Itu artinya, mekanisme baru penyaluran bantuan pangan pengganti raskin/rastra itu mencakup 67,7 persen rumah tangga sasaran. Pemerintah yakin skema baru itu bakal berjalan lancar setelah uji coba di 44 kabupaten/kota tahun ini.

Skema bantuan pangan nontunai (BPNT) digadang bakal menyempurnakan aneka kelemahan program beras untuk rakyat miskin (raskin). Sampai saat ini raskin/rastra belum memenuhi kriteria enam tepat: sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Empat tepat pertama jadi tanggung renteng sejumlah lembaga: BPS, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Sosial, Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Dua tepat terakhir di bawah kendali Bulog. Bulog berhasil dalam mengendalikan tepat administrasi, sebaliknya masih memble dalam hal tepat kualitas.

Dalam mekanisme baru ini bukan lagi Bulog yang menerima subsidi dan mengantarkan raskin/rastra kepada masyarakat. Pemerintah akan mentransfer langsung uang bantuan Rp 110.000 per bulan ke rekening rumah tangga sasaran (RTS) berkartu debit. Uang hanya bisa dibelanjakan untuk kebutuhan pokok, seperti beras, gula dan telur, di pengecer yang ditunjuk. Uang tidak bisa diambil tunai. Di pengecer ada beraneka ragam beras, dengan harga beragam pula. Jika uang dalam voucer tidak habis, sisa uang jadi tabungan.

Ketimbang raskin/rastra sekarang, skema baru dapat meningkatkan ketepatan sasaran, waktu, dan administrasi. Kriteria ketepatan kualitas, harga, dan jumlah tidak lagi relevan karena masyarakat miskin/rentan dapat memilih beras sendiri. Skema baru ini juga tidak mendistorsi pasar gabah/beras, dan rumah tangga miskin/rentan tidak perlu menyediakan uang guna menebus seperti pada raskin/rastra.

Sejumlah pertanyaan

Meskipun diyakini akan lebih baik, skema penyaluran baru ini masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Pertama, hasil riset Pataka didapatkan, penyaluran BPNT periode Januari-Juni 2017 masih menghadapi kendala, seperti akurasi data dan infrastruktur pendukung yang tidak siap.

Kedua, bagaimana stabilisasi harga beras dan nasib Bulog? Pertanyaan genting ini perlu mendapatkan perhatian serius agar skema baru penyaluran bantuan tidak membawa kita keluar dari mulut harimau kemudian masuk ke mulut buaya.

Pertanyaan ini didasari kenyataan bahwa setelah instrumen floor & ceiling pricedigantikan harga pembelian pemerintah (HPP) pada 2002, tak ada lagi instrumen riil stabilisasi harga gabah/beras. Sebagai gantinya, raskin/rastra yang sejak awal didesain sebagai bantuan pangan bagi keluarga miskin dialihfungsikan sebagai alat stabilisasi harga. Volume penyaluran raskin/ rastra 232.000 ton per bulan atau 10 persen dari kebutuhan beras memang besar pengaruhnya pada harga. Ketika volume penyaluran raskin/rastra berkurang, kemampuan stabilisasi pun menurun. Sebagai gantinya, fungsi stabilisasi harga kini sepenuhnya bergantung pada kekuatan cadangan beras pemerintah (CBP). Padahal, besaran CBP (350.000 ton beras) dengan kualitas medium hanya cukup tiga hari. Ini mustahil jadi instrumen untuk mengintervensi kegagalan pasar.

Di tengah ketidakpastian itu, per September 2017, pemerintah memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) beras, baik medium maupun premium. HET juga dibedakan berdasarkan wilayah edar: sentra konsumsi dan sentra produksi. Patut diduga, beleid HET ini dikeluarkan sebagai jurus pamungkas stabilisasi harga beras sebab aneka kebijakan sebelumnya dinilai kurang berhasil.

Ternyata, setelah berjalan sekian lama,beleid HET beras belum ampuh. Menurut laporan bulanan data sosial-ekonomi BPS pada November 2017, rata-rata harga beras (medium dan premium) pada Oktober 2017 sebesar Rp 13.346 per kg. Harga ini di atas HET beras medium, baik di sentra produksi (Rp 9.450 per kg) maupun di sentra konsumsi (Rp 9.950-Rp10.250 per kg), dan di atas HET beras premium di sentra produksi (Rp 12.800 per kg).

Itu artinya, HET beras belum bisa jadi instrumen stabilisasi harga beras. Salah satu alternatif penggantinya adalah memperbesar CBP jadi 1,5 juta-2 juta ton. CBP diisi beras kualitas premium. Penggunaan CBP premium, selain untuk operasi pasar, bisa digunakan buat beragam program pemerintah, seperti food for work, ekspor, program antikemiskinan, dan bantuan internasional. Anggarannya Rp 15 triliun-Rp 20 triliun.

Pada titik ini tampak jelas perubahan skema penyaluran raskin/rastra menjadi BPNT membawa sistem perberasan nasional di persimpangan jalan. Sistem perberasan yang sistematis dan rapi lewat pengadaan beras oleh Bulog sebanyak 3,5 juta-4 juta ton per tahun dan disalurkan untuk raskin/rastra mengalami perubahan drastis. Lewat BPNT, secara teoretis tak ada lagi penyaluran bantuan beras yang dalam setahun bisa mencapai 2,8 juta-3,4 juta ton. Karena itu, tidak relevan dan tidak logis menugaskan Bulog menyerap gabah/beras produksi petani. Akan dikemanakan beras serapan domestik itu? Tanpa gerai penyaluran yang pasti, dipastikan Bulog akan pelan-pelan bangkrut.

Selain itu, tugas pemerintah kini berlipat dua. Pertama, memberikan bantuan lewat BPNT Rp 110.000 per RTS per bulan atau Rp 13,86 triliun pada 2018. Di luar itu, masih ada bantuan rastra 0,96 juta ton beras untuk 5 juta RTS. Kedua, untuk menstabilkan harga beras, pemerintah harus mengeluarkan anggaran lebih dari Rp 20 triliun. Pada saat perluasan pos-pos penerimaan negara semakin sulit, kebijakan BPNT yang membuat anggaran membengkak tentu tidak bijak.

Agar ini tidak terjadi, tersedia dua jalan. Pertama, menunda pemberlakuan BPNT hingga 2019 atau sampai pemerintah benar-benar mampu menanggung segala risikonya. Kedua, menugaskan Bulog untuk mengisi beras (dan pangan) di gerai-gerai pembelian pangan nontunai.

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia


Kompas, 9 Desember 2017