Semangat berbahasa Indonesia sudah menyala pada Wim K Liyono dalam surat di Kompas (18/10) yang menyoal usulan nama "Kalayang" untuk Skytrain di Bandara Soekarno-Hatta.
Wim sudah sepakat dengan penggunaan kata layang yang cukup menjelaskan sarana transportasi itu bergerak melayang di atas permukaan tanah. Unsur penjelas itu perlu sebagai pembeda karena ada yang tak bergerak melayang, seperti kereta rel diesel dan kereta rel listrik yang biasa disingkat KRD dan KRL.
Betul apa yang dikatakan Wim bahwa moda Skytrain yang dibangun PT Angkasapura II itu bukanlah kereta yang berapi-api. Meskipun tak berapi, moda penghubung antar-terminal bandara itu bisa disebut kereta api, seperti halnya KRD dan KRL. Yang seperti itu bukan kecelakaan bahasa, melainkan bentuk salah kaprah saja.
Khusus untuk Skytrain, ungkapan kerata api layang boleh jadi kurang cocok. Sebutlah kereta layang atau—pendeknya—kalayang dengan suku pertama ka yang diambil dari huruf awal dan huruf akhir pada kata kereta itu. Pola pemendekan seperti itu produktif dalam bahasa Indonesia, misalnya ka untuk sebutankepala dalam suatu organisasi.
Semangat pada Kalayang sebagai nama fasilitas layanan publik itu menunjukkan jati diri dan daya saing karena bangsa Indonesia ternyata tak mudah loyo, lelah, lemas, atau lunglai takluk di hadapan bahasa asing. Sudah saatnya perintah Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 mengenai simbol-simbol negara-bangsa itu ditegakkan. Amanat UU 1945 mutlak perlu dijalankan.
Sebaiknya pertahankan nyala semangat Wim untuk berbahasa Indonesia. Nyala itu meredup justru ketika Wim menyarankan agar bentuk bahasa asing train ditulis utuh apa adanya. Padankan bentuk asing itu dengan kereta—bukan kereta api--dalam bahasa Indonesia. Tak pernah ada padanan kata yang sempurna untuk dua bahasa yang berbeda. Untuk dua bahasa yang dianggap mirip—bahasa Indonesia dan bahasa Melayu—kata kereta pun dimaknai berbeda. Sudah tak lazim ada kereta yang berupa mobil di Indonesia. Di negara tetangga, kata itu mencakupi makna berbagai jenis kendaraan; di Indonesia spesifik untuk moda berkendara tertentu yang khas budaya Indonesia.
Nah, penamaan Kalayang merupakan upaya nyata membangun budaya itu agar bangsa Indonesia makin berjati diri dan berdaya saing. Bahasa asing tak perlu dimusuhi, tetapi dikuasi sebagai strategi kebahasaan memajukan budaya Indonesia. Gunakan Kalayang alih-alih Skytrain.
Maryanto, Bekerja pada Badan Bahasa Kemdikbud
Tanggapan Airy Rooms
Menanggapi keluhan Bapak Sebastian Djoni Syukur di "Surat kepada Redaksi" edisi 26 November lalu, "Tiket dan Dana Lenyap", melalui rubrik ini kami hendak memberikan klarifikasi atas hal tersebut.
Dapat kami sampaikan bahwa Airy telah melakukan pemeriksaan terhadap kendala yang dialami oleh Bapak Sebastian Djoni Syukur. Selanjutnya, Airy juga telah menghubungi secara langsung Bapak Sebastian Djoni Syukur untuk memberikan penjelasan serta penyelesaiannya.
Mohon maaf atas ketidaknyamanan yang Bapak Sebastian alami dan terima kasih atas saran dan kritik yang disampaikan kepada Airy.
Saat ini pendanaan kembali telah kami proses kembali dan sudah masuk ke rekening Bapak Sebastian. Jika Bapak Sebastian masih memiliki pertanyaan terkait dengan hal ini, silakan hubungi kami di layanan 24 jam pelayanan pelanggan melalui surel cs@airyrooms.comatau telepon 0804 111 2479. Kami selalu siap membantu.
Terima kasih atas kepercayaan Bapak Sebastian dalam menggunakan layanan perusahaan kami. Kepuasan dan masukan pelanggan adalah inspirasi kami untuk selalu memberikan layanan yang terbaik.
Natan Sagari Maris, Communications Officer
NYIAgeng Serang
Kreatif juga Tukiman Tarunasayoga dalam "Surat kepada Redaksi" edisi 29 November lalu.
Nama "Bandara NYIAgeng Serang" yang diusulkannya terasa "pas" juga. Jadi, sudah ada tiga nama yang diusulkan, yakni Diponegoro, Daradjatun, dan NYIAgeng Serang. Terserah warga DIY sajalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar