Pemilu 2019 sudah di depan mata, masyarakat mulai mendaftarkan partai politik ke lembaga pemilu. Tercatat kurang lebih ada 29 partai yang mendaftar ke lembaga pemilu.
Beragam tipologi partai yang muncul jika dilihat dari asas, orientasi, komposisi, basis sosial, dan tujuannya. Banyak partai berdiri cenderung bersifat ideal, tetapi dalam pergerakannya sering mengalami evolusi yang membentuk format baru. Dalam kenyataannya, kebanyakan parpol tak hanya mempunyai basis sosial dari kalangan tertentu, tetapi juga dari berbagai kalangan dengan satu atau dua kelompok sebagai pihak yang dominan.
Keberadaan partai-partai di Indonesia—sekalipun pada umumnya mengklaim dirinya sebagai partai modern—pada kenyataannya masih jauh dari cici-ciri partai modern. Klasifikasi modern cenderung bersifat ideal karena dalam kenyataannya tidak sepenuhnya demikian. Berdasarkan asas dan orientasinya, tidak sedikit partai di Indonesia masih dalam karakter dasar prototipe awal parpol yang organisasi dan ideologinya sederhana yang masih elitis dan faksional.
Dalam 10 tahun terakhir, sebagian besar partai mulai melihat pentingnya hak pilih rakyat sehingga partai-partai berupaya untuk menampung kelompok sosial sebanyak-banyaknya untuk memenangi pemilu. Partai-partai besar yang ada sekarang pada umumnya hidup tidak mengandalkan ideologi semata, tetapi mulai memperkuat basis massa dengan pola perekrutan, kaderisasi, dan pendidikan politik di tingkat elite. Dalam kondisi seperti ini, apakah partai-partai tersebut dapat disebut sebagai partai modern?
Partai modern
Banyak teori dan ilmu tentang partai politik dan banyak juga klasifikasi tentang status partai-partai di Indonesia. Semua partai pastinya menyebut dirinya modern. Partai modern menurut penulis sudah jelas bukan partai proto yang bersifat faksional dan feodal; juga bukan partai kader yang hanya menekankan pada penguatan jajaran kepengurusannya.
Partai modern juga bukan partai berbasis masa tertentu atau diktatoral yang ideologis dan kaku. Meminjam istilah Ichlasul Amal (1996), partai modern lebih tepat kita sebut sebagai partai catch-allyang merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa. Partai-partai besar di Indonesia saat ini dapat disebut sebagai partai catch-all, tetapi partai-partai tersebut sesungguhnya masih sedikit jauh dari cita-cita partai modern, terutama ketika organisasi partai yang lemah dan transformasi di tingkat masyarakat tidak dapat berjalan secara efektif.
Partai modern adalah partai yang berhasil dalam rekrutmen, pendidikan, dan komunikasi politiknya karena memiliki organisasi yang kuat. Selain memiliki manajemen yang modern, juga memiliki kemandirian di dalam membiayai aktivitas politiknya. Organisasi yang kuat adalah organisasi yang mampu menggerakkan semua sendi kehidupan partai secara baik dan konsisten.
Untuk menjadi kuat, partai harus mampu menegakkan aturan partai dan keadilan bagi anggotanya serta dapat berfungsi sebagai saluran masyarakat dalam memengaruhi kebijakan publik. Artinya secara internal kuat dan secara eksternal ada kongruensi antara platform partai politik dan kebijakan publik. Parpol modern akan bertanggung jawab atas platform yang telah disosialisasikan sebagai janji politik pada masyarakat saat kampanye sebelum pemilu. Semangat untuk secepatnya mewujudkan cita-cita demokrasi bisa ditunjukkan dari peranan parpol untuk mengawal demokrasi di era milenial ini.
Perilaku masa lalu partai politik yang kurang terpuji, terutama saat partai politik ingkar janji pada kadernya sendiri dan juga masyarakat luas, menunjukkan adanya jarak yang jauh atas platform partai dengan realitas politik, dan dengan kepentingan anggotanya. Hal ini perlu dipikirkan oleh partai-partai yang ada sekarang apabila ingin menjadi partai modern.
Kebanyakan partai modern memiliki dukungan pemilih rasional ketimbang pemilih berbasiskan emosional dan kultural. Partai-partai berbasiskan pemilih emosional (figur/ketokohan) dan kultural ke depan akan semakin tergerus dengan mulai membeludaknya pemilih rasional atau Kompas menyebutnya sebagai pemilih dari generasi milenial. Pemilu 2019 dianggap memilih kecenderungan rasional. Kecenderungan tersebut menggambarkan bahwa masyarakat akan bergerak menuju rasionalitas. Artinya interaksi dengan masyarakat harus diukur secara riil di semua aspek kehidupan bukan asumsi semata.
Partai gagal
Partai gagal adalah partai yang gagal menjadi modern. Partai yang gagal menjadi modern apabila mengorbankan kepentingan anggota dan aspirasi rakyat pemilihnya demi kepentingan elite dan kekuasaan. Rata-rata partai gagal karena gagal menegakkan hukum dan keadilan internal karena setengah dari kehidupan berpartai terkait dengan masalah tegaknya hukum dan keadilan. Oleh karena itu, kita dapat menyebut parpol gagal adalah partai yang gagal melindungi kadernya sendiri; parpol yang gagal menegakkan hukum dan keadilan bagi anggotanya; parpol yang gagal menyuarakan aspirasi anggotanya; parpol yang gagal mendekatkan platform politik dengan realitas kebijakan yang ada di masyarakat.
Rata-rata partai gagal akan ditinggalkan oleh pemilih rasionalnya. Kaburnya kader-kader terbaik parpol yang berpindah ke partai lain dengan berbagai alasan terutama karena kecewa, dizalimi, atau tidak mendapatkan keadilan di partainya sendiri. Alasan lain kaburnya para kader partai, rata-rata memilih alasan sudah tidak percaya pada parpol yang bersangkutan, parpol tersebut tidak mampu menyuarakan aspirasi anggota dan rakyat pemilih, trauma pada parpol masa lalu, dan parpol pilihannya dulu telah gagal memperbaiki keadaan bangsa, atau telah menemukan sosok parpol yang lebih baik dan lain-lain. Kader-kader ini tidak kabur sendirian, tetapi membawa seluruh gerbongnya masing-masing. Rata-rata yang menyatakan mundur dari partainya sendiri datang dari yang berpendidikan tinggi (mahasiswa, sarjana, akademisi, politisi), juga yang secara ekonomi telah mapan.
Parpol modern menjadi gagal jika menjalankan kebijakan publik tidak diletakkan pada pertimbangan tegaknya hukum dan keadilan, tetapi semata untuk kepentingan dan kekuasaan. Sebagai contoh jika sebuah parpol selalu mendengung-dengungkan tentang supremasi hukum dan ketaatan pada hukum, tetapi ketika parpol tersebut menjadi pionir dari ketidaktaatan pada hukum atau terlibat dalam masalah hukum, maka partai yang demikian tidak akan dipilih oleh pemilih rasional alias menjadi partai gagal. Pemilih rasional akan sangat selektif di dalam memilih parpol dalam Pemilu 2019. Mereka tidak akan memilih parpol yang gagal.
Peran strategis mahkamah partai
Keseharian hidup parpol tidak terlepas dari yang namanya politik dan hukum. Setengah kehidupan parpol menyangkut politik dan kekuasaan dan setengahnya adalah persoalan tegaknya hukum/aturan internal partai dan keadilan hukum bagi para anggotanya. Sebuah parpol dinilai sebagai partai modern dapat dinilai dari seberapa baik roda partai di bidang hukum dapat berjalan.
Mahkamah partai yang telah dibentuk oleh UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UU Nomor 8 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) adalah lembaga penyelesaian perselisihan internal partai yang berperan strategis untuk menegakkan aturan partai dan keadilan bagi anggotanya. Salah satu ciri partai modern adalah partai yang menjadikan mahkamah partai sebagai lembaga untuk menegakkan aturan dan keadilan bagi anggota partai secara mandiri dan bebas dari intervensi siapa pun. Keberadaan lembaga ini harus diperkuat dan semua putusannya yang dihasilkan harus dijalankan oleh parpol yang bersangkutan.
Peran dan keberadaan mahkamah partai menurut UU Parpol secara operasional telah diperkuat oleh Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 dan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung bahwa apa yang telah diselesaikan oleh mahkamah partai merupakan putusan final dan akhir serta wajib dijalankan oleh partai yang bersangkutan. Demikian juga lembaga-lembaga terkait dengan partai, seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Kementerian Dalam Negeri, bupati/wali kota, dan gubernur wajib tunduk dan melaksanakan putusan mahkamah partai.
Semua pihak harus sudah menyadari semua masalah hukum terkait dengan partai harus merujuk kepada putusan mahkamah partai sehingga untuk mendaftar partai dalam Pemilu 2019, Kementerian Hukum dan HAM harus meminta surat bebas sengketa kepengurusan dari partai-partai yang ingin mendaftar. Demikian juga di dalam urusan pergantian antarwaktu (PAW), baik gubernur/bupati maupun Kementerian Dalam Negeri harus merujuk pada mahkamah partai, apakah ada perselisihan internal atau tidak.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, perselisihan terkait dengan kepengurusan, pelanggaran hak anggota partai, dan keberatan lain terhadap keputusan partai menjadi obyek perselisihan yang harus diselesaikan terlebih dahulu oleh mahkamah partai sebelum dijalankan oleh instansi terkait.
Untuk menjadikan partai modern, tidak mudah, sebaliknya untuk menjadi partai gagal, tidak sulit. Partai modern menjadikan hukum sebagai panglima, sedangkan partai gagal akan melakukan hal yang sebaliknya. Partai gagal akan ditinggalkan oleh pemilihnya, sedangkan partai modern dapat berharap untuk memenangi Pemilu 2019. Partai-partai besar sekarang ini bisa saja mengklaim diri sebagai partai modern, tetapi apabila hukum dan keadilan tidak dapat ditegakkan di dalam internal partai sendiri, maka siap-siap saja menjadi partai gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar