Persoalan ketimpangan akses pangan di Indonesia telah menjelma menjadi tiga beban gizi (triple burden) yang tidak dapat dianggap ringan karena akan memengaruhi kualitas pembangunan masa depan bangsa.

Anak usia di bawah lima tahun (balita) banyak yang menderita prevalensi gizi kurang (malnutrisi), pendek (stunting), dan kegemukan karena keterbatasan akses pangan dan gizi tidak seimbang. Menariknya, fenomena stunting tidak hanya diderita oleh mereka yang berada pada kelompok pendapatan rendah di perdesaan, tetapi juga yang berpendapatan tinggi di perkotaan.

Kinerja pertumbuhan ekonomi yang dilaporkan 5,06 persen pada kuartal III-2017 seakan tak bermakna banyak karena tingkat ketimpangan pendapatan masih tinggi. Angka Indeks Gini meningkat signifikan sejak Indonesia memasuki era otonomi daerah, dari 0,32 pada 2002 menjadi 0,39 pada 2016.

Bahkan, kenaikan transfer dana perimbangan keuangan daerah dari Rp 82,4 triliun pada 2002 menjadi Rp 705,8 triliun pada 2016 justru berkorelasi positif dengan naiknya tingkat ketimpangan pendapatan dan beban gizi yang buruk. Pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas serta pengelolaan anggaran negara dan daerah yang jauh dari pemerintahan yang baik menghasilkan kinerja akses pangan dan kualitas gizi yang tidak baik.

Tiga beban gizi

Para ekonom pangan umumnya menggunakan basis data akses pangan dan kualitas gizi yang bersumber dari Survei Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik (Susenas BPS), serta dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dan Pemantauan Status Gizi (PSG) oleh Kementerian Kesehatan. Sumber-sumber data resmi tersebut menunjukkan beban gizi bangsa Indonesia belum dapat ditanggulangi dengan baik karena buruknya akses pangan, kualitas sanitasi lingkungan, pola asuh anak di dalam rumah tangga, dan pemahaman para penyelenggara negara dari tingkat pusat sampai daerah.

Beberapa fakta tersebut diikhtisarkan berikut ini. Pertama, tingkat prevalensi kurang gizi, terutama anak balita, 19,6 persen (terdiri dari 5,7 persen gizi buruk dan 13,9 persen gizi kurang). Angka tersebut meningkat dari 17,9 persen pada 2010 (4,9 persen gizi buruk dan 13 persen gizi kurang). Sebanyak 18 provinsi di Indonesia memiliki angka prevalensi kurang gizi di atas angka rata-rata nasional.

Angka prevalensi kurang gizi terbesar diderita Nusa Tenggara Timur yang mencapai 33,1 persen, disusul Papua Barat, Sulawesi Barat, Maluku, dan seterusnya. Provinsi-provinsi itu juga memiliki angka kemiskinan yang masih tinggi sebab prevalensi kurang gizi amat dekat berhubungan dengan tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Kedua, fenomena anak pendek atau gagal tumbuh (stunting) saat ini tercatat 37,2 persen, meningkat dari 35,6 persen pada 2010. Secara teknis kesehatan, anak pendek adalah salah bentuk output dari kurang gizi kronis yang disebabkan asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama. Tingkat kesejahteraan ibu hamil dan menyusui jadi amat krusial karenastunting terjadi dari janin masih dalam kandungan dan baru tampak saat anak berusia 2 tahun. Sebanyak 20 provinsi memiliki prevalensi anak pendek yang lebih buruk daripada rata- rata nasional, di antaranya NTT, Sulawesi Barat, NTB, dan Papua Barat.

Ketiga, masalah gemuk pada anak umur 5-12 tahun cukup tinggi, yaitu 18,8 persen, terdiri dari gemuk 10,8 persen, sangat gemuk (obesitas) 8,0 persen, yang merupakan beban gizi tersembunyi karena kualitas asupan pangan dan gizi cenderung tak baik. Sebanyak 15 provinsi dengan prevalensi obesitas di atas rata-rata nasional, di antaranya Kalimantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, dan Bali.

Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) dengan sampel berbeda selama tiga tahun terakhir juga memperkuat fenomena kualitas akses pangan dan gizi melalui pendataan melalui Riskesdas dan Susenas. Angka prevalensi anak balita gizi buruk atau berat badan kurang pada 2016 masih tercatat 17,8 persen, menurun dari 19,3 persen pada 2014. Anak balita stuntingpada 2016 masih 27,5 persen walau telah menurun dari 28,9 persen pada 2014.

Angka obesitas pada anak balita juga menurun dari 5,5 persen pada 2014 menjadi 4,3 persen pada 2016. Tentu, salah kaprah jika ada pejabat yang mengklaim terjadi penurunan angkastunting sangat signifikan dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 27,5 persen pada 2016. Demikian pula dengan indikator kualitas akses pangan dan kualitas gizi lainnya. Dua sumber data Riskesdas dan PSG tidak dapat diperbandingkan begitu saja karena satuan sampelnya juga berbeda.

Konsekuensi pembangunan ekonomi

Bukti-bukti ilmiah telah amat kuat bahwa anak balita yang mengalami masalah gizi buruk, seperti berat badan kurang, kurus (wasting), stunting dan obesitas, kelak akan mengalami gangguan kesehatan serius.

Penyakit degeneratif, seperti stroke, jantung, diabetes, dan darah tinggi, makin banyak terjadi—baik di perkotaan maupun di perdesaan—adalah konskuensi persoalan akses pangan, kualitas gizi, pola asup dan pola hidup tidak sehat sejak usia dini. Prevalensi obesitas pada orang dewasa cukup tinggi, 26,6 persen, juga dapat berujung pada penyakit degeneratif yang amat bahaya, membawa konsekuensi ekonomi yang tak kalah serius.

Persoalan akses pangan dan kualitas gizi tak terpisahkan dari perubahan gaya hidup modern, konsumsi pangan cepat saji, atau pertumbuhan industri pangan yang juga pesat, dengan iklan promosi amat gencar nyaris tanpa kontrol. Teknologi pangan mampu menghasilkan pangan padat energi, mengandung gula, garam, dan lemak berlebih. Porsi pangan berlebih dan minimnya aktivitas fisik juga berpotensi mengganggu metabolisme tubuh dan meningkatkan risiko penyakit degeneratif berbahaya yang jelas akan menurunkan produktivitas tenaga kerja.

Bahkan, persoalan penyakit tidak menular dan amat degeneratif ini telah menjadi beban berat bagi sistem jaminan kesehatan nasional saat ini. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengalami defisit Rp 9 triliun pada 2017, sedikit menurun dari defisit Rp 9,7 triliun pada 2016.

Sebagai penutup, kualitas akses pangan dan status gizi yang diderita saat ini adalah buah kumulatif dari keabaian pemerintah dan sektor swasta dalam memahami keterkaitan pangan dan gizi dengan sekian macam dimensi ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, dan lain- lain. Pembangunan ekonomi pangan masa depan perlu melakukan langkah konkret untuk memperbaiki pola konsumsi pangan sesuai falsafah gizi seimbang, perilaku sadar gizi, serta aktivitas fisik dan kesehatan. Pemerintah perlu memperbaiki akses dan mutu pelayanan gizi serta sistem kewaspadaan pangan dan gizi yang pernah menjadi andalan pada masa Orde Baru.

Sekali lagi, strategi kedaulatan pangan bukan semata urusan peningkatan produksi atau swasembada pangan saja. Indonesia membutuhkan strategi pembangunan ekonomi pangan yang lebih komprehensif perbaikan pangan, pertanian, gizi, dan kesehatan masyarakat.