanian yang cukup untuk kesejahteraan, yakni seluas 2 hektar. Kementerian Desa PDTT juga belum secara aktif mendata dan mengusulkan wilayah desa-desa yang berada di dalam kawasan hutan dan perkebunan agar dilegalisasi. Bukankah wilayah kebun atau hutanlah yang berada di dalam wilayah desa, bukan sebaliknya, desa berada di dalam kawasan hutan atau perkebunan.
Karena itu, selama tiga tahun ini tampaklah bahwa program reforma agraria masih berserak dan belum terkonsolidasikan karena masing-masing lembaga berjalan dengan langgam birokrasi dan pemahaman masing-masing terkait program ini.
Solusi percepatan
Di tengah pelaksanaannya yang terpisah-pisah, Kementerian LHK pada Maret lalu merilis wilayah yang akan ditetapkan sebagai Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) dan Perhutanan Sosial. Menurut kajian Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), pada lokasi tersebut terdapat beberapa temuan.
Pertama, lokasi tanah adalah desa-desa yang telah lama digarap oleh masyarakat dan terdapat kelompok masyarakat yang mendorong reforma agraria. Kedua, lokasi yang serupa dengan pertama, bedanya masyarakat belum terorganisasi sehingga keberlanjutan program pascadistribusi tanah perlu pemberdayaan mendalam. Ketiga, tanah-tanah yang kosong penduduk, tetapi cocok untuk pertanian dan perkebunan. Keempat, tanah tidak layak dijadikan obyek reforma agraria karena tebing curam, berbatu, dan lain-lain.
Ada titik kritis dari langkah Kementerian LHK merilis lokasi reforma agraria. Melepaskan kawasan hutan tanpa berdasarkan usulan masyarakat dan sebagian besar adalah tanah tak berpenghuni akan membuat lokasi-lokasi tersebut dengan mudah menjadi incaran pengusaha yang selama ini lapar lahan. Ini tentu bertolak belakang dari tujuan reformasi agraria. Sebaiknya, Kementerian LHK menunda status pelepasan kawasan hutan yang kondisi lapangannya tidak sesuai dengan rencana redistribusi tanah untuk rakyat.
Reforma versi masyarakat
Untuk menjembatani ketepatan lokasi dan penerima tanah di kawasan hutan dan nonhutan, penting untuk menyambut ide masyarakat sipil yang mengusulkan lokasi prioritas reforma agraria (LPRA) dari masyarakat dengan format yang sederhana dan mudah. Namun, usulan lokasi tersebut menggunakan kriteria mengurangi ketimpangan dan menyelesaikan konflik agraria di lokasi yang dimohonkan.
Di sinilah penting untuk segera mengesahkan kebijakan pelaksanaan reforma agraria yang tertunda selama tiga tahun ini. Kepemimpinan politik yang langsung dari Presiden dalam menjalankan reforma agraria tampaknya sangat diperlukan untuk mencegah mangkraknya reforma agraria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar