Jumlah pengungsi yang bisa diterima di AS dibatasi maksimum 45.000 orang per tahun, atau hanya sekitar 40 persen dari kuota di zaman pemerintahan Barack Obama. Langkah ini diterima dengan sikap beragam.
Di satu sisi, kontribusi Amerika Serikat untuk menampung pengungsi di dunia sangat dibutuhkan karena pengungsi legal yang menunggu masuk ke AS kini masih tertahan di tempat-tempat penampungan, dan tak sedikit yang sudah menunggu selama bertahun-tahun.
Namun, langkah "buka pintu" AS itu dibarengi dengan peraturan lainnya, yang membuat pengungsi legal sekalipun semakin sulit masuk ke AS. Washington menyatakan akan ada seleksi yang lebih ketat terhadap pengungsi dari 11 negara yang tak disebutkan namanya, yang diduga dari kawasan Timur Tengah dan Afrika. Padahal, dari kawasan itulah saat ini mayoritas pengungsi berasal.
Pengetatan pengecekan itu antara lain terkait pengecekan latar belakang pengungsi untuk menentukan apakah pengungsi bisa dipercaya atau tidak statusnya, dan pengecekan pengungsi berdasarkan proses tukar-menukar informasi antar-berbagai badan pengungsi.
Pengetatan pemeriksaan ini akan semakin memperpanjang waktu tunggu pengungsi legal. Sebagai contoh, menurut CNN, sejak perang Suriah meletus pada 2011, jumlah pengungsi Suriah yang berhasil masuk ke AS pada 2011 hanya 23 orang, 41 orang pada 2012, 45 (2013), 249 (2014), barulah di tahun 2015 sebanyak 1.199 orang.
Selama ini pun sudah ada aturan sangat ketat terhadap pengungsi dari 11 negara yang masuk ke AS, yaitu dari Mesir, Iran, Irak, Libya, Mali, Korea Utara, Somalia, Sudan Selatan, Sudan, Suriah, dan Yaman. Selain itu, ada juga larangan masuk bagi enam negara dengan penduduk mayoritas Muslim, yaitu Suriah, Iran, Chad, Libya, Yaman, Somalia. Kali ini ditambah dua negara, Korut dan Venezuela. Meski banyak pihak menduga tambahan itu hanya untuk "menutupi" bahwa yang disasar negara Islam.
Alasan di belakang pengetatan kebijakan ini adalah keamanan nasional dan ancaman terorisme, topik yang terus didengungkan Trump sejak masa kampanye, dan berhasil membawanya ke kursi kepresidenan. Semangat ini pula yang kita lihat dalam sejumlah pemilu di Eropa. Semakin keras rencana untuk menolak pengungsi, semakin mudah kandidat meraih simpati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar