Pertanyaan tersebut tidak mudah dijawab. Berbagai usaha dan upaya sudah dilakukan banyak pihak untuk mengakhiri konflik antara Israel dan Palestina. Akan tetapi, harus diakui, hingga sekarang hasil yang diharapkan belum tampak. Perdamaian di antara mereka belum juga datang. Bahkan, situasi bertambah buruk setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump, Rabu lalu, mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel dan merencanakan untuk memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Jerusalem.

Keputusan Trump tersebut jelas bagaikan bahan bakar yang disiramkan ke api; dan berkobarlah api itu membakar apa saja yang bisa disambar. Akibatnya, proses perdamaian yang selama ini mandek, membentur tembok di ujung jalan buntu, semakin tidak jelas nasibnya. Perdamaian pun semakin menjauh dari gapaian rakyat Palestina.

Reaksi terhadap keputusan Trump muncul di mana-mana dan dalam berbagai bentuk. Sikap Indonesia sangat jelas dan tegas: mengecam keras kebijakan Trump dan mendesak agar Trump mengubah keputusannya itu. Sikap Indonesia tidak berhenti di sini. Indonesia menggalang negara-negara mitra dan sahabat untuk bersama-sama menekan Trump.

Indonesia juga mendukung pelaksanaan KTT Luar Biasa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) di Istanbul yang akan dilaksanakan pada 13 Desember mendatang. Pertanyaannya adalah apakah KTT Luar Biasa OKI di Istanbul nanti akan mampu menghasilkan sesuatu yang bisa menjadi kekuatan untuk menekan AS, menekan Trump agar mengubah keputusannya.

Bukan dalam maksud untuk tidak menganggap penting KTT Luar Biasa OKI. Sama sekali tidak. KTT luar biasa itu sangat penting dalam kondisi sekarang ini. Akan tetapi, sejarah mencatat selama ini OKI telah gagal dalam usaha mengentaskan Palestina dari tekanan Israel. Pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan dalam setiap KTT lebih sebuah retorika politik, yang tidak berbuah.

Penyebab utama mengapa bisa terjadi seperti itu? Selama ini, dalam tubuh OKI ada persaingan besar antara Arab Saudi dan Iran. Dan, persaingan itu hingga kini belum juga berakhir, bahkan semakin jelas. Penyebab lainnya adalah hubungan baik (bahkan ketergantungan) anggota OKI dengan AS dalam bidang ekonomi dan persenjataan, misalnya, menjadi unsur yang melemahkan.