Berita Kompas, 24 Oktober, di halaman depan, "Generasi Milenial: Perubahan Signifikan di Dunia Bisnis", sangat menarik. Sepintas saya teringat artikel Kompas, 28 September, "Ancaman Radikal Generasi Milenial."

Poin penting artikel itu generasi milenial: lahir pada 1980-an; superaktif di dunia maya; menjadikan dunia maya sebagai media pencarian jati diri, karakter, dan identitas; konsumtif dan gila internet, tapi juga kreatif dan inovatif; serta kurang empati dan keyakinan terhadap tataran nilai-nilai agama.

Membandingkan berita dan opini itu, saya simpulkan generasi milenial memang cenderung konsumtif—suka instan terhadap kecanggihan teknologi—namun jangan selalu dijustifikasikan negatif. Generasi milenial ternyata banyak yang kreatif, inovatif, bahkan produktif.

Sifat kreatif, inovatif, dan produktif itu dibuktikan Farida Maharani yang berhasil membangun terowongan bawah tanah pertama di Indonesia tepat waktu. Juga sederatan anak muda yang memiliki kemampuan dan keahlian di bidang digital.

Suci Ayu Latifah, Mahasiswi STKIP PGRI Ponorogo, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Membudayakan Tradisi Ilmiah

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan giat menyosialisasikan model pembelajaran abad ke-21 dengan sasaran peningkatan kompetensi siswa pada keterampilan 4C—critical thinking, creative, communicative, dancollaborative—yang bertumpu pada pembangunan karakter siswa. Pembinaan dan pengembangan diri siswa mencapai kompetensi itu butuh media, khususnya pada siswa yang berbakat akademik istimewa, agar potensi akademiknya tak sekadar angka semata.

Pada 3-9 September 2017, Moskwa mengadakan International Olympiade of Metropolises (IOM) yang kedua dalam rangka ulang tahun ke-870 Moskwa. IOM merupakan lomba empat mata pelajaran setingkat SMA: matematika, fisika, kimia, dan komputer. Lomba diikuti 35 kota dari berbagai negara yang memiliki kerja sama kota kembar dengan kota Moskwa. Indonesia diwakili Jakarta dengan delapan siswa, terdiri dari dua siswa untuk setiap mata pelajaran.

IOM sangat menarik karena bukan sekadar lomba jawab pertanyaan, tetapi siswa harus mengerahkan kemampuan 4C-nya. Lomba terdiri dari dua kegiatan: blitz contest dan kompetisi utama. Blitz contestsemacam game kelompok siswa yang mewakili kotanya masing-masing. Setiap peserta bekerja sama menjawab pertanyaan yang kemudian dimasukkan ke dalam komputer. Kota peserta yang menjawab paling banyak benar dalam waktu yang cepat, menjadi pemenang.

Kompetisi utama dilaksanakan terpisah untuk setiap mata pelajaran, dilakukan perorangan. Lomba terdiri dari dua kegiatan, teori dan praktikum. Kecuali untuk mata pelajaran komputer, semua dilaksanakan dengan memasukkan hasil analisis program. Jawaban teori dan praktikum kemudian dituangkan dalam lembar jawaban. Hasilnya diperiksa dewan juri setiap mata pelajaran. Juri lomba adalah para profesor Akademi Ilmu Pengetahuan Moskwa. Penampilannya eksentrik, mirip ilmuwan Rusia Dmitri Mendeleev, pencipta tabel periodik bilangan atom.

Yang menarik, peserta diperkenankan melakukan moderasi dengan juri. Bisa dibayangkan, betapa kagum kita melihat para siswa seusia SMA mendebat juri yang profesor itu dengan bahasa Inggris, mengoreksi hasil penilaian juri, untuk mendapat tambahan nilai.

Hasil keseluruhan: Jakarta menempati posisi ketiga bersama Istanbul, Budapest, dan Leipzig. Penghargaan ini tampaknya lebih mengutamakan persahabatan antarkota, antarnegara.

Selesai lomba, peserta diajak berkeliling kota Moskwa, mengenal pusat sejarah, gereja kuno, museum seni dan teknologi, serta menyusuri sungai di Moskwa yang elok. Kegiatan diakhiri dengan menghadiri Hari Perayaan Moskwa. Begitu meriah Moskwa yang dihadiri ratusan siswa cerdas dari berbagai belahan dunia. Dengan nyata, Moskwa telah mengukuhkan diri sebagai kota dengan budaya dan tradisi ilmiah.

Para siswa cerdas itu belajar langsung mengembangkan kompetensi abad ke-21, mengenal literasi sejarah dan teknologi, serta membangun karakternya melalui pergaulan antarbangsa. Saya berharap, kelak kota Jakarta dan kota lain di Indonesia bisa menyelenggarakan kegiatan serupa sebagai wahana pembelajaran dan penghargaan pada tradisi ilmiah dan keberagaman.

Semakin banyak siswa kita yang terlibat belajar langsung, semakin banyak kelak menjadi inspirator dalam membudayakan tradisi ilmiah yang akan mengikis kebiasaan plagiat dan hoaks.