Pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla berjanji kepada masyarakat Indonesia akan menjalankan sembilan agenda prioritas ini jika terpilih sebagai presiden dan wakil presiden. Program digagas untuk menunjukkan peta jalan (roadmap) menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.  

Salah satu cita yang menarik perhatian saya adalah cita ke-3: membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Apa yang dibuat pemerintahan Jokowi-Kalla untuk membangun Indonesia dari pinggiran?

Keberpihakan 

Ada dua hal yang jelas menampakkan keberpihakan Jokowi-Kalla terhadap rakyat di batas terluar republik ini. Pertama, ketika Jokowi mendeklarasikan kesamaan harga BBM di Papua dengan wilayah lain di Indonesia.

Kebijakan satu harga BBM jelas sekali merupakan kebijakan yang datang dari hati, bukan atas pertimbangan rasional, ekonomis, dan matematis. Banyak ekonom dan pihak yang berpikir rasional ekonomis menganggap kebijakan Jokowi ini tidak berpijak pada akal sehat.

Yang kedua adalah kebijakan Jokowi yang habis-habisan membangun infrastruktur di luar Jawa dengan dana APBN. Banyak pihak menganggap kebijakan ini sebagai kebijakan bunuh diri. 

Memang bagi sebagian orang, hidup ini adalah arena untuk mencari untung bagi diri sendiri, keluarga, dan sahabat-sahabatnya saja. Jarang yang berpendapat bahwa kebahagiaan itu tidak mesti kita nikmati sendiri. Kebahagiaan akan menjadi lebih lengkap kalau orang banyak ikut mereguknya.

Banyak teori filsafat yang mengkaji manusia dalam hal tubuh dan jiwa. Memang yang tampak dari manusia, seperti halnya binatang, adalah rambut atau bulu, kulit, kuku, tulang, daging, urat, dan darah. Kita sering tak menyadari bahwa di samping bagian tubuh yang dapat diraba dan dilihat itu, manusia punya perasaan yang tak dapat diendus oleh panca-indera. 

Melalui perasaan inilah output dari aktivitas seorang manusia termanifestasikan. Dalam wujud seperti apa? Bisa dalam bentuk senang, marah, susah. Tetapi, terkadang manifestasi ini bisa juga terekam dan berwujud nyata, seperti air mata, misalnya.

Selama ini pemerintah jarang sekali menganalisis keberhasilan pembangunan yang menyangkut perasaan warganya. Sudah berpuluh-puluh tahun warga Papua membeli harga BBM hingga Rp 80.000 per liter. Sementara kita di daerah lain membeli dengan harga Rp 6.450.

Pertanyaan Golden Rule: apakah kita mau membeli BBM seharga Rp 80.000 dan orang Papua membeli Rp 6.450? Kalau kita tidak mau, demikian juga orang lain, karena kita mempunyai perasaan dan air mata yang sama.

Bereskan pendidikan

Saya berpendapat, dalam sisa jabatannya sebagai presiden, di samping masalah BBM satu harga dan infrastruktur ini, langkah selanjutnya yang harus dilakukan oleh Presiden Jokowi adalah segera membereskan masalah pendidikan, terutama pendidikan dasar dan menengah. 

Kalau berhasil mendeklarasikan BBM satu harga di seluruh Indonesia, sudah saatnya Presiden mendeklarasikan kualitas yang merata dan meningkat terhadap pendidikan dasar dan menengah di seluruh Indonesia.  

Agar fokus dan bisa dinilai keberhasilannya, harus ada langkah praktis dari pemerintah. Saya menyarankan, dari sekian banyak mata pelajaran yang harus diberi perhatian, pemerintah hendaknya mencari jalan pintas dan fokus pada dua pelajaran saja, yaitu Matematika dan Bahasa Inggris. Untuk mata pelajaran lain, biarlah berjalan seperti sekarang (current state).

Kita selama ini terlalu banyak membuang waktu, energi, dan dana untuk mengurus kurikulum, pendidikan karakter, dan seterusnya. Akibatnya dana 20 persen dari APBN yang sangat banyak itu habis terkuras untuk urusan yang sangat sulit kita nilai keberhasilannya dan tidak berdampak pada kepintaran anak.

Bagaimana kita menilai bahwa pendidikan karakter untuk anak-anak kita telah sukses? Parameter atau alat ukur apa yang bisa kita gunakan?

Pemerintah sebaiknya fokus terhadap dua mata pelajaran saja karena dua pelajaran itu adalah dasar dari semua ilmu. Tanpa penguasaan dua mata pelajaran ini, generasi yang tercipta adalah generasi rapuh dan tidak siap menyambut era yang penuh dengan persaingan bebas. Mereka akan sulit mendapat pekerjaan.

Hasil studi Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) menyatakan bahwa kemampuan matematika pelajar kita sangat rendah. Kita tahu, tanpa memahami matematika, anak-anak akan sangat sulit mengerti ilmu lain, seperti fisika, ekonomi, biologi, dan kimia. 

Sementara bahasa Inggris sudah sangat jelas kepentingannya. Dampak bodohnya kita terhadap penguasaan bahasa Inggris ini sangat terasa, bahkan sampai jenjang tertinggi pada dunia akademik, yaitu para profesor. Ketertinggalan kita dalam hal publikasi internasional dari Malaysia penyebab utamanya adalah kekurangmampuan para profesor dan ilmuwan kita menulis dalam bahasa Inggris.

Kesalahan sistem

Apakah ini kesalahan para profesor kita? Bukan. Ini kesalahan sistem pendidikan kita. Entah karena keterbatasan, entah karena kesalahan sejarah, yang jelas kita sepertinya sangat anti dengan bahasa asing. 

Saya heran sekali, berdasarkan diagnosis, kemampuan matematika dan bahasa Inggris para siswa kita sangat kurang. Namun, mengapa kita menghamburkan dana pendidikan untuk pendidikan karakter? Kalau dalam terminologi kedokteran, ini namanya salah minum obat. Akibatnya, arang habis, besi binasa.

Apakah dengan mengutamakan dua mata pelajaran tersebut, nasionalisme anak-anak kita akan tergerus?

Di sinilah masalahnya: kita selalu memberi pertanyaan dan pernyataan ini kepada anak-anak yang bersekolah di sekolah-sekolah negeri. Namun, terhadap anak-anak orang kaya dan berpunya, kita tak pernah mempersoalkannya. Anak-anak orang berpunya bersekolah di sekolah-sekolah swasta yang sangat memperhatikan dua pelajaran ini, bahkan jika perlu mereka menyekolahkan anaknya ke Singapura, Australia, atau Amerika.

Untuk apa? Agar anak-anak mereka mempunyai kompetensi tinggi. Lalu apakah anak-anak orang berpunya ini tergerus nasionalismenya? Mengapa kita tidak bertanya? Kita tidak fair dan berlaku tidak adil terhadap mayoritas anak bangsa kita.

Lalu apa yang harus kita lakukan? Pemerintah perlu memetakan kapasitas guru-guru SD, SMP, dan SMA dalam dua bidang tersebut. Di tempat yang kualitasnya rendah, pemerintah segera memasok guru yang sesuai. Guru yang kurang kapasitasnya difasilitasi untuk meningkatkan kemampuan.  

Bencana kemanusiaan

Pemerintah harus menganggap bahwa situasi dan kondisi mutu pendidikan dasar dan menengah sekarang dalam keadaan darurat. Pemerintah pusat dan daerah (dari gubernur sampai kepala desa) serta masyarakat harus bahu-membahu menyelesaikan bencana kemanusiaan ini.

Pemerintah daerah di unit yang terkecil tak perlu malu mengakui kelemahannya bahwa kualitas pendidikan dasar dan menengah di daerahnya masih rendah dan perlu perbaikan. Selama ini dinas pendidikan di level kabupaten/kota merasa malu kalau banyak yang tak lulus ujian nasional. Akibatnya, semua jalan diterabas demi pencitraan dan data statistik yang baik.

Dari mana dana untuk mengatasi bencana kemanusiaan ini? Dananya bersumber dari APBN yang 20 persen itu. Dana masyarakat ini harus digunakan dengan efektif, bukan untuk hal-hal yang sangat sulit dievaluasi. 

Di tempat-tempat yang terpencil dan terluar Indonesia, kalau situasinya belum memungkinkan dijalankan secara normal, mungkin perlu memakai sistem wajib militer kepada putra-putri terbaik untuk menjadi guru. 

Negara kita sudah lama sekali bermain-main dengan kualitas pendidikan dasar dan menengah. Dan kita juga tidak perhatian terhadap anak-anak bangsa yang putus sekolah.

Sudah saatnya di masa pemerintahan Jokowi-Kalla, bencana kemanusiaan ini diakhiri.