Sekiranya saat itu pertanyaannya ihwal kebangsaan atau sejarah perjalanan bangsa besar, saya mungkin tidak mampu menjawabnya. Sebab, sejarah panjang kita, dari sisi pahlawan saja ada begitu banyak dan tersebar di Nusantara.
Ketika dalam tiga tahun terakhir saya berkeliling ke Bandung, Medan, Yogyakarta, Pasuruan, Surabaya, dan Makassar, jalan-jalan protokol dinamai para pahlawan bangsa. Ada Diponegoro, MH Thamrin, Imam Bonjol, Hasanuddin, Sudirman, Sutomo, dan lain-lain.
Di Jakarta, ibu kota negara, tempat proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, jalan protokol dinamai para pendiri bangsa dan pahlawan dari sejumlah daerah. Saat remaja, sebagai penghuni Jakarta, saya sudah melintasi Jl Sutan Sjahrir di Menteng. Ia mantan perdana menteri, yang sebelum Indonesia merdeka sudah dibuang Belanda ke Boven Digul bersama Moh Hatta.
Di sebelah Jl Sutan Sjahrir ada Jl Moh Yamin, pahlawan nasional asal Sumatera Barat. Ia penulis, penyair, politikus, dan salah satu arsitek Sumpah Pemuda yang dihadiri para pemuda dari beberapa daerah.
Di Menteng juga ada Jl Diponegoro. Ia gigih menentang penjajahan Belanda, ditangkap, dan dibuang ke Makassar dan dimakamkan di sana. Masih di kawasan Jakarta Pusat, ada Jl MH Thamrin, orang Betawi yang pada tahun 1942 ditawan penjajah Belanda. Juga Jl Imam Bonjol, tokoh asal Sumatera Barat yang memimpin Perang Padri (1820-1830), akhirnya ditawan dan diasingkan ke Ambon dan Manado. Ada lagi Jl Teuku Umar, Teuku Cik Ditiro, dan Cut Mutiah, yang dari namanya sudah tampak asal-usulnya..
Maka jika Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan Jakarta adalah kota yang paling merasakan penjajahan dan kota-kota lain tidak melihat Belanda dari dekat, patut dipertanyakan pemahamannya tentang sejarah bangsa. Apalagi dia menyebut kata pribumi, yang digunakan Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia. Penggunaan kata pribumi dan nonpribumi dilarang dalam Inpres Nomor 26/1998, terutama untuk para pengambil kebijakan.
Saya sebagai warga biasa mengimbau masyarakat dan generasi muda, jangan mudah terprovokasi. Mari kita belajar agar tidak melupakan sejarah bangsa yang besar ini.
Arifin Pasaribu, Kompleks PT HII, Kelapa Gading Timur, Jakarta Utara
Tanggapan Jasa Marga
Menanggapi surat pembaca di harianKompas (6 Agustus 2017), dengan judul "Kemacetan di Tol Cikampek", kami ucapkan terima kasih atas masukan yang diberikan dan mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami.
Terkait larangan kendaraan besar melintasi Jalan Tol Jakarta-Cikampek selama proyek berlangsung, kami informasikan bahwa mengatur kendaraan di jalan tol merupakan kewenangan Kementerian Perhubungan.
Namun, Jasa Marga akan terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait selama pembangunan beberapa proyek di ruas Jakarta-Cikampek, untuk menjamin kenyamanan pengguna jalan.
Selanjutnya, menanggapi saran untuk menghilangkan Gerbang Jalan Tol Cengkareng dalam surat pembaca, juga diKompas (13/10) dengan judul "Jasa Marga agar Belajar Lagi", saran kami sampaikan ke bagian operasional untuk dipertimbangkan.
Kami berterima kasih kepada pengguna jalan atas kesabarannya dan mengimbau agar tetap mematuhi rambu lalu lintas. Jika ada keluhan dan membutuhkan bantuan selama di jalan tol Jasa Marga, dapat menghubungi call center 24 jam kami di 14080.
Dwimawan Heru S, AVP Corporate Communication, PT Jasa Marga
Tanggapan Telkom
Menanggapi surat Ibu Liana Dharma Tunggal yang dimuat Kompas (24/10) soal telepon tak berfungsi, kami mohon maaf atas ketidaknyamanan yang dialami.
Kami telah mengecek jaringan. Hasilnya, jaringan dalam kondisi baik. Gangguan terletak pada kerusakan pesawat telepon di rumah lbu Liana. Saat ini telepon telah berfungsi kembali.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar