Hari Sabtu, 14 Oktober, dua pekan lalu, truk berisi bom meledak di jalanan yang sibuk di Mogadishu dan menyebabkan sedikitnya 358 orang tewas dan 56 orang hilang. Dalam peristiwa itu, kelompok militan Al-Shabab menolak dinyatakan terlibat dalam peledakan bom.

Belum hilang duka itu, Sabtu (28/10), sebuah bom mobil meledak di luar Hotel Nasa-Hablod, hotel populer juga di Mogadishu, yang diikuti bom mobil lain di dekat gedung parlemen. Kali ini Al-Shabab cepat-cepat mengakui terlibat dalam peledakan bom bunuh diri itu. Setelah bom meledak, tiga orang bersenjata lengkap masuk hotel dan menembakkan senjata mereka ke tamu hotel.

Aparat keamanan Somalia baru bisa mengakhiri serangan itu pada Minggu (29/10) pagi setelah tembak-menembak selama 15 jam. Sedikitnya 25 orang tewas, termasuk tiga penyerang yang ditembak aparat, serta dua penyerang lainnya ditangkap hidup-hidup..

Al-Shabab sering kali menyerang tempat-tempat elite atau populer di Mogadishu. Namun, jumlah korban yang terlalu banyak pada peledakan bom dua pekan lalu membuat Al-Shabab gamang untuk mengakui dan berhadapan dengan warga Somalia pada umumnya.

Mengutip keterangan saksi, polisi mengatakan, dalam melakukan aksinya, kelompok militan ini sering menggunakan seragam militer. Kelompok militan hampir leluasa melakukan aksinya karena Pemerintah Somalia kurang solid. Banyak daerah tidak terang-terangan menolak kehadiran kelompok ini di daerahnya.

Mulai tahun ini, sebetulnya militer AS ikut terlibat dalam upaya memerangi kelompok militan, sebagai bagian dari perang global terhadap terorisme. Sebanyak 22.000 anggota pasukan multinasional dari beberapa negara di Afrika yang ditempatkan di Somalia akan ditarik dari negara ini pada 2020. Namun, mereka ragu karena banyaknya serangan yang terjadi menunjukkan militer Somalia belum sepenuhnya dapat mengatasi persoalan ini.

Al-Shabab mendapat keuntungan karena aparat dan kondisi keamanan di Somalia lemah.. Sedikitnya terjadi 20 serangan bom mematikan di Mogadishu dan menyebabkan 500 orang meninggal sejak awal tahun ini.

Keamanan di beberapa negara di Afrika, seperti Libya, Sudan, dan Eritrea, juga kurang stabil. Semua negara itu bisa menjadi tempat subur bagi tumbuhnya kelompok militan, menyusul kekalahan hampir telak Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS).