DIDIE SW

credit="didie sw

Menjelang akhir tahun keempatnya, Jaminan Kesehatan Nasional masih bergelut dengan defisit anggaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang meningkat hingga Rp 9 triliun pada tahun 2017. Usulan mutakhir BPJS-K untuk membagi beban biaya (cost sharing) bersama peserta untuk delapan penyakit katastrofik yang dianggap memakan biaya tinggi tergolong mengejutkan.

Penggunaan istilah penyakit katastrofik ini sendiri rancu. Tidak pernah ada kesepakatan tentang definisi penyakit katastrofik sebelumnya dan ambang batas (threshold) yang dipakai serta hanya dipandang dari perspektif BPJS-K.

Alih-alih hanya menyodorkan angka gelondongan dan mempresentasikannya ke mana-mana, BPJS-K semestinya menampilkan analisis lebih detail yang mampu meyakinkan bahwa dana sebesar itu untuk beberapa penyakit terbukti secara ilmiah tidak efisien dan tidak efektif dari sisi biaya (cost-effective). Selain itu juga analisis detail mengenai berapa batasan standar angkanya ketika memutuskan sesuatu mengharuskan adanya pembagian beban biaya (co-payment).

Jika tidak, jelas langkah pembagian beban dengan peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu menyesatkan dan hanya akan menegaskan bahwa angka katastrofik itu memang sudah semestinya ditanggung oleh negara untuk memastikan terpenuhinya jaminan sosial warga negaranya. Sungguh aneh ketika negara berlepas diri dan membiarkan warga negaranya kembali harus menanggung biaya katastrofik rumah tangganya, terjerembap dalam kemiskinan, dan semakin terpuruk kondisi ekonominya dengan penyakit yang tidak tertangani. Ini mengingkari tujuan dasar dari diimplementasikannya JKN.

BPJS-K dapat berkilah bahwa yang dibebani cost sharing adalah peserta dari golongan mampu, bukan penerima bantuan iuran (PBI). Sepintas hal tersebut masuk akal. Namun, jika melihat gambaran utuhnya, usulan ini berpotensi bias arah dari filosofi awal JKN. Masyarakat miskin sudah ditanggung biaya kesehatannya secara penuh oleh negara, baik dengan skema PBI maupun Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) di masa lalu.

Sementara masyarakat yang kaya mampu untuk mencari proteksi tanpa bantuan siapa pun, bahkan pergi berobat ke luar negeri jika perlu. Masyarakat menengah yang tidak tergolong miskin justru merupakan kelompok paling rentan. Sekali mereka terdiagnosis menderita penyakit kronik berbiaya tinggi, risiko jatuh ke jurang kemiskinan (impoverishment) meningkat dan akan menambah jumlah rumah tangga miskin di Indonesia.

Pusat lepas tangan?

Membebankan cost sharing terhadap delapan penyakit—jantung, kanker, gagal ginjal, stroke, talasemia, sirosis hati, leukemia, dan hemofilia—berimplikasi lebih besar dari sekadar tanggungan biaya yang selama ini dibayar penuh oleh BPJS-K.

Dengan perspektif sosial, mereka yang menjalani pengobatan penyakit tersebut tidak hanya harus menghadapi biaya medis yang tinggi, tetapi juga biaya nonmedis—transportasi, makan, suplementasi, bahkan akomodasi—dan biaya tidak langsung (indirect costs) akibat potensi kehilangan penghasilan, baik penghasilan dirinya maupun anggota keluarga yang menemani. Mengembalikan beban negara kepada warga negaranya hanya akan menambah masalah finansial warga negara. Ini yang harus dipertimbangkan secara masak-masak oleh negara dengan tidak lagi memakai kacamata kuda pengelola asuransi.

BPJS-K juga akan kehilangan arah dalam menuntaskan tujuannya mencapai cakupan penuh pada tahun 2019. Usulancost sharing ini menjadi disinsentif bagi calon peserta, khususnya dari kelompok mandiri bukan pekerja. Data November 2017 menunjukkan tren negatif.

Bukannya naik, cakupan untuk kelompok ini menurun sebesar 0,7 persen dibandingkan awal tahun 2017 dan turun 2 persen dibandingkan tahun 2016. Ini semakin mengkhawatirkan ketika BPJS-K yang berkewajiban penuh meningkatkan cakupan populasi jaminan sosial belum mampu menelurkan inovasi yang efektif untuk menjangkau kelompok ini.

Pada awal implementasinya, JKN memang digadang-gadang tidak akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan membiayai sendiri operasionalnya dari dana yang dihimpun. Akan tetapi, pemerintah pusat juga tidak menunjukkan niat positif. Angka iuran PBI yang dibayarkan belum sesuai dengan angka perhitungan aktual dan akan terus menjadi kesan negatif bagi pemerintah pusat atas ketidakberpihakannya pada kebutuhan dasar warga negara.

Kementerian Keuangan bahkan sempat meminta komitmen pemerintah daerah agar membantu lebih banyak lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Padahal, dibandingkan tahun 2016, peserta PBI yang didanai APBD meningkat sebesar 50 persen, justru ketika jumlah peserta yang didanai oleh APBN hanya naik 1,6 persen. Benar bahwa dana dan rekrutan peserta PBI yang didanai APBD masih dapat ditingkatkan, tetapi tidak lantas menafikan tanggung jawab peningkatan signifikan dari APBN.

Pemerintah dapat saja berkilah bahwa utilisasi layanan kesehatan selama ini masih didominasi oleh kalangan mampu dan untuk kalangan miskin dana tidak terserap secara efisien. Studi mutakhir juga menjelaskan fenomena itu. Meski akses kalangan miskin terhadap layanan kesehatan meningkat, utilisasi masih didominasi oleh kalangan mampu, sebagaimana ditunjukkan dengan indeks konsentrasi positif (pro-rich).

Namun, hal ini mengindikasikan kelemahan lain. Kelompok miskin kesulitan mengakses layanan kesehatan karena ketersediaan fasilitas dan sumber daya kesehatan juga tidak merata. Kita tidak lagi sekadar berbicara kesehatan gratis, tetapi apakah mereka masih kesulitan mengakses secara geografis, pergi dengan biaya transportasi mahal, perjalanan panjang, atau bahkan tiadanya dokter dan fasilitas.

Kebijakan wajib kerja dokter spesialis dengan menyebar dokter-dokter spesialis ke daerah terpencil tampak menjanjikan pada awal 2017. Namun, ini membutuhkan evaluasi mendetail. Apakah benar kebijakan tersebut memperbaiki akses utilisasi layanan kesehatan dengan tepat dan dibarengi dengan ketersediaan fasilitas yang adekuat? Justru di sini peran pemerintah daerah harus dimaksimalkan dan didorong untuk terus meningkatkan ketersediaan dan kualitas, dan bukan sekadar menambah anggaran cakupan populasi.

Transparansi

Negara sendiri harus fokus pada bagaimana memenuhi kebutuhan pendanaan jaminan sosial. Pajak dosa dari cukai rokok dapat menjadi alternatif yang baik meskipun harus diposisikan secara bijak. Jangan sampai kita terjebak pada lingkaran setan: bahwa untuk memenuhi pendanaan kesehatan, distribusi rokok yang jelas merusak kesehatan dibiarkan bebas, penerimaannya digenjot maksimal, dan pada akhirnya kembali menghasilkan beban kesehatan yang meningkat.

BPJS-K juga harus menunjukkan itikad baiknya dalam efisiensi anggaran operasional. Sampai saat ini, sebagaimana ditengarai oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional, BPJS-K dinilai tidak transparan dengan kondisi keuangannya, baik terkait dana operasional maupun penanganan klaim. Ini yang juga berkontribusi pada munculnya fraud dalam layanan kesehatan. Selain masih beradaptasi dengan pola pembayaran layanan kesehatan yang baru dan ketidakpuasan terhadap angka dalam sistem Indonesia-Case Based Groups (INA-CBGs), fraudjuga dipicu dari ketidakterbukaan pengelolaan klaim oleh BPJS-K dan hambatan koordinasi teknis di lapangan yang rentan berubah antarwaktu dan antarpersonal.

Tentu kita berharap JKN berjalan dengan baik sesuai dengan filosofi awalnya untuk melindungi warga negara secara optimal. Jangan sampai itikad yang baik diejawantahkan dalam langkah yang keliru dan hilang arah.

Ahmad Fuady