Belum tuntas mengurusi erupsi freatik Gunung Agung, telah muncul Siklon Cempaka yang berdampak tanah longsor, hujan badai, dan gelombang tinggi.
Kita tahu, Indonesia adalah negeri rawan bencana. Tidak hanya gunung meletus dan banjir bandang, tetapi juga gempa bumi dan tsunami. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, ada 136 kabupaten atau kota yang berisiko tinggi bencana.
Ironisnya, di sisi lain, berdasarkan Kerangka Aksi Hyogo (Hyogo Framework Action/HFA) untuk Pengurangan Risiko Bencana 2005-2015 tak ada kemajuan berarti dalam pengurangan risiko bencana di Indonesia dengan indeks 3,16-3,3 (Kompas, 28/4). Tampaknya inilah cerminan upaya mitigasi bencana di Tanah Air.
Mari melihat Gunung Agung sebagai contoh. Setelah sempat naik-turun status: Siaga, Awas, Siaga, Gunung Agung akhirnya erupsi freatik pada pekan terakhir November ini. Penetapan status gunung api yang begitu lama, terutama pada status Awas sebagai tingkat tertinggi, amat berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat terdampak. Hingga akhir Oktober, jumlah pengungsi mencapai 133.336 orang yang tersebar di 385 lokasi.
Sebagian besar dalam kondisi keterpaksaan, tidak hanya karena harus meninggalkan rumah, pekerjaan, lahan pertanian dan ternak, tetapi juga harus hidup dalam kondisi yang serba darurat dan terbatas di pengungsian.
Status awas lebih dari satu bulan-sejak 22 September hingga 29 Oktober 2017-juga melumpuhkan sektor pariwisata. Dalam kurun tersebut, jumlah wisatawan asing turun 20 persen dan beberapa negara sempat mengeluarkan peringatan perjalanan. Total kerugian ekonomi masyarakat Bali diperkirakan Rp 2 triliun.
Di satu sisi, upaya peningkatan status dari Normal, Waspada, Siaga, dan Awas menjadi tanggung jawab Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) untuk meminimalkan korban manusia dan kerugian materi. Namun, di sisi lain, kita melihat bahwa upaya penetapan status gunung api ini perlu disempurnakan dengan dukungan mitigasi bencana yang akurat.
Kita sepakat, mitigasi menjadi panglima untuk menyelamatkan masyarakat dari dampak bencana. Maka upaya mitigasi perlu diseriusi dengan sumber daya manusia, alat, dan dana memadai. Pada kasus Gunung Agung, keterbatasan alat dan kapasitas pemantauan menjadi kendala akurasi keputusan. Kenyataannya, rata-rata anggaran penanganan bencana di daerah hanya 0,02-0,07 persen dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar