AP/ANDREW MEDICHINI

Anak-anak Myanmar mengenakan pakaian tradisional menyalami Paus Fransiskus begitu ia tiba di Yangon, Senin (27/11).

Di tengah perhatian dan sorotan dunia pada Myanmar, yang disebut-sebut telah melakukan "pembersihan etnis", Paus Fran- siskus mengunjungi Myanmar.

Oleh karena itu, benar pendapat banyak kalangan bahwa Paus mengunjungi Myanmar dalam "situasi yang sulit". Kondisi sulit karena berbagai sebab. Salah satunya, seperti disebut di awal ulasan pendek ini, militer Myanmar telah melakukan "pembersihan etnis". Yang menyatakan hal itu adalah tak tanggung-tanggung, yakni PBB dan AS.

Sebelum meninggalkan Vatikan pada hari Senin, untuk kunjungan tiga hari di Myanmar, Paus sudah harus menghadapi sebuah kenyataan pro dan kontra, soal apakah ia dalam khotbah ataupun pidatonya menggunakan kata "Rohingnya" atau tidak. Ada yang menyarankan agar tidak menggunakan kata "Rohingnya" yang tidak diakui oleh Myanmar, tetapi ada pula yang menyarankan agar tetap menggunakan kata "Rohingnya" untuk menunjukkan bahwa pemimpin umat Katolik sedunia itu benar-benar memberikan perhatian pada mereka.

Apa pun istilah yang digunakan, sebenarnya, kunjungan Paus ke negeri yang mayoritas penduduknya beragama Buddha ini sudah menjadi catatan tersendiri; sudah menunjukkan perhatian besarnya pada persoalan yang muncul di Myanmar. Paus Fransiskus adalah Paus pertama yang pernah mengunjungi Myanmar, yang jumlah umat Katoliknya hanya sekitar 1 persen dari negeri berpenduduk kurang lebih 52 juta itu.

Paus memang bukan pemimpin politik sebagaimana para pemimpin negara yang lain. Ia adalah pemimpin umat; umat Katolik sedunia. Akan tetapi, Paus juga pemimpin negara bernama Takhta Suci (Negara Vatikan City), yang didirikan setelah ditandatanganinya Pakta Lateran antara Takhta Suci dan Italia pada 11 Februari 1929. Sebagai entitas yang berdaulat, merdeka, Vatikan memiliki hubungan diplomatik dengan banyak negara, termasuk Indonesia.

Oleh karena itu, kalaupun kunjungan Paus ke Myanmar semata-mata kunjungan pastoral, kunjungan seorang pastor, kunjungan seorang pemimpin umat ke suatu negara yang dianggap tidak demokratis, totaliter, melanggar hak-hak asasi manusia, maka kunjungan itu akan berdampak pada kebijakan politik. Bisa diartikan bahwa kunjungan itu sebagai dukungan terhadap penguasa negara itu, bisa juga diartikan sebagai upaya untuk memengaruhi penguasa, juga bisa diartikan sebagai usaha untuk menekan penguasa agar mengubah kebijakannya yang disorot dunia berkait dengan masalah orang-orang Rohingnya.