Misalnya kasus seorang bocah beretnis Tionghoa yang sempat viral lewat media sosial adalah korban perisakan. Sebelumnya, kita dipertontonkan menguatnya kebencian terhadap umat Buddha lantaran kasus kekerasan terhadap Muslim Rohingya di Myanmar. Kasus lain, tentu saja kasus Pilkada DKI Jakarta dan dampak lanjutannya yang masih dirasakan hingga saat ini.

Apa yang paling bermasalah dari tindakan intoleransi adalah karena tindakan-tindakan tersebut menyasar langsung fondasi berbangsa-bernegara: konstitusi. Intoleransi adalah sikap yang menghambat atau menentang pemenuhan hak-hak kewarganegaraan yang dijamin konstitusi, khususnya terhadap kelompok yang tak disukai  atas dasar identitas tertentu seperti etnis,  orientasi seksual, asal-usul kebangsaan, baik seagama maupun berbeda agama.

Perkara penting lain yang mesti dicatat, intoleransi menjadi "gang-gang" menuju pelanggaran dan bentuk kekerasan yang lebih berbahaya. Tentu saja ada sejumlah faktor atau tangga bagaimana intoleransi berujung kekerasan fisik. Intoleransi merupakan gejala yang dimulai dari penyebaran ide, kata-kata, dan aksi-aksi yang berujung pada kekerasan. Intoleransi bagai sumbu penyulut konflik kemanusiaan. Intoleransi juga gerbang bagi aksi-aksi radikalisme.

Ada banyak kasus dan konflik kekerasan di Indonesia yang dimulai dari tindakan intoleransi. Sebut saja beberapa contoh, kekerasan terhadap komunitas Ahmadiyah (2005), pengusiran komunitas Syiah Sampang (2012), atau yang menimpa Komunitas Muslim di Tolikara (2015). Gejalanya dimulai dari kebencian, penyesatan, stigma, diperparah diskriminasi pemerintah, dan akhirnya berbuah kekerasan.

Di luar dunia "offline", kenyataan intoleransi di dunia online jauh lebih masif: penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian. Bagi pengguna media sosial, ujaran kebencian seolah menu sarapan saban pagi hari. Kasus Saracen menunjukkan betapa maraknya intoleransi di media sosial merupakan hasil dari bisnis yang nyatanya memiliki ceruk pasar sendiri. Bahkan, terdapat beberapa kasus di mana pelaku usaha juga jadi korban tindakan intoleransi.

Perlu komitmen bersama

Tak ada pihak yang dapat menyelesaikannya sendiri. Harus ada komitmen bersama, setidaknya dua pemangku kepentingan utama: pemerintah dan masyarakat sipil. Keberhasilan usaha- usaha ini amat bergantung pada peran yang dimainkan keduanya. Kita harus ingat bahwa intoleransi dewasa ini bukan khas Indonesia, tetapi gejala global.

Agar gerakan ini efektif, kita amat membutuhkan strategi nasional dan rencana aksi nasional penanganan intoleransi. Musyawarah Nasional Nahdlatul Ulama di Lombok pada 23-25 November 2017 juga menelurkan rekomendasi kepada pemerintah untuk mengembangkan strategi nasional menangani radikalisme. Organisasi Muslim terbesar ini menekankan pentingnya daya upaya untuk mencegah sebelum kasus-kasus radikalisme—termasuk terorisme—meledak.  

Dapat dikatakan, strategi ini telah jadi kebutuhan bersama antara negara dan warganya. Karena itu, proses penyusunannya harus melibatkan seluas mungkin komponen masyarakat.

Gagasan inilah yang sekarang tengah diupayakan oleh Wahid Foundation, lembaga yang berusaha melanjutkan gagasan dan perjuangan KH Abdurrahman Wahid dalam menyemai Islam damai di Indonesia dan dunia. Bersama jaringan, Wahid Foundation hendak ikut berkontribusi mendorong adanya strategi nasional yang akhirnya jadi kebijakan pemerintah. Tentu saja semakin banyak pihak yang terlibat dalam proses ini semakin baik.

Berdasarkan berbagai kajian dan riset Wahid Foundation, setidaknya harus ada tiga pilar yang mesti dikembangkan: penguatan nilai, pencegahan, dan penanganan. Penguatan nilai merupakan strategi yang mengarahkan sasaran pada menguatnya dukungan dan internalisasi nilai-nilai toleransi dan meninggalkan aksi-aksi radikalisme. Misalnya mendorong kelompok moderat bersuara lebih lantang dan memperkuat basis-basis anggota mereka. Strategi pencegahan diarahkan untuk mencapai sasaran menurunnya tingkat dukungan dan kesediaan individu atau kelompok untuk melakukan tindakan intoleransi dan radikalisme.

Pilar penguatan nilai dapat diarahkan pada mereka yang "sehat", sedangkan pencegahan diarahkan pada mereka yang "rentan", sementara penanganan  pada yang sudah "sakit". Laporan Survei Nasional Wahid Foundation tentang Potensi Radikalisme Sosial Keagamaan dan Intoleransi 2016 menyebut responden yang toleran (sehat) sebesar 0,6 persen, yang rentan 50,4 persen, dan yang intoleran (sakit) 49 persen. Data itu dihitung dari 59,9 persen yang memiliki kelompok tidak disukai.

Survei tahun lalu itu juga menyajikan satu analisis penting ini. Jika kita ingin mengatasi intoleransi sekaligus radikalisme, bergeraklah ke sumbu masalahnya: ketidaksukaan. Ketidaksukaan jika tak ditangani bakal bergerak menjadi kebencian, lantas beranjak kepada tindakan-tindakan intoleran. Tantangannya apa yang tak disukai dan disukai sering kali dibentuk oleh informasi, termasuk lewat media sosial. Maka, upaya menangani intoleransi juga harus bergerak dari sini. Penulis yakin, dengan mengurangi ketidaksukaan, intoleransi bakal jauh berkurang.

Dalam menjalankan strategi nasional ini penting pula menyepakati prinsip-prinsip dasar agar langkah besar ini justru tak membangun masalah baru. Misalnya prinsip kerja sama dengan masyarakat sipil dan organisasi keagamaan, mempertimbangkan nilai dan tradisi-tradisi lokal, dan menjalankan prinsip hak asasi manusia.

Di atas semua itu, strategi dan rencana ini hanya bakal menjadi kertas kebijakan jika tidak dibarengi dengan keseriusan menjalankan dan mengevaluasi pelaksanaannya. Di sinilah komitmen kita sebagai bangsa dan negara diuji.