KOMPAS/HANDINING

.

Apabila Anda sebagai wisatawan di Jerusalem, pemandu wisata akan mengatakan bahwa di negeri ini tiga pemeluk agama samawi-Islam, Yahudi, dan Kristiani-hidup berdampingan. Di Gereja Bethlehem, sebuah kursi di deretan terdepan selalu disediakan untuk Yasser Arafat, pemimpin PLO, yang beragama Islam, ketika di gereja itu diselengarakan peringatan hari Natal.

Karena itu, ketika berpidato di PBB, negara Palestina merdeka yang diperjuangkan Arafat bukanlah negara agama, melainkan negara sekuler yang akan menjamin semua umat beragama bebas menjalankan agamanya. Sementara ketika berkunjung ke Vatikan, pada saat jamuan makan siang prasmanan, seorang pastor menyapa kami dalam bahasa Jawa, "Bapak dahar menapa?"-Bapak makan apa?. Ternyata sang pastor itu pernah tinggal di Solo.

Dua pengalaman rohani itu selalu teringat ketika di Tanah Air masalah kerukunan antar-umat beragama masih sering jadi persoalan. Dari masalah penyiaran (dakwah) agama sampai sengketa rumah ibadah. Tidak saja antar-umat beragama, di internal umat Islam sendiri ada konflik pendirian masjid.

Padahal, ketika berada di Washington, AS, kami pernah shalat Jumat di Gereja Anglikan. Altar gereja itu dipinjamkan khusus untuk shalat Jumat. Jemaahnya dari beberapa negara. Demikian juga ketika menengok Cak Nur (Nurcholish Madjid) di Singapura (2001), teman sekamar kami di hotel yang non-Muslim justru mengingatkan kami saatnya shalat. Atau, saat anak seorang sahabat non-Muslim yang menikahi gadis Muslim, ketika hendak memberi mahar, ia bertanya tentang mahar seperangkat alat shalat itu apa saja.

Semua pengalaman rohani itu selalu melengkapi ingatan kami, mengapa masalah suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), serta ketidakharmonisan kehidupan antar-umat beragama masih saja menyelimuti lingkungan kita?

Akar masalah

Akar masalah konflik antar/intern-umat beragama sesungguhnya memiliki akar masalah yang sama. Setiap pemeluk agama pasti meyakini agama yang dipeluknya yang paling benar, dan wajar kalau ia selalu berusaha agar orang lain memeluk dan mengamalkan agamanya juga. Niatnya baik, yaitu mengajak orang ke arah agama yang benar.

Akan tetapi, kalau berlebihan bisa mengesankan ekstremisme, bahkan radikalisme. Tidak saja dengan umat beragama lain, tetapi juga antar-sesama umat seagama. Sebab, pada realitasnya, ada masyarakat yang sudah memeluk agama lain, atau memiliki pemahaman yang berbeda, yang juga telah yakin dengan pengamalan agama yang dipeluknya.

Oleh karena itu, dalam upaya mengajak orang lain memeluk agama (dakwah), harus menenggang perasaan orang lain. Tidak boleh dengan paksaan, apalagi kekerasan. Kita harus mengikut ajaran bahwa "agamaku, agamaku; agamamu, agamamu". Perbedaannya terutama terkait hubungan dengan Tuhan (hablum minallah), sedangkan dalam kehidupan duniawi, setiap agama mengajarkan umatnya untuk hidup harmoni tanpa membedakan agama masing-masing.

Kehidupan yang harmoni itu hanya dapat tercipta ketika kita memahami etika hubungan antar-manusia, baik yang tertulis (hukum) maupun yang tidak, yaitu nilai-nilai yang diakui bersama sebagai kepatutan.   Pada akhirnya, hal ini terkait perilaku manusia atau budi pekerti.

Di sinilah peran pendidikan budi pekerti, yang perlu ditanamkan sejak sedini mungkin.    Budi pekerti yang baik adalah  perilaku yang dapat menghargai orang lain bahwa orang lain itu bisa berbeda. Menghargai perbedaan, dengan demikian, adalah perilaku/budi pekerti yang baik. Hal ini dapat diwujudkan ketika kita juga dapat memahami kepentingan orang lain dengan segala aspek kehidupnnya, termasuk kehidupan beragamanya.

Misalnya, terkait konflik pendirian rumah ibadah, yang bisa berakar dari pemahaman yang tidak tepat terhadap agama lain. Meskipun di suatu daerah umat Islam mayoritas, mengapa di daerah itu jumlah gerejanya lebih banyak daripada masjid?  Hal ini tak lepas dari kebutuhan obyektif umat Kristiani, di mana diperlukan adanya gereja Katolik dan beberapa gereja Protestan sehingga ada ruko dan mal yang dimanfaatkan sebagai gereja.

Bagi masyarakat awam, hal ini dapat menimbulkan kecemburuan sosial. Apalagi kalau ada provokatornya. Mengapa tidak ada rumah ibadah yang dapat dipinjam beribadah agama lain, sebagaimana gereja Anglikan di Washington, yang digunakan untuk shalat Jumat? Bukankah, menurut riwayat, Nabi Muhammad SAW juga pernah mengizinkan tamunya yang beragama Nasrani beribadah di masjid?

Dialog antar-umat

Gambaran sebagaimana dikemukakan di atas, ternyata bersifat global. Karena itu, langkah-langkah untuk meredam konflik antar-umat beragama dilakukan di seluruh dunia. Indonesia, dalam hal ini, justru mengesankan tertinggal. Di masjid Al Hikmah di New York, seusai shalat Jumat, pernah diselenggarakan silaturahim dengan pembicara tiga pemuka agama: Yahudi (rabbi), Katolik (pastor), selain-tentu saja-imam Masjid Al Hikmah, New York, itu sendiri. Kepada para jemaah masjid disampaikan pesan betapa penting membangun kehidupan yang harmoni antar-sesama umat beragama, dengan saling menghargai antar-sesama umat beragama.

Di Indonesia, upaya-upaya menumbuhkan kerukunan antar-umat beragama sebenarnya juga telah dilakukan. Ada Forum Kerukunan Umat Beragama, di mana unsur pimpinan majelis agama-agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Khonghucu) di pusat dan daerah menyepakati duduk bersama, berdialog dalam sebuah forum, membicarakan masalah-masalah keagamaan yang mereka hadapi.

Pengalaman konflik di Maluku awal 2000-an dan beberapa daerah lain setidaknya bisa diperkecil dan bahkan diatasi. Selain itu, juga ada upaya-upaya hukum, misalnya dalam pendirian sebuah rumah ibadah. Sebuah organisasi masyarakat, Badan Interaksi Sosial Masyarakat (Bisma), di mana tokoh-tokoh umat beragama duduk bersama dalam satu organisasi yang bertekad mewujudkan kehidupan antar-umat beragama yang harmoni, juga pernah berdiri. Namun, kini organisasi ini sudah tidak terdengar lagi suaranya.

Oleh karena itu, ketika akhir- akhir ini kerisauan masalah SARA-khususnya agama-timbul kembali, sudah saatnya para pemuka agama menyerukan toleransi antar-umatnya, baik dalam perilaku/keteladanan maupun dalam khotbah-khotbah di rumah ibadah semua agama. Tidak mudah memang, disebabkan dominannya aspek politik, Pilkada 2018 dan Pemilu 2019, yang menyertai masalah SARA yang muncul akhir-akhir ini. Karena itu, sikap yang sama perlu dilakukan oleh para elite politik dan para penyelenggara negara agar benih-benih konflik berakar masalah agama dapat dihindari, yakni dengan menghayati Pancasila yang telah disepakati bersama sebagai ideologi bersama bangsa. Hanya dengan begitu, masalah agama tak menodai toleransi sesama umat beragama.

Sulastomo