Prinsip keteladanan dalam pendidikan, walaupun sudah akrab di telinga kita, disampaikan Ki Hajar Dewantara dalam semboyannya ing ngarso sing tulodo, tampaknya perlu direnungkan kembali. Sudahkah guru-guru menjadi pelopor, terutama dalam menebar semangat bertoleransi?

Dalam beberapa tahun terakhir, gejala intoleransi muncul di berbagai ranah kehidupan. Pun dalam dunia pendidikan. Bulan lalu, di SD Negeri 16 Pekayon, Pasar Rebo, Jakarta Timur, seorang siswa berinisial JSZ dirundung teman-temannya karena berwajah mirip "Ahok". Tak hanya dirundung secara verbal, tangannya ditusuk bolpoin.

Peristiwa yang menimpa JSZ hanya satu dari berbagai indikasi lain munculnya intoleransi di dunia pendidikan. Artikel di Kompas.com pada 3 Mei 2017 berjudul "Asal Muasal Penelitian Kemendikbud dan Temuan Sikap Intoleransi di Sekolah", memberitakan penelitian yang dilakukan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud), Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Balitbang Kemendikbud). Hasilnya, ada beberapa temuan perilaku intoleran yang perlu diperhatikan bersama, terutama oleh para pendidik.

Salah satu hasil yang perlu dicermati dari penelitian itu adalah: ada 8,2 persen responden menolak ketua OSIS yang agamanya berbeda. Selain itu, ada pula 23 persen responden yang merasa nyaman bila OSIS dipimpin orang seagama. Kecenderungan untuk memilih-atau merasa lebih nyaman dengan kehadiran-pemimpin seagama, mengapa bisa terjadi?

Di Kompas.com, 2 Mei 2017, di artikel "Pilkada DKI Dikhawatirkan Timbulkan Intoleransi di Lingkungan Sekolah", disampaikan bahwa "benih intoleransi muncul karena berbagai faktor, seperti tingkat pemahaman akan nilai kebangsaan yang sempit di sekolah… (dan) penanaman nilai agama yang eksklusif…".

Menggugah kesadaran

Pemilihan ketua OSIS adalah kegiatan yang semestinya menjadi bahan pendidikan politik yang efektif. Di sekolah-sekolah yang tidak berbasis ajaran agama tertentu, semestinya pemilihan ketua OSIS menjadi ajang yang menggugah kesadaran akan kemajemukan dan toleransi.

Adanya benih-benih intoleransi yang menyebar di sekolah semestinya membuat para guru meninjau kembali (model pembelajaran) pendidikan keagamaan di sekolah, selain pendidikan kewarganegaraan. Sudahkah itu menawarkan kesadaran untuk mencintai manusia sebagai sesama makhluk Tuhan yang sederajat dengannya? Atau malah menggiring siswa untuk mencintai agama semata?

Nadirsyah Hosen dalam artikel berjudul "Kesalehan Ritual dan Kesalehan Sosial" di laman Nahdlatul Ulama (14 September 2016) menyampaikan istilah "saleh ritual" dan "saleh sosial" yang dipopulerkan KH Ahmad Mustofa Bisri yang akrab disapa Gus Mus. Kesalehan ritual ditingkatkan dengan rajin dan tekun beribadah secara pribadi kepada Tuhan. Kesalehan sosial dikembangkan dari relasi dengan orang lain dengan banyak berbuat amal dan kebaikan, salah satunya bertoleransi. Mendalami agama dan rajin beribadah itu penting, tetapi jadi akan kurang berarti bila dalam pergaulan di masyarakat seseorang tak bisa hidup berdampingan dengan penganut agama lain dengan bertoleransi.

Guru yang menanamkan kesadaran kepada siswa bahwa agama yang dianut seseorang belum tentu menjadikannya pemimpin yang lebih baik akan menumbuhkan pemahaman yang rasional-juga kritis dan ilmiah-pada siswa tentang toleransi dalam berpolitik. Pemahaman itulah yang nantinya akan memainkan peran besar bagi siswa untuk melihat, mencari tahu, dan bertanya tentang kualifikasi seorang (calon) pemimpin politik.

Pengaruh dan pilihan

Lingkungan pendidikan, tempat siswa menghabiskan waktu cukup banyak menjalin berbagai interaksi sosial, memainkan peran penting dalam pembentukan ideologi dan pemahaman politik. Kecenderungan sebagian kecil siswa yang menunjukkan sikap intoleransi dalam penelitian yang disampaikan di atas bisa menjadi kajian dalam psikologi sosial.

Budiardjo (1989: 24) menyampaikan keterkaitan antara politik dan psikologi sosial. Psikologi sosial dapat memberikan pemahaman politik tentang "sikap dan reaksi kelompok terhadap keadaan yang dianggap baru, asing, ataupun berlawanan dengan konsensus masyarakat mengenai suatu gejala sosial tertentu". Di sekolah, bagian dari kelompok masyarakat yang menyelenggarakan tugas pendidikan, bagaimanakah sikap guru terhadap ajaran-ajaran asing yang intoleran, yang juga berimbas pada pemahaman siswa tentang (calon) pemimpin politik yang ideal?

Ketika guru sudah abai terhadap kebinekaan, yang notabene merupakan realitas bangsa Indonesia, maka ajarannya pun dapat menerbitkan sentimen tertentu terhadap orang yang berbeda suku atau agama. Dan, bukan hanya dalam ajaran, tetapi dalam ujaran dan berbagai interaksi lainnya di sekolah, pengaruh dari guru ke siswa pun dapat menyebar, membuat siswa terbiasa untuk berpikir dan bertindak seperti gurunya-seperti tulis Seneca tadi: "… teladan jalannya pendek dan efektif".

Agama memang mulia dan mengajarkan kebaikan. Akan tetapi, kita tak bisa menutup mata bahwa di berbagai tempat, kebencian pun dapat ditularkan lewat penafsiran terhadap ajaran agama yang keliru atau tak berimbang. Pada peringatan Hari Guru ini, baiklah para guru bersama-sama merenungkan kembali pola pendidikan yang berwawasan kebinekaan di Tanah Air ini. Keteladanan guru dalam memberikan ajaran dan perilaku yang toleran akan membuat para siswa menghargai perbedaan.

Sidik Nugroho