Cari Blog Ini

Bidvertiser

Sabtu, 07 Oktober 2017

Cacah Agraria dan Hak Dasar Rakyat (JP TAMTOMO)

Tanggal 24 September 2017 kita memperingati tepat 57 tahun UUPA.

Sudah lelah kita membaca data ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Tahun 1979, ketika jumlah penduduk masih 124,2 juta jiwa, tercatat 4 juta rumah tangga petani menguasai tanah rata-rata 0,25 hektar dan 2 juta rumah tangga lagi menguasai tanah 0,1 hektar. Sementara itu, 94 juta penduduk tinggal di pedesaan dan 90 persen petaninya memiliki tanah di bawah 2 hektar (Kompas, 8/9/1979)..

Tahun 2002 (jumlah penduduk mencapai 217,5 juta jiwa), tercatat 63 persen luas tanah pertanian di Indonesia dikuasai hanya oleh 16 persen rumah tangga, termasuk yang dikuasai secara guntai (absentee) dan melebihi batas maksimum. Sekitar 43 persen tunawisma dan usaha tani mengusahakan tanah di bawah luas rata-rata 0,1 hektar, 27 persen usaha tani di antara luas tanah rata-rata 0,1-0,5 hektar, 14 persen usaha tani di antara 0,5-1,0 hektar, dan hanya 16 persen usaha tani di atas 1,0 hektar (Kompas, 10/1/2002).

Selanjutnya, tahun 2017 (jumlah penduduk sudah lebih dari  261 juta jiwa), indeks gini penguasaan dan pemanfaatan tanah mencapai angka 0,46, suatu ketimpangan yang mengkhawatirkan. Sebanyak 23,7 juta petani hanya memiliki rata-rata 0,9 hektar tanah. Sebaliknya, 2.000-an perusahaan perkebunan menguasai 16 juta hektar tanah, dan 304 perusahaan menguasai 26 juta hektar (tanah) hutan konsesi. Ironisnya, 15,57 juta petani tidak mempunyai tanah sama sekali atau berprofesi sebagai buruh tani (Kompas, 27/6/2017).

Makna angka

Apa makna angka-angka itu? Negara belum sepenuhnya hadir dalam pemenuhan hak-hak dasar rakyat atas tanah dan Reforma Agraria. Program penguatan hak-hak rakyat atas tanah berjalan sangat lambat. Dalam lima tahun terakhir, BPN hanya mampu menyertifikasi tanah rata-rata 1,1 juta bidang per tahun. Sekitar 400.000-500.000 bidang tanah per tahun dari APBN (Prona dan Lintas Sektor) dan sisanya dari PNBP yang berasal dari inisiatif (swadaya) masyarakat. Artinya, pendaftaran tanah baru selesai 50 tahun lagi..

Sejarah mencatat, Pasal 19 UUPA Tahun 1960 juncto PP Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah telah mengamanatkan kepada pemerintah agar mendaftar tanah di seluruh wilayah RI. Namun, hingga tahun 1969, gejolak politik, sosial, dan ekonomi pada masa itu bisa jadi alasan atas gagal dipenuhinya mandat UUPA dimaksud. Pasca-1969 kita memang masuk euforia pembangunan, sayang pembangunan agraria tidak termasuk dalam prioritas.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah semakin tajam, bahkan penggusuran dan pencabutan hak rakyat atas tanah demi pembangunan sering menjadi berita.

Tahun 1981, pemerintah mencanangkan Prona, suatu program sertifikasi tanah untuk masyarakat kurang mampu. Meskipun sudah berjalan 36 tahun, nyatanya rakyat (termasuk Presiden Joko Widodo) masih kesulitan menyertifikasi tanah mereka.

Sertifikasi tanah dan redistribusi TORA (tanah obyek reforma agraria) merupakan hilir dari Reforma Agraria. Masih diperlukan lagi "redistribusi akses" yang merupakan muara Reforma Agraria, yaitu akses permodalan dan fasilitas usaha bagi rakyat kurang mampu dan penerima TORA. Hal itu bertujuan agar aset produktif dan tidak telantar.

Dalam periode 1995-2001 dilaksanakan program sertifikasi tanah melalui Proyek Administrasi Pertanahan bantuan Bank Dunia. Proyek ini hanya mampu menyertifikatkan tanah kurang lebih 1,9 juta bidang selama lima tahun lebih. Menurut laporan Bank Dunia Nomor 23684 tanggal 19 Juni 2002, biaya proyek 140,2 juta dollar AS terserap 80,7 juta dollar AS. Sama nasibnya dengan Program PP Nomor 10 Tahun 1961, proyek yang direncanakan selama 25 tahun ini juga kandas.

Saat ini kita bersyukur bahwa mulai tahun 2017 pemerintahan Jokowi-JK telah mencanangkan peta perjalanan Reforma Agraria melalui Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) hingga 2025. Tahun 2017 akan diterbitkan sertifikat tanah 5 juta bidang. Tahun 2018 sebanyak 7 juta bidang, 2019 sebanyak 9 juta bidang, dan seterusnya hingga tahun 2025 seluruh bidang tanah di wilayah NKRI akan terdaftar dan memiliki sertifikat tanah.

Dari mana angka ini dihitung. Menurut data tahun 2002, jumlah bidang tanah di luar kawasan hutan adalah 77 juta bidang dan yang sudah diterbitkan sertifikatnya 23 juta bidang sehingga terdapat 54 juta bidang yang belum terdaftar. Tahun 2017, yaitu 15 tahun kemudian, jumlah ini meningkat seperti deret hitung.

Jumlah bidang tanah diperkirakan 102 juta bidang (menurut Presiden Jokowi jumlahnya 126 juta bidang). Meningkat 32,5 persen (atau 61,1 persen menurut data Presiden) akibat pemecahan kepemilikan, pelepasan kawasan hutan, dan legalisasi kepemilikan atas tanah negara lainnya.

Jumlah penerbitan sertifikat tanah meningkat menjadi 46 juta bidang. Namun, jumlah bidang tanah yang belum terdaftar juga relatif sama, bahkan meningkat, yaitu 57 juta bidang (atau 80 juta bidang menurut data Presiden), dan jumlah inilah yang jadi target pemerintah melalui PTSL.

Target pemerintah boleh dikata sangat ambisius. Bandingkan saja dengan Proyek LAP Bank Dunia yang selama lima tahun dengan biaya Rp 1,09 triliun (dengan kurs sekarang Rp 13.500) hanya mampu menerbitkan sertifikat tanah 1,9 juta bidang. Program PTSL ini menargetkan 5 juta sertifikat tanah dalam waktu satu tahun dengan anggaran Rp 1,7 triliun.  Mungkinkah terwujud?

Mewujudkan target

Marilah kita lihat bukti atau fakta saat ini. Menurut catatan Kementerian ATR/BPN per tanggal 17 Agustus 2017, jumlah tanah yang telah berhasil diterbitkan sertifikatnya melalui Program PTSL 893.368 sertifikat (44,7 persen) dari target 2 juta bidang/sertifikat berdasarkan APBN 2017. Adapun target 3 juta bidang lagi (untuk menggenapi 5 juta bidang) masuk dalam APBN-P 2017 yang baru berjalan efektif Juni 2017.

Dari hampir 900.000 sertifikat, secara bertahap bertempat di 26 lokasi yang tersebar di seluruh Indonesia, Presiden Jokowi telah berkeliling dan menyerahkan secara langsung 82.927 sertifikat tanah kepada masyarakat yang berhak. Mungkinkah 5 juta sertifikat akan diselesaikan seluruhnya per 31 Desember 2017?

Program Reforma Agraria melalui PTSL ini sebaiknya didukung oleh infrastruktur dasar dan  anggaran serta regulasi yang memadai, termasuk peran serta masyarakat yang proaktif. Infrastruktur dasar pertanahan saat ini masih sangat terbatas.

Keberhasilan Reforma Agraria melalui PTSL sangat bergantung kepada ketersediaan data dan informasi pertanahan, baik data fisik (jejaring koordinat dan peta bidang) maupun data yuridis (bukti penguasaan dan pemilikan tanah). Oleh sebab itu, sejalan dengan amanat Ketetapan (TAP) MPR No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam perlu dilakukan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah. Format yang sesuai untuk itu adalah cacah agraria.

Cacah agraria sebaiknya dilaksanakan bersamaan dengan pelaksanaan  Kebijakan Satu Peta (Perpres No 9 Tahun 2016) secara holistik, integratif, tematik, dan sistematik (HITS).

Kita telah mengenal sensus penduduk, sensus pertanian, ataupun sensus ekonomi. Dengan melakukan cacah agraria, sebenarnya kita telah melaksanakan pula sensus pertanian dan mungkin bagian-bagian kecil sensus-sensus lain. Cacah agraria mendata luas baku tanah, sedangkan sensus pertanian melaksanakan pendataan luas panen tanah pertanian. Cacah agraria mendata seluruh bidang tanah tanpa kecuali.

Melalui cacah agraria ini, banyak sekali data dan informasi yang dapat dimanfaatkan lintas sektor dan multidimensi. Data hasil cacah ini tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan data fisik dan data yuridis bidang tanah, tetapi juga dapat dikembangkan untuk informasi geo-spasial tematik(IGT) lainnya, yaitu peta dan neraca penggunaan tanah, penguasaan dan pemilikan tanah, serta informasi nilai tanah dan nilai ekonomi kawasan.

Melalui cacah agraria diperoleh pula IGT konflik agraria dan sengketa pertanahan, serta IGT ketersediaan tanah secara fisik maupun yuridis. Demikian pula IGT ketersediaan tanah negara untuk berbagai kepentingan, seperti Reforma Agraria, tanah untuk pembangunan bagi kepentingan umum ataupun pertahanan dan keamanan serta cadangan strategis negara lainnya.

Dengan cacah agraria, kita dapat memadukan pelaksanaan dan pencapaian tujuan yang diamanatkan Pasal 33 Ayat (3) UUD RI 1925, UUPA, TAP MPR No IX/MPR/2001, Program Reforma Agraria dan PTSL, serta Kebijakan Satu-Peta.

Dukungan regulasi ATR/BPN perlu segera ditingkatkan ke tingkat PP atau perpres, serta ke tingkat undang-undang karena saat ini RUU tentang Pertanahan sedang dibahas bersama antara DPR dan pemerintah. Di samping itu diperlukan dukungan regulasi di bidang perpajakan, misalnya BPHTB dan PPh terutang untuk PTSL karena faktor ini merupakan penghambat utama pelaksanaan sertifikasi tanah masyarakat kurang mampu.

Dukungan regulasi di bidang kehutanan juga sangat penting. Penetapan kawasan hutan sering mengakibatkan ketidakpastian batas kawasan hutan, serta konflik penguasaan dan pemilikan tanah antara rakyat dan pemerintah. Jangankan tanah milik rakyat, dilaporkan tanah aset Kementerian Keuangan seluas 8.020 hektar, BMN yang sudah tercatat dalam LKPP, tiba-tiba masuk ke dalam kawasan hutan.

Sementara pelepasan kawasan hutan untuk korporasi, baik dalam bentuk alih fungsi maupun konsesi, berjalan terus dalam hitungan waktu dan hitungan luas jutaan hektar. Tidak heran jika Presiden Jokowi baru-baru ini menyatakan bahwa pengelolaan kawasan hutan saat ini masih sangat monoton dan tidak menyejahterakan rakyat.  Akhirnya, dukungan pemerintah daerah juga sangat penting, khususnya dalam rangka membangkitkan peran serta masyarakat.

JP TAMTOMOPEMERHATI AGRARIA-PERTANAHAN

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Oktober 2017, di halaman 7 dengan judul "Cacah Agraria dan Hak Dasar Rakyat".

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger