Alasan pembatalan, harga beli Perum Bulog dianggap terlalu rendah, jauh di bawah biaya pokok produksi. Petani akhirnya memilih menjual sendiri secara bebas gulanya ke pasar. Dengan menjual langsung ke pedagang, petani juga bisa mendapatkan dana tunai untuk modal tanam berikutnya-hal yang tak bisa diharapkan dari Perum Bulog karena keterbatasan kemampuan serap dan anggaran Bulog.

Dalam beberapa pernyataan sebelumnya, Bulog cenderung membantah adanya masalah dalam penyerapan. Perjanjian jual-beli dengan petani itu sendiri dibuat guna menjamin terserapnya gula petani karena alasan tidak ada pembeli yang mau menyerap gula petani karena alasan kualitas. Namun, petani mengeluhkan ketidaksiapan Bulog sehingga gula petani banyak menumpuk di pabrik gula (PG). Penolakan Bulog menyerap gula petani yang dianggap tak memenuhi standar nasional Indonesia juga memicu kecemburuan dan konflik di antara para petani sendiri.

Kasus terakhir ini menambah panjang kusutnya persoalan industri gula, mulai dari sangat rendahnya produktivitas dan rendemen, inefisiensi dan uzurnya PG, krisis bahan baku, gejolak pasokan dan harga, amburadulnya tata niaga, serta buruknya kesejahteraan petani dan buruh PG..

Ironisnya, kondisi tak terserapnya gula petani sering dibarengi bocornya gula rafinasi, yang seharusnya hanya ditujukan untuk industri, ke sektor rumah tangga. Ini menyebabkan kian anjloknya harga gula petani sehingga insentif petani menanam tebu juga kian tertekan. Akibatnya memperparah krisis bahan baku dan krisis yang dihadapi PG dan juga pergulaan nasional.

Sebagai bentuk protes terhadap persoalan kisruh gula, sudah tak terhitung aksi unjuk rasa dilakukan petani. Dalam sejumlah kasus, petani bahkan menutup akses ke PG setelah ribuan ton gula produksi PG disegel Kementerian Perdagangan karena dianggap tak layak konsumsi.

Dalam setiap persoalan gejolak pasokan dan harga, pemerintah cenderung memilih langkah mudah, membuka keran impor. Bahkan dalam kondisi tertentu membolehkan gula rafinasi menutup kekurangan pasokan gula di pasar.

Semua itu tak perlu terjadi seandainya pemerintah menanggalkan pendekatan tambal sulam dalam pembenahan pergulaan nasional. Selain arah kebijakan yang tak jelas, sering kali kebijakan yang ditempuh selama ini tak menyentuh akar masalah pergulaan nasional itu sendiri.

Program revitalisasi lahan tebu dan PG belum banyak mengubah potret secara umum sektor pergulaan nasional. Kemungkinannya pemerintah hilang fokus atau tak serius. Pemerintah harus segera mencari solusi komprehensif, baik jangka pendek maupun jangka panjang, terhadap kemelut gula, hulu hingga hilir. Hal ini bukan hanya menyangkut kepentingan sekitar 10 juta pekerja yang terlibat di sektor ini, melainkan juga masyarakat sebagai konsumen, nasib industri gula, ketahanan pangan dan ekonomi dalam negeri.

 
KOMPAS

Karut-marut pergulaan Indonesia seakan tak pernah surut. Kini petani tebu membatalkan kontrak jual-beli gula secara sepihak dengan Bulog


Kompas, 26 Oktober 2017