credit="Istimewa

Beberapa waktu yang lalu, sejumlah ilmuwan Amerika Serikat mengungkapkan hasil penelitiannya terkait pejalan kaki di berbagai belahan dunia. Hasilnya menunjukkan bahwa orang Indonesia adalah penduduk paling malas berjalan kaki di dunia.

Mungkin tidak perlu melakukan riset secara serius untuk membuktikannya. Cukup kita melihat nasib pejalan kaki di Jakarta.

Banyak orang bilang bahwa Jakarta adalah etalase Indonesia. Bagaimana nasib pejalan kaki di etalase Indonesia?

Jakarta adalah salah satu kota yang tidak ramah pejalan kaki. Kondisi trotoar yang rusak tidak sulit ditemukan di Ibu Kota. Trotoar yang digunakan untuk parkir mobil dan sepeda motor tak jarang kita temui di banyak tempat. Bahkan trotoar juga digunakan untuk jalan sepeda motor jika lalu lintas sedang macet.

Memuliakan pejalan kaki

Pada tahun ini, Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) DKI Jakarta mencatat ada 1.060 kasus pelanggaran fungsi trotoar. Data itu diperoleh selama tiga hari pelaksanaan kegiatan Bulan Tertib Trotoar. Jakarta adalah neraka bagi pejalan kaki. Tak mengherankan jika kemudian orang Jakarta malas berjalan kaki.

Memuliakan pejalan kaki adalah persoalan keberpihakan. Selama ini Pemerintah Provinsi DKI Jakarta lebih berpihak terhadap penggunaan kendaraan bermotor pribadi untuk mobilitas warganya. Indikasinya, sudah banyak jalan raya untuk mobil dan sepeda motor dibangun. Namun, untuk memperbaiki dan sterilisasi trotoar saja tampaknya sulit sekali.

Jakarta baru saja memiliki pemimpin yang baru, menyusul dilantiknya Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta. Tak heran kemudian harapan warga untuk memuliakan pejalan kaki dibebankan kepada pemimpin DKI Jakarta yang baru. Akankah pemimpin Jakarta yang baru memuliakan pejalan kaki? Atau mereka akan meneruskan paradigma usang dengan memuliakan pengguna kendaraan bermotor pribadi?

Baru-baru ini di salah satu portal berita dituliskan bahwa Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memiliki ide, trotoar di Jalan Sudirman-Thamrin didesain ulang untuk mengakomodasi pengendara roda dua. Munculnya ide sang gubernur itu hanya berselang beberapa hari setelah wakilnya, Sandiaga Uno, mengatakan bahwa pejalan kaki menempati urutan kedua penyebab semrawutnya kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pernyataan itu muncul hanya setelah melihat gambaran kawasan Tanah Abang yang diambil menggunakan kamera drone.

Setelah pernyataan itu muncul di media massa dan mendapat kecaman publik, Gubernur DKI dan wakilnya pun sibuk melakukan bantahan. Seperti biasa, kesalahan pun ditimpakan kepada para jurnalis. Bahkan, sebagian para pendukungnya menuduh media massa terlalu menyudutkan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI itu.

Persoalan hak pejalan kaki pun menjadi isu politik murahan. Alih-alih mendiskusikan substansi dari persoalan hak pejalan kaki yang selalu dipinggirkan di Ibu Kota, persoalan pejalan kaki justru diarahkan ke persoalan politik jangka pendek.

Sebetulnya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI tidak perlu malu untuk meminta maaf jika pernyataannya di media massa menyudutkan pejalan kaki yang selama ini telah terpinggirkan. Seandainya pun mereka tidak merasa mengeluarkan pernyataan tersebut, keduanya cukup membuktikan dengan sebuah kerja nyata bahwa di bawah kepemimpinan mereka, ke depan, Jakarta tidak akan lagi menjadi neraka bagi pejalan kaki.

Perlu keberpihakan

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana menjadikan Jakarta sebagai surga bagi pejalan kaki? Pertama, pengambil kebijakan di DKI Jakarta harus memiliki keberpihakan terhadap pejalan kaki. Tanpa memiliki keberpihakan, slogan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta yang akan memuliakan pejalan kaki hanya sebatas jargon tanpa ada kenyataan.

Keberpihakan terhadap pejalan kaki ditunjukkan dengan melakukan revitalisasi fasilitas bagi mereka. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian 'revitalisasi' adalah sebuah proses menghidupkan atau menggiatkan kembali. Jadi, tidak bisa kemudian atas nama mengakomodasi kepentingan pengguna kendaraan bermotor pribadi lalu trotoar yang menjadi hak pejalan kaki justru dipangkas. Trotoar harus diperlebar, jalan raya bagi pengguna kendaraan bermotor pribadi justru dibatasi. Tujuannya agar pengguna kendaraan bermotor pribadi memilih untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi massal.

Kedua, upaya memuliakan pejalan kaki harus seiring sejalan dengan upaya merevitalisasi transportasi massal dan pembatasan penggunaan kendaraan bermotor pribadi. Transportasi massal dari angkutan perkotaan (angkot) hingga LRT (light rapid transit)  dan MRT (mass rapid transit) harus diintegrasikan jalurnya dan dibuat nyaman dan aman bagi penggunanya.

Itu saja tidak cukup. Upaya merevitalisasi transportasi massal itu harus diiringi dengan kebijakan pembatasan ruang gerak pemakaian kendaraan bermotor pribadi, baik sepeda motor maupun mobil pribadi. Pajak jalan di kawasan tertentu harus sesegera mungkin diberlakukan. Bahkan, jika perlu untuk kawasan tertentu dibuat zona bebas polusi udara. Nantinya di kawasan itu hanya boleh diakses oleh pejalan kaki dan sepeda. Kawasan Tanah Abang memungkinkan untuk dibuat sebagai zona bebas polusi udara.

Ketiga, para pengambil kebijakan di DKI Jakarta harus memiliki keberanian jika benar-benar ingin memuliakan pejalan kaki. Kenapa demikian? Hal itu disebabkan upaya memuliakan pejalan kaki akan berbenturan dengan kepentingan kelas menengah-atas sebagai pengguna kendaraan bermotor pribadi.

Berdasarkan data realisasi pencapaian pajak DKI Jakarta, per 21 Desember 2016, penerimaan pajak di DKI Jakarta terbesar didukung dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) yang mencapai Rp 6,94 triliun. Orang akan cenderung tidak membeli kendaraan bermotor jika ruang geraknya dibatasi di Ibu Kota. Dan, itu artinya Jakarta akan kehilangan potensi pajak.

Namun, jika pendapatan dari PKB dibandingkan kerugian akibat polusi udara yang ditimbulkan kendaraan bermotor, jumlah uang triliunan rupiah itu akan terkoreksi secara signifikan.

Menurut Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), berdasarkan riset yang ada pada tahun 2012, ditemukan sebanyak 57 persen masyarakat terkena sakit akibat polusi udara. Seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma, pneunomia, hingga jantung koroner. Untuk mengobati penyakit akibat pencemaran udara, warga Jakarta harus membayar biaya kesehatan hingga Rp 38,5 triliun per tahun.

Sekarang keputusan ada di tangan pemimpin DKI Jakarta. Beranikah pemimpin baru menjadikan Jakarta surga bagi pejalan kaki?

Firdaus Cahyadi