Pada Jumat (17/11) saya mengurus surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) ke Polres Metro Jakarta Timur. Karena blangko SKCK habis, saya disarankan mengurus ke Polda Metro Jaya.

Di Polda Metro Jaya, pengurusan dari pukul 09.24 baru selesai pukul 19.00. Itu pun harus berdebat dengan petugas yang "terkesan" mempersulit dengan mengatakan latar belakang foto kurang merah, telinga tidak kelihatan, foto editan, tetapi tidak menginformasikan standarnya.

Berbagai masalah lain adalah blangko SKCK habis, antrean semrawut, dan pengisian blangko yang tidak sistematis. Saya heran, kalau blangko habis, kenapa tidak difotokopi?

Pada Selasa (21/11) saya kembali mengurus SKCK. Alangkah terkejutnya saya mendapat informasi pelayanan dibatasi hanya 100 antrean pertama. Sejak kapan pelayanan masyarakat dibatasi? Saya disuruh kembali keesokan harinya, tetapi pukul 06.00 sudah ada antrean, sedangkan loket baru buka pukul 08.00 lebih.

Karena penasaran, saya cek seluruh polsek dan polres se-Jakarta Timur, ternyata semua blangko SKCK habis dan disuruh ke polda. Namun, di polda pelayanan dibatasi hanya 100 orang, sementara yang datang ribuan.

Untuk mempercepat proses antrean, saya mengisi formulir SKCK melalui situs web skck.polri.go.id lengkap dengan printbukti. Ternyata, sampai di polda, saya masih harus ikut antrean. Apa gunanya pengisian formulir daring kalau harus antre lagi? Padahal, yang saya urus hanya SKCK perpanjangan, yang sudah ada rumus sidik jarinya. Di situs web disebutkan pembuatan SKCK tak lebih dari 5 menit. Nyatanya saya harus balik dan antre hari berikutnya.

Mohon kepada institusi kepolisian untuk mereformasi pelayanan, termasuk di antaranya pembuatan SKCK. Masyarakat yang harus datang bolak-balik tidak hanya buang waktu, tetapi tenaga dan uang juga. Selaku masyarakat, saya tidak bisa terima alasan kehabisan blangko.

Kami kalau terlambat bayar pajak didenda, mengapa masih mendapat pelayanan yang tidak memuaskan?

M Sholeh

Pulogadung, Jakarta Timur

 

Tanggapan Acara di Bonn

Bersama ini kami menanggapi surat keluhan Ibu Luky Setyarini di rubrik Surat kepada Redaksi, Selasa (21/11).

Sebagai penyelenggara acara (EO) kegiatan teknis di Paviliun Indonesia, kami memiliki prosedur tata acara dan tata laksana penanganan kegiatan lapangan dan pemenuhan kebutuhan logistik.

Komunikasi dengan vendor untuk memenuhi kebutuhan tersebut dilakukan dengan komunikasi terbuka, termasuk komitmen dengan pihak ketiga yang akan dituangkan secara tertulis untuk dipertanggungjawabkan.

Kami juga menerapkan sistem pemilihan vendor dengan mekanisme pembanding bagi vendor yang akan membantu pelaksanaan di lapangan. Juga akan diwujudkan dalam perjanjian secara tertulis.

Terkait kesalahpahaman yang terjadi dengan Ibu Luky, kami kira sudah diselesaikan secara musyawarah kekeluargaan. Kami pun sudah memberikan penggantian materi meskipun tidak ada perjanjian bisnis yang ditandatangani.

Penggantian sesuai dengan permintaan Ibu Luky, yaitu 75 euro. Hal itu dilakukan pada 12 November 2017 di Cafe Simi, Bonn, Jerman.

Semoga penjelasan ini dapat menjernihkan persoalan.

Emilya Rosa S

Direktur Utama Cendekia Mulia Communication

Nama Bandara di Yogyakarta

Nimbrung usul L Wilardjo di Kompas, Sabtu(25/11), perihal nama untuk bandar udara baru Yogyakarta.

Saya mengusulkan nama bandara baru tersebut NYIA-Geng Serang dengan beberapa pertimbangan.

Pertama, NYIA sudah "ditorehkan" sejak awal. Kedua, nama Nyi Ageng Serang tidak asing lagi sebagai tokoh nasional dan makamnya ada di wilayah Kabupaten Kulon Progo (di Kecamatan Kalibawang).

Ketiga, efisien penulisannya, siapa pun terasa mudah melafalkan (orang dalam negeri atau pun luar negeri) nama tersebut. Keempat, bersifat feminis (barangkali satu-satunya bandara yang feminis).

Tukiman Tarunasayoga