Era globalisasi diwarnai perubahan serba cepat, penuh ketidakpastian serta kompetisi yang sangat ketat. Pada sisi lain, terjadi akselerasi peningkatan jumlah penduduk dunia, sebaliknya terjadi pula penipisan energi dan sumber daya alam (SDA) dalam skala global, maka moto di atas jadi kian relevan. Hanya bangsa yang kuat dalam budaya, ekonomi, dan politik yang akan mampu bertahan.

Dalam konteks ini faktor budayalah yang jadi penentu. Jepang, Korea, Taiwan, dan Singapura berhasil jadi negara maju sebab budayanya kuat. Utamanya karena disiplin, kerja keras, produktivitas tinggi, serta ikatan kebangsaannya yang kokoh.

Simposium yang dibuka Presiden Joko Widodo pada 20 November lalu itu dimaksudkan untuk menjawab tantangan bangsa di atas, dengan cara membenahi budaya bangsa, melakukan pembangunan karakter secara terencana dan terarah. Hal ini sejalan dengan konsep "revolusi mental" yang digulirkan pemerintah.

Potret keindonesiaan

Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan (terbesar di dunia), terletak pada "posisi silang" yang amat strategis, serta amat kaya SDA. Konsekuensi dari ciri geografis ini adalah kesulitan dalam kontrol wilayah dan mewujudkan keseimbangan ekonomi serta beredarnya berbagai kepentingan asing. Pergesekan antarkepentingan asing ataupun dengan kepentingan nasional dapat melahirkan berbagai macam konflik dan ancaman bagi Indonesia.

Secara demografis, jumlah penduduk kita besar (nomor empat terbesar di dunia), dengan kebinekaan luas-multidimensi, dalam ras/etnik, agama, bahasa, adat istiadat, sosial, ekonomi, serta  penyebaran penduduk yang belum proporsional. Dalam ciri demografis ini, selain tersimpan berbagai potensi bangsa, juga terkandung potensi konflik dan ancaman yang cukup besar.

Dengan demikian, secara natural/kodrati dapat dikatakan bahwa di Indonesia tak ada satu aspek pun yang tidak mengandung potensi konflik sekaligus ancaman. Apabila sistem dan praktik pemerintahan negara kita tidak sesuai dengan realitas lingkungan strategis yang dihadapi, serta keliru dalam mengelola kebinekaan, niscaya secara internal bangsa ini akan selalu dibayangi ancaman perpecahan, dan secara eksternal negara ini hanya akan menjadi mainan para kapitalis negara kuat/maju.

Kita patut bersyukur, para bapak bangsa/pendiri negara dengan cerdas, arif, dan visioner telah melahirkan Pancasila sebagai pandangan hidup sekaligus perekat bangsa, sebagai dasar negara, serta pedoman menuju cita-cita kemerdekaan untuk menjadi bangsa-negara yang "merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur". Menuju ke sana, mutlak kita harus menggulirkan dua upaya akbar, yaitu mewujudkan integrasi internal hingga dicapai harmoni dalam kebinekaan serta melakukan adaptasi eksternal guna pembangunan nasional.

Untuk itu, para pendiri negara merumuskan fungsi-fungsi pemerintahan negara sebagaimana rumusan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945, yang didasarkan pada Pancasila. Namun, setelah 72 tahun merdeka, kita belum juga dapat mencapai cita-cita mulia tersebut. Kecenderungannya kini justru memperlihatkan potret ikatan nasional kita yang kian bertambah longgar, potensi konflik yang bertambah lebar, SDA terkuras tanpa meneteskan kemakmuran yang berarti, dominasi modal asing, serta korupsi yang merajalela.

Secara kultural, bangsa Indonesia memiliki keunggulan, seperti gotong royong, kekeluargaan, kebersamaan, musyawarah, serta toleransi yang tinggi. Namun, juga memiliki kelemahan sebagaimana diungkapkan sosiolog-antropolog Koentjara Ningrat, yaitu sikap: "feodal,minder atau rendah diri, malas, munafik, dan suka mencari kambing hitam". Kelemahan budaya ini jadi faktor penghambat kemajuan serta potensial menimbulkan konflik internal. Dalam kekinian, justru kita dapati erosi keunggulan budaya, sebaliknya malah terjadi promosi kelemahannya.

Mengapa hal itu terjadi? Masalah utamanya karena kita alpa dengan pembangunan karakter, lalai dengan upaya pendidikan/penanaman jiwa Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, hingga terjadi kerusakan budaya. Dalam era reformasi, kita telah membuka lebar pintu kebebasan, lalu memasuki atmosfer politik/demokrasi liberal, memberi karpet merah bagi masuknya budaya asing, termasuk radikalisme, dan terjadilah percepatan kerusakan budaya kita.

Melihat fenomena kebangsaan-kenegaraan di atas, kita perlu segera bergegas membenahi diri, melakukan reorientasi dan harus berani berubah. Tepatnya, harus kembali ke Pancasila dan secara konsisten menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat-berbangsa-bernegara. Jika tidak, Indonesia terancam kepunahan.

Pembangunan budaya

Simposium yang digelar 20-21 November 2017 bertujuan untuk merumuskan konsep "Strategi Pembangunan Budaya", atau pembangunan karakter hingga kembali didapatkan keunggulan yang jadi syarat mutlak dan paling utama untuk menjadi bangsa yang kuat. Manakala budaya bangsa kita kuat, niscaya akan mudah mencapai kekuatan di bidang politik dan ekonomi hingga akan mampu survival, siap bertarung dalam suasana kompetisi global yang keras dan liar, yang oleh Herbert Spencer disamakan dengan proses seleksi alamnya teori Darwin.

Strategi pembangunan budaya yang akan dibangun bersifat multidisipliner dan terpadu. Bermuatan konsep pembangunan karakter berikut langkah-langkah penahapannya dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.

Konsep strategi pembangunan budaya ini  direncanakan tuntas dirumuskan pada  akhir Desember 2017. Selanjutnya, diharapkan akan menjadi masukan sekaligus diimplementasikan oleh pemerintah. Semoga!