Beberapa pendidik di SMK sering mengeluh terkait kian banyak siswa yang kurang memiliki semangat juang. Mereka tak bertahan lama bekerja di perusahaan. Ini mencederai kerja sama sekolah dengan perusahaan sebagai penampung lulusan SMK.

Ditengarai peran ayah pada pendidikan dan pendampingan anak dalam keluarga semakin berkurang (Kompas, 13/11). Ini terjadi karena alasan ekonomi, aktivitas orangtua, juga ketidaksiapan menjadi ayah. Padahal, peran ayah sangat vital bagi pertumbuhan dan perkembangan karakter anak.

Pengalaman penulis menunjukkan, anak yang kurang pengalaman mengeksplorasi diri sebenarnya merasa tidak nyaman dan kurang percaya diri. Perasaan ini menguat hingga meneror diri ketika pergaulan semakin luas. Sering kali mereka marah dengan diri sendiri. Emosi negatif ini sering tidak dihiraukan. Residu emosi negatif itu sering kali meledak dalam perilaku memberontak, rewel, atau kenakalan.

Kurangnya peran ayah memengaruhi proses identifikasi anak dan perkembangan sifat maskulin. Rapuhnya sifat maskulin dalam bentuk karakter tegas, berani, serta sikap eksploratif berpotensi membuat anak kurang memiliki daya juang. Anak tidak mampu menuntut dan memaksa diri meski untuk sebuah kebaikan. Mereka tidak mau dituntut. Orangtua pun enggan menuntut anaknya. Tidak mengherankan jika akhirnya mereka tidak betah memasuki dunia kerja yang sering banyak menuntut. Bisa dimengerti apabila banyak lulusan pendidikan vokasi yang menganggur meski keterampilan dan nalar mereka baik.

Pengalaman berproses

Yang dibutuhkan kaum muda adalah kesempatan untuk kembali mengalami pendidikan yang menumbuhkembangkan sifat maskulin. Mereka butuh kesempatan melakukan latihan yang menguatkan sifat maskulin.

Serentak bersama itu mereka perlu dibantu untuk menjadi figur ayah bagi dirinya sendiri. Mereka butuh berlatih menuntut diri sendiri, juga memaksa diri bertahan dalam suatu kegiatan atau situasi yang tidak nyaman.

Sesering mungkin mereka juga perlu berlatih memberi apresiasi dan melakukan auto-sugesti positif pada diri setiap kali berhasil melakukan suatu pekerjaan. Ini semacam proses penyembuhan diri dengan memakai filosofi outbound. Pengalaman penulis menunjukkan, dengan cara ini pada akhirnya mereka semakin percaya diri dan nyaman dengan hidupnya.

Dinamika proses penyembuhan diri untuk setiap pembelajar itu unik. Di sinilah pentingnya pembelajaran sebagai pengalaman berproses. Anak tidak hanya butuh menguasai seperangkat pengetahuan dan keterampilan. Pembelajaran harus membantu membangun konsep serta kesadaran diri yang positif. Mereka harus mengalami tahap demi tahap prosesnya dan serentak menyadari dinamika batinnya hingga merasa nyaman dengan diri serta hidupnya.

Mereka mungkin sadar bahwa dirinya tidak sempurna. Namun, apa yang ada, disadari, dan dialami itu membuatnya semakin berani untuk melanjutkan proses kehidupannya. Mereka tidak hanya mampu melihat peluang, tetapi juga memiliki keberanian. Inilah pembelajaran berkesadaran aktif-reflektif yang dibutuhkan generasi muda kita.

Pembelajaran yang menekankan pengalaman berproses semacam itu sering kali membutuhkan banyak waktu. Karena dinamika setiap pembelajar berbeda, dibutuhkan proses yang personal juga.

Di sinilah masalahnya. Sering kali dinamika khas pembelajar tidak mungkin diakomodasi oleh sistem serta dinamika pembelajaran di sekolah. Dinamika persekolahan telah diatur dan cenderung patuh pada target waktu serta mutu. Di sekolah pembelajar harus mengikuti jadwal, aturan, serta proses, baik yang dibuat sekolah maupun yang dituntut oleh pemerintah. Sekolah ibarat rangkaian kereta dan pembelajar adalah penumpangnya yang hanya bisa ikut dan patuh.

Tidak mengherankan apabila akhirnya pembelajar yang masih butuh waktu untuk mengelola dinamika belajarnya gagal dalam sistem persekolahan kita. Meskipun sesungguhnya jika mereka diberi waktu dan dinamika sesuai kebutuhan dan karakter belajarnya, banyak dari mereka yang berprestasi. Mereka itulah pembelajar berkarakter diesel. Sekolah kian menggilas kesempatan pembelajar berkarakter diesel ketika disibukkan oleh aneka agenda sampiran, baik oleh oknum pengelola sekolah/yayasan maupun oknum pemerintah.

Jangan heran jika sering kali kita menjumpai orang yang ketika sekolah biasa-biasa saja tetapi jadi orang sukses. Mereka gagal di sekolah hanya karena sistem persekolahan tidak memberi kesempatan yang cukup baginya hingga mesin belajarnya panas dan siap melaju. Setelah hidupnya tidak lagi dipasung sistem persekolahan, dan mereka terus belajar sesuai irama serta dinamikanya, mereka melaju dengan kencang dan sukses.