Desakan publik agar Presiden Jokowi segera melakukan pergantian panglima TNI mengemuka di publik. Berbagai kelompok masyarakat sipil dan pengamat militer menilai sudah semestinya Presiden mempersiapkan nama panglima TNI baru pengganti Jenderal Gatot Nurmantyo, untuk selanjutnya diajukan ke DPR.
Pengangkatan dan pemberhentian panglima TNI sejatinya hak prerogatif presiden. Presiden dapat menentukan kapan dan siapa panglima TNI berikutnya. Presiden tak dibatasi masa waktu pensiun seorang panglima jika ingin melakukan pergantian panglima TNI.
Meski pergantian panglima hak prerogatif presiden, di Indonesia, seorang panglima TNI yang akan diangkat oleh presiden perlu mendapatkan persetujuan dulu oleh DPR. Pasal 13 Ayat 6 Undang-Undang TNI menyebutkan, persetujuan DPR terhadap calon panglima yang dipilih oleh presiden disampaikan paling lambat 20 hari, tidak termasuk masa reses, terhitung sejak permohonan persetujuan calon panglima diterima oleh DPR.
Selanjutnya, UU TNI menyebutkan, dalam hal DPR tak menyetujui calon yang diusulkan oleh presiden, presiden mengusulkan satu calon lain sebagai pengganti (Pasal 13 Ayat 7 UU TNI). Apabila DPR tidak menyetujui calon panglima yang diusulkan presiden, DPR memberikan alasan tertulis yang menjelaskan ketidaksetujuannya (Pasal 13 Ayat 8 UU TNI).
Dalam hal DPR tidak memberikan jawaban tertulis itu, DPR dianggap telah menyetujui, selanjutnya presiden berwenang mengangkat panglima baru dan memberhentikan panglima lama (Pasal 13 Ayat 9 UU TNI).
Mengingat panjangnya aturan hukum tentang proses pengangkatan panglima TNI di Indonesia, Presiden Joko Widodo sudah sepantasnya memikirkan calon panglima TNI baru pengganti Gatot Nurmantyo yang Maret nanti memasuki masa pensiun. Apalagi proses politik di DPR butuh waktu dan DPR juga memiliki hak untuk tak menyetujui calon yang diajukan presiden.
Rotasi dan rekam jejak
Proses pergantian panglima TNI sebaiknya memperhatikan dan mempertimbangkan pola rotasi (bergiliran) antar-angkatan. Meski UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tak mewajibkan pola rotasi itu, sebenarnya semangat UU TNI ini mensyaratkan secara implisit kepada presiden untuk melakukan pergantian panglima TNI secara bergiliran antar-angkatan. Pasal 13 Ayat 4 UU TNI menyebutkan bahwa jabatan panglima dapat dipegang secara bergantian oleh perwira tinggi aktif dari tiap-tiap angkatan yang sedang atau pernah menjabat sebagai kepala staf angkatan.
Proses pergantian panglima TNI secara bergiliran itu merupakan semangat yang tumbuh di masa reformasi dan telah dipraktikkan di masa-masa pemerintahan era Reformasi. Tujuan dari rotasi agar soliditas dan konsolidasi di tubuh TNI menjadi lebih kuat mengingat di dalam TNI terdapat tiga angkatan, Angkatan Darat (AD), Angkatan Udara (AU), dan Angkatan Laut (AL). Suka atau tidak suka, akan selalu ada rasa kecemburuan dan ketidaksetaraan jika posisi panglima TNI dijabat terus-menerus oleh satu angkatan.
Dengan demikian, sangat bijak dan tepat jika Presiden Jokowi mempertimbangkan calon panglima TNI baru bukan dari AD karena Gatot berasal dari AD. Apalagi, sebelum Gatot, panglima TNI juga dari AD, yakni Jenderal (Purn) Moeldoko. Sebelum Moeldoko, panglima TNI berasal dari AL, yakni Laksamana (Pur) Agus Suhartono. Berdasarkan sejarah pergantian panglima TNI itu dan mengacu pola rotasi, calon panglima ke depan sebaiknya dari AU.
Sementara jika melihat masa usia pensiun dan berpijak pada pola rotasi, Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto juga lebih berpotensi menjadi panglima TNI karena masa usia pensiunnya masih cukup lama, lebih kurang empat tahun lagi (November 2021). Adapun Kepala Staf TNI AL Laksamana Ade Supandi akan memasuki masa pensiun lebih kurang enam bulan lagi (Mei 2018) dan masa pensiun Kepala Staf TNI AD Jenderal Mulyono lebih kurang satu tahun lagi (Januari 2019).
Selain mempertimbangkan pola rotasi, calon panglima TNI baru juga penting untuk dinilai berdasarkan rekam jejak (track record), baik terkait kinerja dan kompetensi sebagai seorang prajurit maupun terkait persoalan HAM dan korupsi. Calon panglima baru harus bebas dari persoalan korupsi dan pelanggaran HAM. DPR perlu masukan dari KPK, Komnas HAM, ataupun masyarakat sipil dalam proses uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test) panglima TNI.
Transformasi TNI
Tak hanya sebatas rutinitas, pergantian pucuk pimpinan TNI diharapkan juga dapat menjadi momentum perbaikan dan transformasi TNI menjadi tentara yang profesional dan modern yang menghormati tata nilai hukum dan HAM. Panglima TNI baru perlu melanjutkan agenda modernisasi alutsista yang sudah berjalan selama ini. Pekerjaan rumah berat bagi panglima TNI baru dalam memodernisasi alutsista adalah memastikan itu dilakukan secara transparan dan akuntabel. Praktik penyimpangan dalam pengadaan harus diminimalkan, antara lain dengan menghapus keterlibatan pihak ketiga (broker) dan memaksimalkan pembelian alutsista secara G to G (antarpemerintah) serta memprioritaskan industri pertahanan dalam negeri.
Calon panglima TNI juga harus memikirkan dan mendukung upaya peningkatan kesejahteraan prajurit demi terciptanya tentara yang profesional. Calon panglima TNI juga perlu memiliki komitmen mendukung dan tidak resisten terhadap agenda reformasi TNI yang perlu segera diselesaikan oleh otoritas sipil, salah satunya agenda reformasi peradilan militer. Calon panglima TNI juga perlu memiliki komitmen untuk mengevaluasi kebijakan TNI terkait maraknya pelibatan TNI dalam ranah sipil melalui berbagai nota kesepahaman (MOU) TNI dengan kementerian dan instansi sipil lainnya. Dalam konteks itu, panglima TNI baru perlu mengevaluasi berbagai MOU tersebut.
Salah satu tantangan panglima TNI baru adalah menurunkan dan merealisasikan agenda visi presiden terkait pembangunan kekuatan maritim ke dalam orientasi pembangunan TNI ke depan. Gagasan keamanan maritim dalam konteks pertahanan perlu memperhatikan dan memprioritaskan pembangunan kekuatan AL dan AU mengingat orientasi pertahanan maritim membutuhkan bangunan kekuatan laut dan udara secara bersamaan. Meski demikian, pembangunan kekuatan darat tidak boleh ditinggalkan karena konsep trimatra terpadu dan strategi pertahanan yang berlapis. Prioritas kebijakan pertahanan itu bisa meliputi kebijakan tentang postur TNI, procurement, anggaran, dan lainnya. Konsekuensi dari hal ini adalah pentingnya melakukan agenda restrukturisasi komando teritorial sebagai bagian dari gelar kekuatan postur TNI dan mengubahnya menjadi kesatuan gelar kekuatan yang terintegrasi.
Hal yang jauh lebih penting lagi adalah memastikan bahwa panglima TNI baru harus netral dan tak boleh berpolitik. Apalagi, Indonesia segera memasuki tahun-tahun politik dengan agenda pilkada serentak pada 2018 dan persiapan Pemilu 2019.
Panglima TNI baru juga perlu tunduk dan patuh pada otoritas sipil yang sah. Panglima TNI baru bertugas menjalankan kebijakan (politik) pertahanan negara yang dibuat presiden. Karena itu, panglima TNI baru sepatutnya tak melakukan pernyataan-pernyataan yang sifatnya politis di dalam ruang publik, apalagi melakukan kritik terhadap pemerintah sendiri terkait permasalahan di luar sektor pertahanan.
Perlu ada bangunan relasi hubungan sipil-militer yang baik antara otoritas sipil dan panglima TNI baru agar tercipta kontrol sipil yang demokratik (democratic civilian control). Dalam konteks ini, presiden juga perlu yakin, berani, tegas, serta memiliki arahan-arahan yang jelas dalam melakukan kontrol sipil yang demokratik kepada TNI demi terciptanya tentara yang profesional dan modern.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar