Di sisi lain ada yang menarik yang disampaikan Ketua Serikat Pekerja (SP) PLN. Dalam keterangannya, Ketua SP PLN tersebut mengatakan, sebagaimana dikabarkan sebuah media daring (Aktual, 13 November 2017), bahwa motif di balik penghapusan beberapa golongan pelanggan PLN adalah meningkatkan penjualan daya listrik kepada pelanggan.

Katanya, saat ini PLN mengalami kelebihan daya akibat program listrik 35.000 MW yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan konsumsi. Kelebihan daya itu berdampak finansial cukup berat kepada PLN, sebab sebagian besar listrik diproduksi pembangkit milik swasta dengan menggunakan sistem take or pay.Mana yang benar hanya pemerintah yang tahu.

Yang mengkhawatirkan: Dirut PLN, Menteri ESDM, dan Wakil Menteri ESDM dalam berbicara tentang rencana penghapusan atau peningkatan daya listrik tersambung kepada pelanggan tidak menyinggung sama sekali tentang instalasi yang terpasang di rumah pelanggan. Seakan-akan tidak ada masalah di sana. Padahal, potensi masalah ada di sana.

Instalasi listrik di rumah jutaan pelanggan sudah berusia puluhan tahun. Di antaranya masih banyak menggunakan instalasi model "jadul": kabel (+) dan kabel (-) dipasang sejajar). Apakah pemerintah berani menjamin, tanpa pemeriksaan secara fisik, kondisi instalasi seperti ini aman dialiri daya 4.400 VA?

Muzani Noor, Pontianak

 

Tanggapan Bank Danamon

Menanggapi pengaduan yang disampaikan Bapak Hadi Soegianto melalui surat pembaca di Kompas, Sabtu (11/11), berjudul "Uang Raib", kami telah menindaklanjuti dengan pertemuan pada Rabu (22/11).

Pada kesempatan itu kami menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan yang dialami Bapak Hadi dan menyampaikan penjelasan berdasarkan data yang ada. Kepada Bapak Hadi juga kami sampaikan langkah alternatif penyelesaian yang dapat ditempuh.

Demikian klarifikasi ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerja sama Kompas, kami ucapkan terima kasih.

Tien Noviaty, Customer Care Head, PT Bank Danamon Indonesia

 

Pembongkaran Portal di DKI

Menarik membaca surat R Pangaribuan diKompas, Sabtu (25/11) sebagai masukan kepada Gubernur Anies Baswedan.

Selain serangkaian berita Kompas tentang portal yang disebutkan R Pangaribuan dalam surat tersebut, sesungguhnya pada penerbitan Kompas, Sabtu, 11 April 2009, dengan judul "Portal Perumahan Segera Dibongkar", hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas Ketenteraman dan Ketertiban DKI waktu itu, Harianto Badjoeri.

Bahkan, kepala dinas telah memberi perintah kepada satpol PP untuk membongkar portal yang dibangun oleh warga yang tidak sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum.

"Kami hanya membutuhkan waktu 10 menit untuk membongkar satu portal," kata Harianto.

Bahkan, ia mengancam pidana singkat 20-90 hari kurungan penjara atau denda paling sedikit Rp 500.000 dan paling banyak Rp 30 juta untuk yang membangun portal tanpa izin.

Sayang sekali, perintah yang cukup tegas itu tidak ada kelanjutannya. Ada penolakan beberapa oknum warga yang sok kuasa dan, menurut pengamatan kami, para wali kota tidak pernah menyampaikan dukungan nyata di lapangan karena tidak ingin berhadapan langsung dengan oknum pelanggar perda tersebut.

Keadaan ini dapat disebut bahwa negara telah kalah oleh oknum yang tidak mematuhi aturan yang berlaku.

Saat ini gubernur baru, kita harapkan, tentu sangat paham bagaimana menertibkan suatu kota tanpa portal liar yang bertebaran di mana-mana. Sejarah akan mencatat apakah yang akan dilakukan gubernur pilihan warga Jakarta ini untuk menertibkan kotanya.